Behavioral sciences sejak lama telah
digunakan untuk menjelaskan bagaimana cara berpikir seseorang, perasaan,
perilaku, hingga respon sosialnya. dalam ilmu ini juga dikembangkan alat bantu
untuk mengeksplorasi pikiran dan emosi. Menurut Bower et al (1988) emosi
mengandung perasaan, sensasi batin, dan segala perubahan perasaan dan tindakan.
Emosi juga terlibat dalam pembentukan motivasi, self-regulation, dan signaling
dari seseorang (Bower, et al., 1988).
Paul Ekman dalam tulisannya “Are There Basic Emotions” menjabarkan
bahwa terdapat 10.000 lebih ekspresi wajah yang dapat timbul dari kombinasi 5
otot wajah. memang kemudian tidak semua kombinasi ini memiliki makna, dan hanya
sekitar 3000 saja yang memiliki arti di baliknya. Oleh karena kombinasi 5 otot
wajah ini berlaku bagi setiap manusia tanpa memandang ras, jenis kelamin, dan
sebagainya, maka terdapat ekspresi dasar seperti gembira, terkejut, takut,
sedih, marah, jijik, dan menghina (merendahkan) yang merupakan ekspresi mikro yang muncul secara spontan dan
berlaku secara universal. Sementara gestur dan perilaku lainnya seperti
mengedipkan mata atau gestur tangan misalnya, bisa saja dipengaruhi oleh nilai
budaya dan pemahaman di tempat tertentu(Ekman,
Are There Basic Emotions?, 1992)
Namun intensitas ekspresi
mikro ini dapat juga berbeda diantara negara-negara yang ada, seperti yang
dijelaskan dalam penelitian Biehl,
Matsumoto, Ekman, dan Hearn ( 1997), orang Jepang misalnya, menunjukkan intensitas
ekspresi marah, takut, dan sedih yang lebih besar. Orang Amerika memiliki
ekspresi menghina yang bervariasi, atau orang Vietnam yang memiliki ekspresi
jijik yang bervariasi (Ekman, Are There Basic Emotions?, 1992)
Paul Ekman (2009)
mendefinisikan micro-expressions
sebagai “ekspresi emosional keseluruhan wajah yang terjadi secara bersamaan
dalam satu waktu, berlangsung sekejap dari durasi biasanya, begitu cepat hingga
biasanya tidak terlihat”. Menurut Ekman, micro-expression ini adalah ekspresi
sekejap yang hadir dalam interaksi manusia dan menunjukkan apa yang sebenarnya
orang tersebut rasakan, meski jika orang tersebut tidak mengetahui bahwa dia
merasa demikian. Wajah merupakan bagian
tubuh yang memiliki reaksi dan respon tercepat dari otak, dan merupakan lokasi
pertama dari tubuh untuk mengekspresikan emosi.
Ekspresi wajah biasanya
muncul saat seseorang melihat atau mendengar sesuatu yang dinamis dan bergerak,
misalnya saat seseorang mendengar petir, muncul ekspresi takut, atau ekspresi
gembira seorang suami yang mendengar istrinya hamil. Namun, Ekman dalam
tulisannya “Facial Expression and Emotion” menjelaskan bahwa gerakan tubuh
harus turut dianalisis, karena gabungan ekspresi wajah dan gerakan tubuh dapat
menimbulkan arti yang berbeda, misalnya apabila seseorang menutupi wajah
sedihnya dengan tangan, maka ini bisa berarti ‘shame’ (malu) (Ekman, Facial Expression and Emotion, 1993).
Menurut Paul Ekman, 90% dari orang yang
berbohong membuat 35 kesalahan yang berbeda-beda seperti gerakan wajah yang
disengaja, voice tics, dan gestur gugup. Di sisi lain, hanya 73% aparat penegak
hukum yang mampu mendeteksi kebohongan ini, sementara rata-rata polisi percata
bahwa 70-80% orang berbohong. Secara alamiah, pendeteksi kebohongan ini
dilakukan melalui penilaian ‘kata-kata yang tidak cocok dengan ekspresi
wajahnya’ atau ‘gestur tubuh yang tidak cocok dengan suaranya’.
Dalam penelitiannya “Body Position, Facial Expression, and Verbal Behavior During
Interviews”, Paul Ekman mencari hubungan antara perilaku non-verbal dan
verbal yang secara serentak dipancarkan dalam interview mengenai stress.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam interview, informasi-informasi yang
ada disampaikan secara verbal, namun juga dapat terlihat dari perilaku
non-verbalnya seperti posisi tubuh dan ekspresi wajah. Perilaku non-verbal ini
misalnya gesture komunikasi yang mudah dilihat seperti senyuman dan jabat
tangan, hingga gesture yang sulit dilihat seperti goyangan tubuh, hentakan
kaki, dan arah pandangan. Ekman menyatakan bahwa perilaku non-verbal ini
menyampaikan informasi yang lebih banyak dan lebih jujur dibandingkan verbal (Ekman, 1964).
Dalam jurnalnya yang lain
yaitu “Detecting
Deception From The Body or Face”, Ekman dan Friesen menyatakan
bahwa perilaku non-verbal mengungkapkan bagaimana perasaan dan pemikiran
seseorang, bahkan disaat mereka menyembunyikannya. Dalam hal ini, bahasa tubuh
bahkan lebih banyak menunjukkan informasi yang akurat mengenai pikiran dan
perasaan dibandingkan wajah, karena mengontrol gerakan tubuh menjadi lebih
sulit dibanding mengatur ekspresi wajah. Dan jika-pun seseorang berusaha
mengontrol gerakan tubuhnya, pada sebagian besar kasus, orang cenderung gagal
mempertahankan konsistensi gerak tubuhnya (Ekman
& Friesen, Detecting Deception From The Body or Face, 1974)
Maka dari itu, analisis
micro-expression merupakan unsur yang penting dalam investigasi ataupun
interview seseorang, karena dari sanalah kita dapat mengetahui kebenaran dari
apa yang disampaikan oleh seseorang. Ilmu ini sendiri telah lama mendapat
tempat dalam upaya penegakan hukum
seperti yang dijelaskan oleh Reni
Wardhani, Ketua Bidang Pengembangan Profesi Asosiasi Psikolog Forensi Indonesia
dalam seminar “Role of Micro Expression”, micro expression memiliki peranan
penting untuk mencegah bias keterangan saksi yang dapat mengaburkan proses
penyidikan dengan mengobservasi mimic wajah serta respon gerakan seseorang
terhadap suatu kejadian atau pertanyaan. Penyidik dapat menggunakan micro
expression agar lebih cermat memerhatikan petunjuk dan kemungkinan yang ada
pada pola-pola ekspresi, komunikasi verbal maupun non-verbal. Micro expression
memang tidak dapat dijadikan alat bukti untuk memvonis seseorang bersalah atu
tidak, karena hukum di Indonesia masih menganut hukum positif yang mengandalkan
keterangan dari kesaksian dan pengakuan (online
institute, 2013).
Subyek pada penelitian ini adalah Tahanan
Polda Metro Jaya yaitu Ibu B, 42 Tahun, tersangka kasus pemalsuan dokumen dan
sudah berada di dalam tahanan selama 4 bulan. Ibu B merupakan ibu dari dua anak
yang berumur 15 tahun dan 9 bulan. Ia berasal dari keluarga menengah-keatas,
dimana banyak anggota keluarganya bekerja di bidang penegakan hukum (pengacara,
polisi).
Ibu B jelas memiliki intelejensia tinggi. Hal
ini dapat diketahui dari pemilihan kata-kata dan maknanya saat ia tengah
berbicara, atau pengakuannya yang merupakan pegawai dengan jabatan cukup tinggi
di sebuah Kantor Swasta. Ibu B juga merupakan pribadi yang memerhatikan
penampilannya, ia bahkan menggunakan kuteks merah-bata serta make-up lengkap
saat tengah saya wawancara. Sejak awal, sudah terdapat defense mechanism yang ditunjukkan oleh Ibu B, dimana ia berusaha
untuk memperbaiki citranya sebagai tahanan (tersangka kejahatan).
Wawancara yang saya lakukan terdiri atas
beberapa bagian, dimana proses pembangunan rapportnya berjalan dengan
menanyakan keluarga dan latar belakang ibu B. Pertanyaan kemudian juga berkisar
pada keadaan sel, perasaan subyek karena ditahan, aktifitas, serta interaksi
sesama-tahanan yang dilakukan ibu B selama ditahan di tempat tersebut. Saya
juga mencoba untuk membicarakan mengenai kasus pemalsuan dokumen yang ia alami,
namun memperoleh penolakan secara halus maupun tegas.
Dalam penelitian ini, meskipun ibu B
sebenarnya menunjukkan banyak informasi secara non-verbal maupun verbal, namun
saya memfokuskan analisis penelitian ini pada 3 ekspresi yang intensitasnya
cukup tinggi dan jelas terlihat yaitu ekspresi saat ibu B berbohong, tidak
nyaman (gelisah/cemas) atau takut, serta saat sedih.
Ekspresi
yang Ditunjukkan Saat Berbohong
Paul Ekman dalam penelitiannya
mengenai emosi dan ekspresi wajah, menyusun konsep FACS yang mampu membantu
investigator dalam menerjemahkan arti dari berbagai ekspresi wajah, terutama
kebohongan. Saya juga akan memadukan konsep Ekman dengan penelitian Boe dalam “The Truth About Lying” yang menyatakan
bahwa selain penipu, orang yang terpaksa berbohong, dan politisi, kebanyakan
orang akan merasa tidak nyaman saat berbohong dan menunjukkan perilaku curang
ini dalam bahasa tubuhnya. Menurut Boe, pergerakan mata, hidung, dan mulut
bersama dengan gestur tangan merupakan 4 isyarat utama dalam mendeteksi
kebohongan (Boe, 2006).
Menurut Sumpter dalam “Nonverbal Signs of Deception”, dalam
mendeteksi kebohongan, penting untuk melihat apakah kata-kata seseorang sesuai
dengan ‘pesan’ yang disampaikan oleh gerak tubuh atau wajahnya. Seseorang bisa
saja memalsukan ekspresinya, namun akan tetap menunjukkan kesalahan. Misalnya,
jika seseorang memberikan senyuman palsu, matanya akan cenderung menunjukkan
simptom yang tidak sesuai dengan bibirnya
(Sumpter, 2008).
Konsep inilah yang akan saya
gunakan dalam menganalisis kebohongan narasumber. Adapun dalam kasus Ibu B,
kecendrungan berbohong ini saya temukan setiap kali beliau tengah menjawab
pertanyaan mengenai kasus dan pelapornya, serta saat menjawab pertanyaan
“Apakah disini ada yang menyelundupkan barang yang tidak seharusnya?”. Adapun
micro-expression yang saya temukan adalah:
1.
Pupil mata membesar,cenderung mengedipkan
mata, menghindari kontak mata, dan menoleh ke arah kanan. Ibu B menggigit bibir bawahnya, mata berkedip
dengan cepat, dan menghindari kontak mata. Ia juga mengalihkan pandangannya kea
rah kanan sebelum menolak menjawab lebih jauh. Hal ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh Boe (2006) bahwa seseorang akan melihat kearah kiri atasnya
saat memikirkan mengenai masa lalu dan kearah kanan atasnya saat memikirkan
mengenai masa depan (merencanakan sesuatu). Maka, Ibu B yang justru melihat
kearah kanan atas saat tengah menjelaskan kasusnya yang terjadi di masa lalu,
memiliki kemungkinan besar untuk berbohong.
2.
Sering menelan ludah. Ibu B berkali-kali menelan ludah dan
membasahi bibir bawahnya dengan lidah.
3.
Bermain dengan jari, meremas-remas jari dan
tangannya berulang kali. Ibu B
kerap menunjukkan perilaku dimana jarinya ditautkan atau menggosok-gosok tangan
kanannya.
4.
Tangan cenderung menyentuh mulu, tenggorokan,
dan wajah. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Boe dalam tulisannya “The
Truth About Lying” yang menyatakan bahwa saat orang tengah berbicara
bohong, mereka cenderung akan meletakkan jarinya di bibir seakan-akan tengah
menyaring kata-katanya (speak no evil), menggaruk atau menyentuh area di
sekitar matanya (see no evil), dan menyentuh area disekitar telinganya (hear no
evil) (Boe, 2006). Ibu B juga berkali-kali menyentuh kacamata dan
telinganya. Begitu juga saat saya bertanya mengenai barang selundupan, ibu B
menggigiti dan menyentuh bibirnya.
5.
Gerakan tubuh terbatas, dimana tangan dan kaki Ibu B lebih ke dalam
tubuh dan sangat terlihat menjaga jarak.
6.
Cenderung defensif, dimana Ibu B menolak secara tegas dan
singkat untuk menjawab pertanyaan saya.
Selain micro-expression, saya
juga akan menganalisis kecendrungan berbohong ini dengan metode verbal dengan
menggunakan konsep McClish yaitu Statement Analysis. Adapun menurut
McClish, pendeteksian kebohongan lebih baik
menggunakan metode verbal dibandingkan non-verbal yang sulit untuk dianalisis,
membutuhkan waktu banyak untuk diproses, dan memiliki resiko besar dalam
misinterpretasi. Pernyataan McClish ini didukung oleh penelitian yang diadakan
oleh Etcoff, Ekman, Magee, dan Frank
(2000) yang menjelaskan bahwa orang yang memiliki kemampuan untuk mengerti
kata-kata (aphasics) lebih mampu mengenali kebohongan dibandingkan mereka yang
hanya memperhatikan ekspresi wajah maupun gerak tubuh.
Hal ini juga dijelaskan
di dalam Dalam jurnal “What You Say and
How You Say It”, Ekman, Friesen, dan Scherer menemukan bahwa selain analisa
bahasa non-verbal, analisis konten pembicaraan juga sama pentingnya. Misalnya
apabila seorang perempuan berbohong mengenai perasaan negatif yang ia rasakan,
maka perilaku non-verbal yang ia tunjukkan tidak akan terlalu signifikan. Untuk
itulah kemudian kita dapat menganalisa konten pembicaraan individu tersebut
(Ekman, Friesen, & Scherer, What You Say and How You Say It: The Contribution
of Speech Content and Voice Quality to Judgments of Others, 1985).
McClish kemudian menyusun
sebuah konsep untuk mendeteksi kebohongan yang ia sebut dengan Statement
Analysis. Konsep ini tidak bertujuan untuk membaca pikiran seseorang,
namun lebih pada menganalisis definisi dan grammar dari kata-kata seseorang,
yang lebih jelasnya berupa (McClish,
2011):
1.
Huh Factor: dalam penelitian McClish
mengenai telfon darurat di Amerika Serikat yaitu 911, operator biasanya akan
berusaha melacak laporan dari orang yang menelfon tersebut dengan memberikan
pertanyaan rinci mengenai kasusnya, misalnya “Istri anda jatuh dari ketinggian
berapa?”. apabila kemudian muncul jawaban seperti “Huh?”, “What?”, atau “Do
what?”, ditemukan bahwa 91% dari penelfon ini justru menjadi pelaku dari kasus
tersebut.
Kecendrungan
perilaku ini juga ditunjukkan Ibu B saat ditanya mengenai “Siapa yang
melaporkan Ibu?”, ia menjawab dengan “Hah? Apa? Oh… Adalah, orangnya.”
2.
Resistance in Answering: Dalam penelitian lainnya
pada saluran 911, McClish menemukan bahwa apabila penelfon menolak untuk
menjawab pertanyaan yang relevan, ditemukan bahwa 100% penelfon tersebut
merupakan pelakunya. Misalnya operator bertanya apa yang terjadi pada korban,
namun penelfon menjawab “Hanya itu yang bisa aku laporkan”.
Kecendrungan
perilaku ini ditunjukkan ibu B saat beliau menolak dengan keras saat saya
berusaha bertanya lebih lanjut mengenai kasusnya “Hmm.. ya, saya hanya bisa
ngasih tau itu doang.”.
3.
Stalling for Time: apabila investigator
mengajukan pertanyaan dan pelaku menjawabnya dengan terlebih dahulu mengulang
pertanyaan itu misalnya, maka terdapat kemungkinan besar pelaku bersalah atau
mengetahui mengenai kejahatan tersebut. misalnya dalam kasus pencucian uang,
pelaku menjawab dengan “Hah? Apa aku terlibat dalam kasus ini? Tidak.”
Seseorang yang akan berbohong biasanya melakukan ini untuk mengulur waktu untuk
berpikir sejenak sebelum menjawab.
Kecendrungan
perilaku ini juga saya temukan saat tengah menanyakan “Tapi disini ada nggak
Bu, yang diam-diam menyelundupkan handphone?” ibu B menjawab dengan “Ha?
Menyelundupkan handphone? Oh.. Ya.. Nggak ada, dong, kan sudah ada telfon
koiiin..”
4.
Yes or No: apabila investigator
mengajukan pertanyaan yang jawabannya berupa “tidak” atau “iya”, namun pelaku
justru menjawab secara implisit, maka besar kemungkinannya ia bersalah.
Misalnya investigator bertanya “Apakah kamu membunuhnya?”, maka jawaban
seharusnya adalah “tidak” atau “iya”, namun pelaku kejahatan biasanya menjawab
dengan “aku bukan orang yang seperti itu” dan sebagainya.
Saat saya bertanya mengenai
“Apa Ibu memang benar melakukannya (kejahatan tersebut)?” Ibu B tidak menjawab
“Iya” atau “Tidak”, namun “Melakukannya? Yah, gimana ya.. Namanya juga orang,
semuanya pasti pernah melakukan kesalahan…”
Ekspresi yang Ditunjukkan Saat Merasa Tidak Nyaman
Oleh karena
wawancara kami dilakukan di ruang terbuka dimana di sekitar kami banyak petugas
kepolisian yang berlalu lalang, merekam, bahkan mendengarkan isi wawancara
kami, ibu B kerap menunjukkan ekspresi gelisah, tidak nyaman, bahkan
manipulatif.
Misalnya saat
dihadapkan dengan pertanyaan mengenai petugas, arah pandangan ibu B akan
terpaku dan mengawasi petugas yang terdekat. Selama wawancara, ibu B juga
berkeringat dingin padahal kondisi ruangan saat itu tidak terlalu panas. Saat
ada seorang petugas yang menghampiri kami dan merekam wawancara ini, kebetulan
saya sedang mengajukan pertanyaan mengenai petugas. Menyadari keberadaan
petugas tersebut, ibu B menjawab dengan hal-hal baik dengan intonasi dan volume
suara yang keras, pitch dalam
suaranya juga naik menjadi lebih nyaring.
Ibu B juga kerap
memelintir tissue yang saya berikan dengan tangannya, serta cenderung
meremas-remas tissue tersebut saat dihadapkan dengan pertanyaan mengenai petugas,
pelanggaran dalam tahanan, serta kasusnya.
Saat saya
bertanya mengenai kemungkinan penjara, ibu B menunjukkan micro-expression takut,
yaitu alis mata naik dan menyatu, kelopak mata naik dan menegang, serta bibir
horisontal ke arah telinga. Ibu B juga mencengkram kursi dengan tangannya,
serta kaki bergerak secara berlebihan.
Pada akhir
wawancara, ibu B tiba-tiba mengeluh ia sakit perut dan meminta izin untuk
segera kembali ke sel-nya. Alasan ini juga berubah-ubah karena beberapa saat
selanjutnya ia justru mengaku ia sedang menunggu suaminya.
Ekspresi yang Ditunjukkan saat Merasa Sedih dan Menyesal
Selama proses wawancara ini,
Ibu B menunjukkan ekspresi santai dan nyaman yang paling intens saat tengah
membicarakan anak dan keluarganya. Saat saya mengajukan pertanyaan mengenai
reaksi keluarganya yang sebagian besar bekerja di bidang penegakan hukum, ibu B
menunjukkan ekspresi ‘shame’ (malu) dan ‘sad’ (sedih) yang ditunjukkan melalui
bahu yang turun, menghela nafas berat, sudut bibir turun, dan menghindari
kontak mata. intonasi suaranya juga melambat dan kehilangan tekanan-tekanan,
volume suara ibu B juga mengecil hingga nyaris tak terdengar.
Bahkan, saat membicarakan
anaknya, ibu B sempat menangis. Ekspresi sedih yang timbul di wajahnya
merupakan ekspresi yang genuine,
sesuai dengan penjelasan Ekman dimana ekspresinya terlebih dahulu memasuki
‘wajah netral, sebelum kelopak matanya
turun, sudut bibir ke arah bawah, dan kehilangan fokus di mata. suaranya juga
melembut, volume suara menurun, dan tekanan suaranya menghilang.
Tangisan ibu B ini juga
merupakan ekspresi yang jujur, sesuai dengan penelitian Brinke et al dalam “Crocodile Tears: Facial, Verbal, and Body
Language Behaviors Associated With Genuine and Fabrocated Remorse” yang
menyatakan bahwa saat seseorang benar-benar menangis atau menyesal, ia akan
lebih banyak menunjukkan keraguan dalam kata-katanya seperti “um..”, “uh..”,
atau “ee..” (Brinke, MacDonald, Porter,
& O'Connor, 2012).
DAFTAR
PUSTAKA
Biehl, M., Matsumoto, D.,
Ekman, P., & Hearn, V. (1997). Matsumoto and Ekman's Japanese and Caucasian Facial Expressions
of Emotion (JACFEE): Reliability Data and Cross-National Differences. Journal
of Nonverbal Behavior , 3.
Boe, J. (2006). The Truth About
Lying. Agency Sales , 50.
Bower, G., Campos, J.,
Carpenter, P., Ekman, P., Klatzky, R., Suomi, S., et al. (1988). Basic Behavioral
Sciences. Schizophrenia Bulletin .
Brinke, L., MacDonald, S.,
Porter, S., & O'Connor, B. (2012). Crocodile Tears: Faial, Verbal, and Body Language Behaviours
Associated With Genuine and Fabricated Remorse. Law and Human Behavior ,
51-59.
Carbon, C., & Grammer,
K. (2011). Nonverbal
Signals. Retrieved Juni 03, 2013, from Globalemotion.com:
http://www.globalemotion.de/nonverbal-signals.html
Ekman, P. (1964). Body Position,
Facial Expression, and Verbal Behavior During Interviews. Journal of Abnormal
and Social Psychology , 295-301.
Ekman, P. (1992). Are There Basic
Emotions? Psychological Review , 350-553.
Ekman, P. (1993). Facial Expression
and Emotion. American Psychologist , 336-379.
Ekman, P., & Friesen, W. (1974). Detecting Deception
From The Body or Face. Journal of Personality and Social Psychology ,
238-298.
Ekman, P., Friesen, W.,
& Scherer, K. (1985). What You Say and How You Say It: The Contribution of Speech
Content and Voice Quality to Judgments of Others. Journal of Personality and
Social Psychology , 54-62.
Etcoff, N., Ekman, P.,
Magee, J., & Frank, M. (2000). Lie Detection and Language Comphrehension. 139.
Isenberg, A. (2011). Personality Type and
The Successfull Liar.
McClish, M. (2011). Pitfalls and
Opportunities in Nonverbal and Verbal Lie Detection. Psychological Science
in The Public Interest , 89-121.
McClish, M. (2012). Why is Statement
Analysis So Accurate? Retrieved Juni 04, 2013, from Statement Analysis:
http://www.psychologicalscience.org/journals/pspi/pspi_10_6.pdf&usg=ALkJrhhedANOyxosoXXODfz-YX713WmfJA
online institute. (2013, Maret 07). Micro
Expression, Pendeteksi Kebohongan Dalam Proses Peradilan. Retrieved Juni
03, 2013, from Online Institut: Lembaga Pers Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah:
http://www.lpminstitut.com/2013/03/micro-expression-pendeteksi-kebohongan.html
Sumpter, J. (2008). Nonverbal Signs of
Deception. Law & Order , 14.
Bisa juga diterapkan dikehidupan sehari-hari ya... Nambah ilmu baca artikel km ^^
BalasHapusgood job!!!
hahaha iyalaaah, pelajarin aja ki, sekalian ngasah kemampuan untuk mendeteksi.. thank yoou ;)
BalasHapusjd tertarik mempelajari micro expression lagi, dulu sempet suka beginian gara2 west series Lie to me :))
BalasHapusHai sahabat2 dunia maya... Apa kabar kalian Hari ini?
BalasHapusSemoga sehat selalu ya..
Oya sob, Pernah dengar tentang bahasa wajah apa belum?
Ternyata dengan melihat beberapa ciri dari bagian wajah kita, kita bisa tahu kepribadian dari Orang tersebut, Ini cocok banget buat sobat yang lagi ngejar Gebetan.. hehhee..
Simak ulasan lengkapnya di mari sob >> https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=882796765148128&id=882795181814953
Oya, Like juga ya Fans Page Bahasa Wajah , Kamu bisa baca2 sifat dan karakter manusia dilihat dari bahasa wajahnya... Seru deh sob , so jangan sampai ketinggalan sob >> https://www.facebook.com/Bahasa-Wajah-882795181814953
Atau Bisa Langsung di mari juga lho sob >> www.bahasawajah.blogspot.com
Suka baca tulisan ini. I'm a big fan of Lie To Me. Kamu bikin saya keinget sm dr. Foster. Pengen bisa gini juga, tapi ya apalah daya.... :)
BalasHapus