WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi
yang dilakukan per tahun. 750.000-1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang
diantaranya berakhir dengan kematian. Sementara Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun
1995: Aborsi memberi kontribusi 11,1% terhadap Angka Kematian Ibu (AKI)
(Wijono, 2000).
“Sudahlah
dek, kita gugurkan saja ya?”
Sungguh mengherankan bagaimana manusia
bisa dengan sangat cepat berubah. Lelaki yang dulu kukenal sebagai sosok yang
dewasa, penyayang, dan bisa diandalkan—kini tengah menggigil cemas, berkeringat
deras dalam kepanikan di depan tagihan pertanggungjawaban.
Kalimat sepanjang ‘mas pasti akan menikahi kamu dek, mas nggak akan meninggalkan kamu’ yang dulu terucap, kini telah digantikan oleh pernyataan yang lebih pendek ‘kamu yakin dek, itu anak mas?’.
Sakit? Pasti. Hanya saja saat ini kepala
dan tubuhku terlalu kebas dan mati rasa untuk menangis dan menyalahkan.
16 tahun. Dan kini tengah membawa janin
berumur 10 minggu. Seharusnya ini masa dimana aku sibuk memikirkan bagaimana
masa depan, sibuk bermain dengan teman-teman—bukannya sibuk meyakinkan seorang
lelaki tak bertanggungjawab bahwa janin yang kukandung ini memang berasal dari aktifitas
kenikmatannya.
“Adek nggak mau membunuh anak kita, mas.”
Kataku—berusaha mengucapkan kata-kata yang sejujurnya ingin kudengar dari
dirinya.
“Aduh kamu kok bebal sih. Kamu tuh mikir,
dek, kamu baru 16 tahun. bisa-bisa mas ditangkap polisi kalau ketahuan!” mas Gunawan, seharusnya kamu itu yang mikir
saat kamu memaksaku melakukan ‘itu’ dulu.
“Aku nggak mau aborsi, mas!” nadaku mulai
meninggi, ketakutan.
“Sudahlah dek, nggak usah mikir yang
macam-macam. Tenang saja, percaya saja sama mas, ya? Mas sudah nanya
kemana-mana, ada dukun beranak yang biasa aborsi. Sudah terjamin, dipercaya!” percaya, mas? Masihkah kata percaya itu ada
setelah apa yang kau lakukan dulu dan kau katakan sekarang?
Aku menghela nafas, panjang. Berusaha menahan
jatuhnya air mata dengan mengigiti bibir bawah. Perlahan tanganku mengelus
bagian bawah perut, mencoba merasakan detak jantung yang entah sudah ada atau
belum.
Duh
anakku, maukah kamu mengerti kelemahan dan kebodohan ibumu ini? Maukah kamu
mendengar ketidakberdayaan ibumu ini? Bukan ibu tidak mencintaimu. Ya, ibu
mencintaimu. Bahkan jika kau belum berbentuk dan bisa merasa. Bagi ibu,
sekalipun tak pernah terlahir—kau ini hidup…
Air mata itu bergulir menerobos
pertahanan yang sejatinya sudah diusahakan dibangun.
Air mata itu bergulir pelan, terlihat, namun diabaikan.
Air mata itu bergulir pelan, terlihat, namun diabaikan.
* * *
“Cah ayu, ini letakkan di bawah lidah ya…
nanti 2 butir lagi bibi bantu masukin ke ‘anu’ kamu.”
Tangan keriputnya seperti carut marut setan. Wajahnya tersenyum, ekspresi yang sungguh tak cocok dengan bau neraka yang dikeluarkannya. Iblis yang akan merebut anakku itu mengulurkan 4 butir obat kecil berbentuk segienam dan bewarna putih ke hadapanku.
“Apa ini?”
“Itu cycotec
misoprostol. Sudah, minum saja ya, dek.” Sambar Mas Gun. Sedari tadi ia
hanya melihat—mengawasi mungkin, lebih tepatnya. Mencoba memastikan semuanya
lancar seperti keinginannya.
Merasa mendapat dukungan, iblis itu
menarik rahangku dengan kasar, menyorongkan obat-obat itu ke bawah lidah. Perlakuan
kasar itu mengejutkanku. refleks, aku mendorong kasar dukun beranak itu dan
meludahkan obat yang pahit itu.
PLAKK!
Seketika pandanganku bercampur antara
kerlap cahaya dan permainan warna. Tamparan keras yang dilayangkan Mas Gun ke
wajahku membuatku terjerembap ke atas dipan.
“Dablek!
Sudah dibilang, kamu itu nggak usah macam-macam, dek! Dasar perempuan, bisanya
hamil terus! Dikit-dikit bunting, dikit-dikit minta nikah!”
Aku menangis. Keras. Rasa sakit di pipi
hanyalah butiran kecil dibanding sesak yang menggila di dada. Teringat di
mataku sosok bapak dan ibuku. Mereka membesarkanku dengan penuh kasih bukan
untuk menjadi seperti ini. Digauli,
hamil, lalu dipukul ketika mencoba menyelamatkan anak sendiri.
“Dek, awas kamu. Kalau kamu berontak
lagi, jangan salahkan mas kalau besok pagi kamu sudah ngapung di kali!” bisik mas Gun di telingaku.
Aku terkesiap. Tangisanku berhenti,
mataku tak mampu berhenti mendelik. Mulutku ternganga, tak kuasa berbicara. Seriuskah
dia, mengancam membunuhku?
“Paksa saja, Bi. Kalau ngelawan lagi,
pukul saja kepalanya pake batu!”
Iblis itu maju, kembali menyorongkan obat
yang telah kusemburkan tadi. Saat aku mencoba memberontak, kusadari bahwa
ancaman mas Gun bukanlah sekedar kalimat. Tamparan demi tamparan kuterima hingga
akhirnya aku tak memiliki tenaga tambahan untuk mencegah iblis itu membunuh
anakku.
Perlahan, obat itu diletakkan di bawah
lidahku, dan sensasi mengerikan di bawah tubuhku memberitahu bahwa perempuan
iblis itu telah menyelesaikan pekerjaannya.
Aku terus menangis kesakitan—rasanya perutku
seperti digilas mobil. Namun aku tak kuasa bertindak lebih dari itu. Di tangan
mas Gun kini sudah ada pipa besi, yang akan ia gunakan dengan senang hati jika
aku mencoba menyelamatkan anakku. Di saat seperti ini, kata ‘seandainya’
menjadi sangat menyakitkan—terutama karena aku sungguh berharap itu semua bisa terwujud.
“Ah! Sudah mulai, Mas!” bisik iblis itu
kegirangan, menatap bagian bawah tubuhku.
Ketakutan, aku mencoba bangun dan melihat
apa yang mereka lihat. Jeritan tertahan meluncur dari bibirku sebelum sempat
dicegah. ‘anu’ku mengeluarkan darah. Banyak darah. Yang segar dan bergumpal. Bukan
seperti darah ‘datang bulan’ yang menetes pelan. Darah ini mengucur deras dan
merembes kemana-mana.
“Kamu tidur saja, cah ayu!” iblis itu
mendorongku ke dipan, lalu membasuhi tubuhku dengan lap basah yang panas.
“Mas! Sudah, mas, hentikan! Nanti aku mati, mas!”
jeritku pada mas Gun. Tanganku menggapai ke arahnya, mencoba memohon, mencoba
meminta. Namun yang kuterima justru pandangan murka.
“Ga usah mikir macam-macam! Kamu itu
nggak akan mati! Kalau kamu mati aku yang repot, tahu? Sudah tenang saja
disitu!” sembur mas Gun.
Bersamaan dengan kekecewaan yang
membanjir, aku merasakan kesadaranku mulai menjauh. Rasa dingin telah merambati
tubuhku seperti selimut tak terlihat. Dan dengan semakin banyaknya darah yang
keluar, iblis betina itu kini mulai memijit dan mengurut perutku. Setiap gerakannya
menambah penderitaanku. Menghadirkan kesakitan demi kesakitan yang datang gelombang-gelombang
besar dan menghanyutkan.
‘Bapak
baca apa kok seru sekali?’ ibu mengedarkan piring. Aku dan adik laki-lakiku
menatap rakus ke ayam goreng dan tumis sayur di meja makan—mencoba menemukan
potongan ayam mana yang paling banyak dagingnya.
Bapakku
menurunkan korannya. ‘Ini, ada bocah perempuan dan pacarnya yang ditangkap
polisi lagi gara-gara ketahuan aborsi. Kasihan, pacarnya mengubur mayat bayinya
dangkal. Mayat bayinya dicabik-cabik dan dimakan anjing’.
‘Aduh
si Bapak, kok ngomong begitu waktu mau makan. Jadi nggak selera nanti, Pak!’
ibu berdigik.
Aku mengerjap. Pemandangan hangat di meja
makan kembali terganti dengan wajah pucat iblis itu dan mas Gun. Keduanya terlihat
cemas, memelototi tubuhku seakan-akan aku menyimpan bom waktu.
“Tolong ambilkan handuk, Mas, di lemari
sana. Yang banyak ya!” iblis itu memerintah.
Segera, mas Gun datang dengan tumpukan
handuk. Handuk-handuk itu kemudian dijejalkan diantara pahaku. Disorongkan dengan
kuat hingga mengganjal. Sebentar saja, aku sudah kembali merasa basah.
“Mmm… Bi? Memangnya darahnya sebanyak
ini, wajar tho?” suara Mas Gun kembali samar, lalu hilang.
‘Kalau
kayak gitu, ceweknya juga ditahan polisi ya, Pak?’ adikku bertanya, penasaran.
‘Ya
kan salah. Udah dosa, ngelanggar hukum juga. Dia kan dianggap ngebunuh walau
anaknya belum lahir. Pasal berapanya KUHP gitu, Bapak juga ndak jelas. Yang pasti
dihukum bertahun-tahunlah.’ Bapak menjelaskan sembari mengambil nasi.
‘Pacarnya
dihukum berapa tahun, pak?’ tanyaku—nimbrung.
‘Sama-sama
saja, palingan. Paling beda beberapa bulan karena dia yang menguburkan.’ Jawab Bapak
sembari mengigit ayam.
‘Kasihan,
sebenarnya. Aborsi itu kan sama sakitnya seperti melahirkan. Udah bikinnya
belum tentu enak, aborsinya sakit, dipenjara pula. Laki-laki doang yang enak. Bikinnya
enak, nggak ngerasain aborsi, dihukumnya sama! Duh, memang nggak enak tho, jadi
perempuan? Makanya kamu wes, jangan macam-macam, Ndari.’ Ibu memelototiku. ‘Jangan
mau ditipu lelaki!’
“NDARI!”
Aku seperti terbangun. Bedanya, kali ini
aku terbangun tanpa merasakan sakit. Tubuhku ringan seakan mampu terbang. Di depanku,
mas Gun terlihat pucat dan seperti mau menangis. Tadi, dialah yang rupanya
memanggil-manggil aku dengan begitu berisik.
Salahkah aku untuk sedikit berharap bahwa
akhirnya—dia jadi sedikit perduli mengenai aku dan anaknya? Salahkah aku jika masih
berharap akhirnya ia mau membatalkan proses aborsi ini, menikahiku, dan menjadi
bapak anaknya?
“Ndari, jangan mati! Mas minta maaf sama
kamu, tapi tolong jangan tinggalkan mas! Tolong, Ndari!” jerit mas Gun, hilang
kendali.
Duh, mas Gun ini bicara apa sih?
Aku mengawasi iblis betina itu, yang
sejak tadi sibuk mengelilingi kami. Menempelkan handuk baru dan mencampakkan
handuk lama yang baru sebentar saja sudah berlumur darah, mengusap tubuhku
dengan lap panas, dan menyuntikku entah dengan cairan apa.
“Maaf, Ndari… maaf…” lirih mas Gun.
Aku ini nggak butuh maafmu, mas… aku cuma
ingin kamu jadi manusia yang cukup dewasa untuk mengakui bahwa kebutuhan
biologismu itu berdampak sebesar ini. Aku cuma ingin kamu berhenti
menyalahkanku dan mau bertanggung jawab atas tindakan yang kau ambil. Aku hanya
ingin mendengarmu masih berkata ‘aku cinta kamu’ setelah aku berucap ‘aku hamil’.
Dan ternyata mas, itu semua terlalu berat
untuk ditanggung seseorang yang tidak pantas disebut ‘lelaki’ sepertimu…
‘Kenapa
ibu bukannya bilang ke Surya—supaya dia nggak ngehamilin anak gadis orang?’
protesku. ‘Apa karena aku perempuan makanya ibu bilang jangan mau ditipu,
jangan mau hamil. Lah yang nipu dan menghamili, kenapa nggak dilarang bu?’
Suaraku menggema, lalu perlahan mulai
hilang. Aku hanyut dalam buaian tenang sesuatu yang tak terlihat. Rasa kantuk
yang nyaman menyerangku, mendamaikanku. Ada suara-suara familiar di sekelilingku,
memanggil dan mengundang.
Aah… aku lelah, Tuhan… izinkan aku
berpulang… aku lelah menjadi perempuan di tengah-tengah masyarakat yang
mendiskriminasi ciptaanMu. Aku lelah menjadi korban. Aku lelah menjadi ‘yang
bersalah’.
Biarkan aku pulang, Tuhan… biarkan aku
menerima pengadilanMu yang adil. Biarkan aku menerima keputusanMu yang tak
berpihak…
Biarkan aku beristirahat dan menutup
mata, menyambut apapun itu yang akan menjemputku.
ya Allah garing hatiku kalo laki2 kek seperti itu. tahunya buat aja ehh pas da gini baru mau kek gitu !! wahhh jadi emosi.. hmm wanita wanita..
BalasHapuswaahh,,mbaaakkk.... nyereemiin ceritaaanyaa,,,
BalasHapussakit hati, sakit karena aborsi , beeuhh,, na'udzubillah, semoga tokoh mas gun ga saya temui di kehidupan nyataaa ...
aduh kejem amat sih cowoknya..sremm
BalasHapusNaudzubillahiminzalik ya Allah.. -_- mereka tidak bersalah..
BalasHapusMoga tokoh Mas Gun tak ada di dunia nyata. Semoga. Sedih bgt bacanya T.T
BalasHapusbacksoundnya mendukung banget,jadi nangis aku baca ini.....
BalasHapusSuciii... ceritanya keren... semoga bisa menjadi kisah pembelajaran bagi semua, khususnya kaum hawa....
BalasHapusditunggu kisah2 berikutnya yaa...
iya juga ya kalo ada kasus penangkapan pasangan yang ketahuan aborsi di koran-koran atau televisi, pasti orang tua ngingetinnya tuh ke anak gadisnya untuk jaga diri, kenapa gak dengan anak lelakinya juga untuk menjaga hawa nafsu :/
BalasHapusYa Alloh.. emang kalo jadi posisi cewek kok ngenes banget yah..:(
BalasHapussedih.. kalo ada cowok kayak Mas Gun di cerita ini, terkutuklah huhu :((
aborsi udah dosa, dan menyakitkan, seharusnya tobat atas perlakuan berzina itu, malah semakin menambah dosa -___-. cerita yang bagus,buat pembelajaran bersama, baik cewek maupun cowok. :)
Halo halo :)
BalasHapushiiiiiiiii
BalasHapusngerriiiii ceritanya...
jangan nyalahin lelakinya aja,,, cewenya juga salah... mau aja diajak bikinnya...
dua2nya salah...
serem amat ih :(
BalasHapusSedih aku bacanya :( Rasanya dunia ini sangat kejam untuk perempuan
BalasHapusyaampun :( sedih bnget bacanya :"(
BalasHapusGilaa. Sedih banget! *_*
BalasHapusKunjungan sore mbak
BalasHapusMaaf baru berkunjung soalnya lagi ujian
Aku tersentil dengan kalimat "dasar wanita, dikit- dikit hamil"
Lha memang kodrat kita untuk bereproduksi, mau gimana lagi mbak
Memang sekarang kasus aborsi banyak banget, lagi- lagi perempuan yang disalahkan. Padahal yang jadi setan yang cowoknya
hmmmm
dan akhirnya perasaan saya sedih setelah baca artikel ini,,,,
BalasHapusWah sedih banget nih ceritaX :(
BalasHapuskunjungan ..
BalasHapussalam sukses ..:)
Saya senang berkunjung kesini selalu dapat informasi dan postingan yang sangat bijak :).
BalasHapusDisadari atau tidak, kejadian diatas sebenarnya sudah mulai banyak terjadi di masyarakat sekitar hmmm miris memang. Trus siapa yang mesti tanggung jawab dengan keadaan ini?
Semua itu diawali dr pacaran yang gak wajar,
Ingat wajahnya yang mencintai kita..
Ingat wajahnya yang menyayangi kita..
Ingat wajahnya ketika tersenyum kepada kita..
Ingat wajahnya ketika mendoakan kita..
Ketika mencium kening kita..
Ketika menangis disaat kita terluka..
Ketika dia berharap akan kesuksesan kita..
Dia yang benar-benar menyayangi kita..
agar pacarannya gak berlanjut ke seks dan akhirnya abors.
semoga masih ada sisa perawan untukku nanti :)
baru dapat pertanyaan dr salah satu pengguna fb gy mana cara menggugurkan kandungan?
BalasHapusSumpah tegaa sekali yaa mw gugurin kandungan