22 Nov 2021

Sekarang dan Nanti

10:30 0 Comments


Mei 2019, adalah kali terakhir aku menerbitkan tulisan di blog ini.

Lama bener ya hiatusnya, bun. Dua tahun lebih, gitu. 

Padahal kalau boleh dikata, bukannya malas nulis atau tidak ada inspirasi. Banyak, kok. 

18 Mei 2019

Hantu Masa Lalu

11:32 0 Comments


Setiap kali terpikirkan, seperti tak akan ada habisnya aku menyesali semua kekeliruan dan kesalahan yang telah kulakukan di masa lalu.
Menyesali semua hal menyakitkan yang kutimpakan pada orang-orang tanpa sempat mengucapkan permintaan maaf.
Menyesali keputusan-keputusan bodoh yang dampaknya tak akan pernah bisa kuperbaiki.
Berkali-kali aku mencoba memaafkan diriku, namun ternyata tak mudah.
Berkali-kali aku mencoba membangkitkan hati dari terpaan rasa hina dan kotor atas diri, namun tak bisa.
Bagiku, aku adalah makhluk hina yang selamanya akan dipandang hina oleh orang-orang yang mengetahui aku dan aibku di masa lalu.
Lalu di satu titik dalam perjalanan panjangku, aku menyadari bahwa tanpa semua kekeliruan, kesalahan, keputusan-keputusan bodoh dan penyesalan ini, tak akan pernah ada ‘aku’ yang sekarang.
Bukankah aku yang sekarang lahir dari penyesalan yang tak berkesudahan atas semua yang menghantuiku hingga saat ini?
Hantu-hantu yang selalu membayangi, membuntutiku di balik punggung dengan begitu erat untuk mengingatkanku agar tak pernah lagi melakukan salah yang sama.
Hantu-hantu yang akan menikamku dengan rasa bersalah, bahkan jika aku sempat berpikir tuk melakukan kekeliruan yang serupa.
Dan bukankah berkat merekalah aku terus melangkah maju, dipacu rasa bersalah untuk sedikit demi sedikit namun terus menerus memperbaiki diri, disini dan disana?
Iya. Kusadari bahwa aku yang sekarang adalah aku yang dipenuhi akan upaya untuk mencoba mensyukuri semua yang telah terjadi di masa lalu.
Mensyukuri apa yang tak bisa kuulang kembali dan apa yang bisa kuraih jika aku mau berupaya lebih keras di esok hari.
Mensyukuri segala kesempatan yang masih Allah SWT berikan padauk, baik di masa lalu, hari ini dan hari esok.
Aku yang mencoba percaya bahwa ‘aku’ bukanlah apa yang orang ingat dan labelkan mengenai perbuatan memalukanku di masa lalu, namun ‘aku’ yang hanya Allah dan akulah yang paling tahu.
Memahami bahwa semua yang terjadi di belakangku adalah alasan mengapa hari mendatang harus lebih baik. Bukan begitu?

2 Mei 2019

Jantung Anakku Part 2: Perjuangan Untuk Tumbuh

16:01 0 Comments

sumber gambar di sini


Bagi anak yang menderita penyakit jantung bawaan, kecukupan kenaikan berat badan adalah salah satu tolak ukur penting untuk menentukan tindakan pengobatan selanjutnya. Jika seorang anak gagal tumbuh, dokter bisa mendesak untuk melakukan tindakan selanjutnya--sesuatu yang aku dan Mr. Syu hindari betul.

Kami tak ingin #BabyBro dioperasi, karena sadar bahwa jika lubangnya ditutup dengan pelat metal, maka impinya mengenai akan jadi apa dia kelak akan terbatas. Misalnya saja, menjadi jenderal TNI, seperti doa-doa yang diam-diam kami selipkan untuknya dalam ucapan kami sehari-hari.

Maka, sebisa mungkin, kami ingin kondisi tubuhnya baik untuk mendukung lubang tersebut menutup sendiri.

Dengan demikian, kenaikan berat badannya harus terjaga tetap baik. Dan sebagai ibunya, otomatis itu menjadi tugas utamaku.

Itulah sebabnya, entah sejak kapan, aku menjadi sangat terobsesi dengan berat badan #BabyBro. Aku sadar 6 bulan pertama upayaku amat terbatas. Aku hanya dapat mengkonsumsi makanan terbaik dan suplemen paling mujarab karena dia masih ASI eksklusif. Aku mulai menerapkan pola makan dan hidup sebaik mungkin. Persetan lah dengan kenaikan berat badanku sendiri. Yang penting anakku sehat.

Lalu tibalah masa dimana #BabyBro mulai MPASI, yang artinya, upayaku untuk menaikkan berat badannya pun bertambah!

Dengan bersemangat, aku giat mencari tahu. Berbagai dokumen, artikel, dan tulisan kubaca. Nyaris semua dokumen kesehatan mengenai anak di website WHO telah kulalap. Aku bahkan bergabung ke beberapa grup Facebook yang khusus membahas MPASI. Aku bertekad merumuskan asupan terbaik agar anakku bisa sehat.

Tak lupa, dengan sedikit ceroboh, kubeli bermacam-macam peralatan ‘perang’ untuk MPASI, yang kemudian kusesali karena ternyata tak semuanya terpakai. Dalam benakku, semua akan kutempuh agar ia makan banyak dan sehat.

Aku kemudian menemukan bahwa menyiapkan MPASI ternyata tak semudah itu. Prosesnya ternyata cukup sulit, terutama proses penyaringan, apalagi dengan kondisi tangan yang belum pulih seusai terkena Carpal Tunnel Syndrome. Rasa sakit dan kebas adalah teman sehari-hari saat aku menyaring makanan. Setiap kali merasa berat dan kesakitan hingga ingin berhenti, aku memaksa diriku tertawa dan berkata,

“Allahu Rabbiiiiii, emang ya, nyaring MPASI ini wujud rasa cinta seorang ibu bangetlah! Hahahaha.” hingga aku merasa lebih baik, kembali bersemangat, dan siap menjalani prosesnya dengan hati gembira lagi.

Menentukan kombinasi masakan juga tak semudah itu. Agar anak mau makan lahap, tentu masakannya harus enak. Apalagi MPASI homemade rasanya tak se-’yummy’ MPASI fortifikasi atau instan.

Untunglah saat masih jadi wartawan dulu aku sempat meliput koki yang menerapkan teknik Flavor Bouncing, sebuah teknik memasak yang luar biasa dari Grant Achatz. Teknik ini memungkinkan Achatz, seorang koki luar biasa yang lidahnya mati rasa karena kanker lidah, untuk terus menciptakan masakan-masakan yang luar biasa lezat. Cara kerjanya sebenarnya sederhana. Untuk menciptakan sebuah masakan yang lezat, seseorang harus mengenal rasa asli dari setiap unsur makanan, lalu memadu padankannya dengan bahan makanan yang lain. Seperti memilih jodoh yang sepadan lah istilahnya.

Misalnya saja, bahan utamanya ubi ungu yang manis sebagai karbohidrat. Jika aku memasukkan seledri yang ‘pedas’ atau brokoli yang ‘gurih’ sebagai sayuran, tentu rasanya bisa buyar. Maka wortel yang manis adalah jodoh terbaik yang bisa kudapatkan dengan mudah di tukang sayur. Lalu prona nya, bisa kacang merah untuk meningkatkan rasa manisnya. Dilengkapi dengan telur yang rasanya cukup netral sebagai prohe. Lalu ditutup parutan keju yang gurih serta UB yang wangi. Voila, semangkuk penuh MPASI 4* pun habis oleh #BabyBro. Tak heran, karena resep ini menghasilkan makanan bayi yang rasanya mirip benar dengan cokelat.

Aku juga giat membuatkan berbagai camilan tinggi kalori. Selalu ada puding dan buah di kulkas kami. Beberapa kali dalam sebulan aku juga membuatkannya sup tulang sapi. Aku juga membeli minyak ikan kualitas tinggi serta suplemen lainnya.

Semua dengan harapan agar ia makan dengan lahap sehingga kenaikan BB nya pun baik.

Namun kenyataan tak selalu seindah harapan, bahkan meski kita telah berupaya sekeras yang kita bisa.

Satu hal yang tak mampu kuantisipasi adalah penerimaan #BabyBro atas makanan itu sendiri. #BabyBro ternyata adalah anak yang sangat sensitif. Ia menolak rasa dan tekstur baru dengan cukup keras. 1001 cara aku lakukan untuk membuatnya makan, maka 101 carapun ia lakukan untuk menghindari makanan.

Hingga pada akhirnya, aku kerap kali harus memaksanya makan dengan kekerasan verbal; omelan, bentakan, hingga ancaman. Aku juga harus berdamai dengan prinsipku dan membiarkannya makan sembari menonton televisi atau gadget. Di hari-hari yang lebih baik, aku bisa memberinya makan sembari membaca buku.

Bukannya aku tak pernah mencoba menjalankan suasana responsive feeding seperti yang WHO bilang. Aku selalu mencobanya. Tiap kali gagal, aku coba kembali. Gagal, kucoba kembali. Ada kalanya dimana semua berhasil. Kami sama-sama memiliki momen dimana makan menjadi hal yang menyenangkan dan sesuai peruntukannya. Namun seringkali aku harus berdamai untuk mengepak teori-teori yang ada dan menyimpannya kembali ke lemari.

Itu semua dikarenakan pilihannya adalah membiarkannya makan dengan tatalaksana yang seharusnya atau memastikan gizinya tercukupi.

Aku memutuskan bahwa aku memilih pilihan kedua, hingga predikat ‘raja tega urusan makan’ pun kemudian kurasa pantas disematkan padaku.

“Janganlah galak-galak banget ngasih anak makan itu, Be.” tegur Mamaku.

“Suci, nanti batinnya terbebani kalau dimarahin begitu.” mohon Mertuaku.

“Udahlah Be, jangan sampai dia ketakutan begitu.” pinta Mr. Syu.

Semuanya kuterima dengan hati lapang, karena aku tahu bahwa mereka, orang-orang terkasih itu, juga tak tega melihat #BabyBro terkadang menangis saat dimarahi karena tak menghabiskan makanan. Aku tahu mereka hanya tak kuat melihatnya menderita.

Aku tahu, tahu sekali.

Karena sebenarnya aku yang paling menyadari bahwa aku ini kejam sekali saat memberinya makan. Tentu ada hari dimana ia bisa makan dengan baik, tenang dan lahap sehingga aku juga tak perlu marah-marah. Namun ada juga hari dimana aku harus mengamuk sejadi-jadinya hanya agar ia mau membuka mulut.

Hatiku juga sangat, sangat, sangat sakit saat melihatnya menangis karena tak ingin lagi menelan makanan yang aku suapkan. Begitu sakit hingga setiap malam saat kami berpelukan di atas kasur menjelang tidur, aku selalu meminta maaf berulang kali padanya atas semua yang aku lakukan di hari itu. Atas setiap ketakutan, trauma dan kesedihan yang mungkin telah aku torehkan.

Aku juga tahu bahwa ada kemungkinan sangat besar ia akan membenciku atas semua yang kulakukan.

Tapi sekali lagi, aku akan tetap melakukannya. Aku akan tetap melakukan apapun agar makanannya habis. Aku memutuskan akan menerima kemarahan, kebencian dan tuduhan dari #BabyBro kelak. Semuanya akan kutanggung sendirian.

Hanya agar ia bisa sehat…

Hanya agar ia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik…

Hanya agar ia tak perlu merasakan kesakitan yang lebih lagi…

Hanya agar ia bisa terus hidup bersamaku... Aamiin ya Allah...

Jadi biarlah dia membenciku dan cara-cara yang aku gunakan dalam mencintainya. Biarlah. Mungkin memang inilah tugas utama seorang ibu: mencintai tanpa mengharap balas. Tetap mencintai meski mungkin saja dibalas dengan rasa benci.

Lalu seiring berjalannya waktu, aku dan orang-orang disekitarku mulai melihat hasil dari ‘perjuanganku’.

#BabyBro tumbuh sehat, bahkan kurva kenaikan BB nya mulai menanjak naik. Jika tadinya BB nya dibawah garis hijau, kini garisnya mulai menanjak ke atas garis hijau, bahkan menyentuh kuning. Alhamdulillah!

Begitupun dengan tinggi badannya. Ia tumbuh begitu tinggi, bahkan diatas anak-anak seumurannya. Bahkan hingga kini aku dan keluargaku belum pernah menemui anak seumurannya yang lebih tinggi daripada dia.

Orang-orang terkasihku pun mulai memahami mengapa aku sangat gigih dalam urusan makan selama ini. Merekapun mulai mengerti bahwa dibalik semua itu aku sendiri amat menderita. Apalagi Mamah mertuaku, orang yang paling tahu perjuanganku dalam memberi makan #BabyBro, tak henti-hentinya membesarkan hatiku setiap ada kesempatan.

“Memang kita harus gigih memberi anak makan. Mana ada anak kecil doyan makan terus? Memang ibunya yang harus berusaha. Coba saja lihat tuh, jadi sehat gitu kan anaknya? Itu karena ibunya tiap hari berjuang keras ini itu buat kasih anaknya makan. Suci harus sabar dan semangat ya nak.” ucapnya selalu.

Lucunya lagi, tiap aku mulai panik menjelang jadwal check upnya dan kembali memberinya makan dengan super galak karena takut hasil BB nya tak baik, Allah SWT seakan-akan mencoba menegurku. Ada saja pertemuan kami dengan anak-anak seumuran #BabyBro, yang membuatku selalu sadar bahwa tinggi dan berat badannya tak menjadi masalah, bahkan jika dibandingkan dengan anak-anak yang sehat.



Kenyataan ini terasa seperti hadiah paling indah dari Allah SWT.

Terasa seperti penghiburan yang sungguh hangat bagi luka penyesalan yang ada di hatiku.

Sungguh, nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa aku dustakan?

Tanpa kusadari, pertumbuhan #BabyBro yang sangat baik membuat kantung harapanku mengembang besar. Kondisi ini membuatku berharap bahwa itu artinya lubang di jantungnya telah menutup, atau setidaknya mengecil dengan signifikan.

Namun ternyata, Allah SWT sepertinya memutuskan bahwa aku harus belajar bersabar dengan kenyataan yang ada sedikit lebih lama. Dan yang paling utama, aku harus belajar untuk mengatur harapanku agar tak terlalu berlebihan.

(Bersambung ke Part 3: Mengatur Harapan)

Jantung Anakku Part 1: Menerima Takdir Allah

07:44 0 Comments
Sumber Gambar di sini


“Waduh.”

Hanya sepenggal kata, namun ekspresi khawatir di wajah DSA #BabyBro saat memeriksa detak jantungnya itu membuat perutku mulas sejadi-jadinya.

Wajah DSA #BabyBro mengkerut. Ia tampak berkonsentrasi mendengarnya detak jantung #BabyBro dari berbagai sisi. Padahal sebelumnya sudah berkali-kali ia memeriksa #BabyBro, namun kini ia seperti baru menyadari sesuatu yang dulu terlewat olehnya. Dan semua itu karena pertanyaan singkat yang kuajukan sebelumnya,

“Dok, ini kok tangan dan kakinya sering banget keringatan ya? Jantungnya nggak apa-apa kan?”

Lalu ketakutanku pun terjawab:

“Bu, ini sepertinya jantungnya memang ada masalah. Ada murmur soalnya. Saya rujuk ke spesialis jantung untuk anak ya, Bu.”

Mendengar bahwa anak yang paling disayangi menderita penyakit mematikan, dunia seorang ibu mana yang tak runtuh?

Begitupun aku.

Kala itu, untuk sesaat rasanya bumi berhenti berputar, meniadakan semua jalan kehidupan.

Namun seperti biasanya, saat perasaan dilanda badai yang terlalu hebat, aku kemudian membiarkan akal sehat yang mengambil alih ‘kemudi’. Semacam mode survival, lah. Pertanyaan seperti mengapa itu terjadi, apa yang harus kami lakukan selanjutnya, bagaimana tindakan yang bisa kami ambil, harus apa dan bagaimana, semua kami ajukan pada DSA #BabyBro.

Namun DSA #BabyBro kala itu tak bisa banyak menjelaskan, karena kondisi sesungguhnya dari jantung #BabyBro hanya bisa diketahui setelah pemeriksaan echocardiogram, semacam ‘USG’ untuk jantung, yang sayangnya tak ada di kota kecil kami. Untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya, kami harus membawa #BabyBro ke rumah sakit besar di Provinsi sebelah. Maka hari itu, kami pun harus puas dengan sepucuk surat pengantar dan diagnosis sementara.

Setelah proses pembayaran dan administrasi yang terasa seperti tak nyata, kami pun pulang. Dalam perjalanan pulang tersebut, aku dan Mr. Syu bertengkar hebat. Mr. Syu menyalahkanku karena menanyakan perihal jantung pada DSA tersebut. Padahal hari itu kami datang ke RS karena ingin berkonsultasi mengenai masalah diare yang #BabyBro alami. Tak sedikitpun ada pemikiran bahwa hari itu kami akan mendengar kabar yang begitu mengerikan.

Dalam kegundahannya, Mr. Syu mengira DSA itu mengada-ngada karena nyatanya, anak kami adalah bayi yang sangat sehat. Ia sangat sangat aktif, bahkan cenderung tak bisa diam. Bagaimana mungkin anak sesehat dan seaktif itu menderita penyakit yang luar biasa seperti penyakit jantung?

Tapi, aku ini ibunya. Hatiku tahu diagnosis DSA #BabyBro itu benar.

Saat kami berdua sudah tenang, kujelaskan pada Mr. Syu bahwa sudah sejak lama instingku berkata ‘ada yang salah’. Iya, anak ini sangat sehat.  Iya, anak ini sangat aktif. Iya, tumbuh kembangnya baik.

Namun setiap kali meraba jantungnya, merasakan debaran yang ada disana, aku selalu tahu ada suatu masalah yang harus segera kucari tahu wujudnya.

Mr. Syu tak lantas menerima. Bahkan setelah ia tenang, butuh waktu bagiku untuk menjelaskan mengapa kami memerlukan pemeriksaan lanjutan ini. Aku tahu bukannya ia orang yang ndableg atau semacamnya, hanya saja iapun butuh waktu untuk mencerna sesuatu sepahit ini. Untuk menerima sesuatu yang menyakitkan seperti ini. Untuk menghadapi ketakutan akan hasil pemeriksaan dan kemungkinan pengobatan nanti.

Akhirnya, setelah banyak diskusi dengan keluarga, malam-malam yang kami habiskan untuk mengobrol dan membagi beban di hati, air mata yang tertumpah, serta artikel-artikel yang kubaca untuk menguatkan informasi kami, kami pun satu suara untuk membawa #BabyBro menjalani pemeriksaan lanjutan.

Dan instingku benar. #BabyBro dinyatakan memiliki penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease.

Lewat pemeriksaan echocardiogram, kami bisa melihat dengan baik bahwa jantung #BabyBro memang bermasalah. Ada lubang kecil di sekat antar biliknya.

Lubang yang sangat kecil, hanya 3 mm. Namun lubang itu sudah mencuri sebagian besar tenaga #BabyBro dengan membocorkan darah bersih ke tempat yang kotor. Itulah mengapa ia tak kunjung gendut meski menyusu hampir setiap satu jam sekali. Itulah mengapa saat baru lahir dulu ia kerap menjadi ungu setiap kali dimandikan. Itulah mengapa kaki dan tangannya kerap berkeringat, hingga kaos kakinya nyaris selalu basah.

Lubang itu membiarkan gizi dan oksigen tak beredar dengan baik di tubuhnya. Alhasil, untuk bisa tumbuh, tubuhnya membutuhkan nutrisi dua kali lipat dibanding anak biasa. Pun untuk menutupi kekurangannya, jantung #BabyBro bekerja dengan sangat keras hingga debaran jantungnya menjadi sangat cepat, hampir seperti kelinci.

Pemeriksaan itu juga menunjukkan bahwa ia sebenarnya terlahir dengan lubang yang lebih besar, sekitar 5 mm. Itulah sebabnya PJB nya tak langsung ketahuan saat pemeriksaan setelah lahir. Lubang yang lebih besar berarti tak ada suara kebocoran yang terdengar. Namun seiring berjalannya waktu, tumbuh jaringan-jaringan baru yang mencoba ‘menambal’ lubang itu. Alhasil kini lubangnya tinggal 3 mm, dan suara berisik dari darah yang menyemprot bisa didengar oleh dokter.

Namun aku tak bisa mengeluh, karena saat kami menunggu antrian di RS tersebut, aku dibuat malu habis-habisan oleh Allah SWT.

Jika sebelumnya aku merasa langitku runtuh karena cobaan tersebut, merasa semesta begitu kejam pada anakku yang tak bersalah, merasa dunia ini seakan segera berakhir, merasa hatiku dipenuhi ketakutan akan kehilangan yang amat sangat… maka semuanya lebur saat aku melihat kondisi anak-anak lain di ruangan tersebut.

Ada yang hidrocepalus. Ada yang memiliki Down Syndrome. Ada yang terus batuk hingga hanya mampu terbaring lemah.

Lalu di ruangan tunggu echocardiogram, aku kembali melihat anak-anak PJB yang cobaannya lebih berat. Ada anak-anak yang tubuhnya jauuuh lebih kecil daripada seharusnya. Ada yang memiliki cacat genetik bawaan. Ada yang lubangnya belum juga menutup hingga mengganggu aktivitas sekolahnya.

Pemandangan itu pun membuatku sadar, cobaanku sungguh tak seberapa.

Aku merasa sangat malu karena sebelumnya telah banyak mengeluh, suudzon dengan takdir Allah SWT, bahkan gagal melihat kasih-Nya dalam teguran ini.

Bagaimana bisa aku meratapi nasib disaat orang lain bahkan bisa tersenyum dengan kondisinya yang jauuuuh lebih berat tersebut?

Bagaimana aku bisa mengeluh jika aku diberi begitu banyak kecukupan waktu, energi dan rezeki untuk mengurus anakku sementara ada ibu-ibu lain yang kondisinya serba kekurangan namun masih begitu bersyukur, penuh semangat, dan selalu tersenyum?

Bagaimana bisa aku menilai anakku ‘tak beruntung’ karena terlahir dengan ‘kondisi cacat’ jika sejatinya ia, dengan segala kekurangannya, adalah anak yang sempurna? Bahkan Allah SWT pun menegurku kembali lewat penjelasan sang dokter,

“Halaaah, ini mah nggak apa-apa. Nanti juga nutup sendiri. Nggak perlu diapa-apakan. Anggap saja sehat ya. Nggak usah terlalu dipikirkan. Kita pantau saja kondisinya terus.”

Iya. Dia sehat. Dengan upaya kerasnya, ia mampu menutupi kekurangannya. Aku tahu betul bagaimana ia berjuang menyusu sangat sering, kemudian makan amat banyak, hanya untuk memenuhi gizi yang tercuri oleh kondisinya. Aku tahu betul baginya semua itu tak mudah. Namun segigih itulah dia.

Lalu apalagi yang bisa kukeluhkan? Bagaimana mungkin aku berani mengingkari nikmat Allah ini?

Akupun berupaya menerima takdir Allah dengan ikhlas. Kini, saat memikirkannya, meski hatiku masih dipenuhi rasa khawatir dan ketakutan akan hari esok, namun aku sudah lebih tenang. Aku tahu Allah tak akan memberi cobaan yang melampaui kapasitas hambaNya. Cobaan inipun akan jadi kekuatan keluarga kami asalkan kami terus berikhtiar dan tawakal menghadapinya. Cobaan ini justru menjadikan shalat-shalatku lebih khusyuk karena kini aku memiliki hal yang ingin kupinta dengan sepenuh hatiku. Nikmat keimanan itu bertambah saat aku merasa memerlukan Tuhanku dengan teramat sangat.

Hanya saja, seiring berjalannya waktu, aku kemudian tersadar bahwa di alam bawah sadarku, ternyata masih banyak ketakutan yang tersisa. Hingga kemudian, lahirlah masalah-masalah baru yang belum mampu kuatasi.


9 Jun 2018

Peralatan 'Perang' MPASI #BabyBro

14:21 0 Comments

#BabyBro udah enam bulaaan! Saatnya MPASI! Wuhuuu!

Seperti biasa, mamakbro super semangat menyambut moment ini. Tiap hari kerjaannya mantengin review dan artikel supaya tahu kira-kira apa yang dibutuhkan dalam menyiapkan MPASI. Tak lupa, mamak pun nyari tahu informasi sana sini agar tahu anjuran dan peraturan dalam menyiapkan MPASI.

Nah, dari hasil wara-wiri itulah, mamak akhirnya memutuskan untuk membeli beberapa peralatan MPASI ini. Mungkin ini juga bisa berguna untuk buibu lain yang lagi galau butuh apa aja buat MPASI si dedek. Tentu ini tidak perlu dituruti semua, buibu cukup mengambil yang sekiranya dibutuhkan saja.

Berikut daftarnya:

12 Jan 2018

Carpal Tunnel Syndrome pada Ibu Hamil dan Menyusui

19:08 0 Comments
sumber gambar: disini

Hai para buibu maupun bebeb-bebeb calon-ibu. Mungkin kamu nyasar di artikel ini karena tangan kamu terasa nyeri, kesemutan, kaku saat hamil maupun setelah melahirkan dan kamu pingin tahu kenapa. Mungkin juga kamu sekedar penasaran dengan carpal tunnel syndrome pada ibu hamil dan melahirkan, tapapa. 

Dalam artikel ini, saya ingin sedikit bercerita mengenai pengalaman saya dengan CTS saat hamil dan pasca melahirkan, sekaligus menyajikan informasi penjelasan ala kadarnya, plus pelatihan dan penanganan yang saya kumpulkan dari berbagai jurnal dan dokumen kesehatan. Semoga berguna yaa.

13 Feb 2017

Hingga Suatu Pagi, Ia Berhenti Hidup: Bag 2

16:15 0 Comments
sumber gambar disini

Di bulan Juni, aku patah hati.

Perempuan yang pergi itu meninggalkan lubang besar yang tak tertanggulangi, hingga aku berpikir bahwa selamanya aku tak akan jatuh cinta lagi. Lalu di akhir September di tahun yang sama, aku bertemu Allina.

Saat itu, ia adalah gadis yang paling berbahagia yang pernah kutemui. Senyumannya, caranya tertawa, keindahan yang timbul saat matanya berbinar bahagia, menerbitkan kehangatan yang kukira telah padam dalam hatiku. Tak ingin kehilangan dirinya, aku memutuskan untuk melamar Allina pada ayah dan ibunya satu bulan kemudian.

9 Feb 2017

Hingga Suatu Pagi, Ia Berhenti Hidup: Bag 1

11:32 0 Comments
sumber gambar disini

Dalam kelelahan, aku kerap berpikir bahwa kekosongan dan kesendirian liang lahat merupakan tempat yang lebih baik dari rumah dimana aku tinggal.

Kau mungkin heran, atau menganggapku manusia paling tak tahu diri atau tak tahu untung, saat kau melihat rumah yang kami miliki, bayi berusia 8 bulan yang tengah lucu-lucunya, dan suamiku yang tampan—Ardhi. Kami terlihat begitu berkecukupan, begitu lengkap, begitu bahagia… dari luar.

Sementara dari dalam, aku harus bertahan menghadapi neraka-ku yang tak kasat mata.


31 Des 2016

Bagimu yang Telah Pergi, Dari Kami yang Masih Mengantri

15:58 0 Comments
Kini, tepat satu tahun. 

Maaf karena begitu lama Bube baru mampu menulis panjang tentangmu. Bukan karena tak ingin kesedihan itu kembali menggigit, bukan, hanya saja kerinduan yang datang nanti akan sangat sulit untuk diusir pergi.

Karena setiap menutup mata, tanpa cela masih bisa terbayang senyum nakalmu, suara serakmu saat berkata "Eeeh, Bube. Udah datang?". Masih membekas di pipi rasa hangat gembil pipimu, rasa basah saat kau iseng memberi ciuman penuh iler. Dalam memori HP ini, masih penuh berisi foto selfie denganmu, yang selalu senang melendot saat Bubemu ini sudah bersiap memegang HP. Masih terbayang berat hangat badanmu di pangkuan, saat kau melonjak setiap kali melihat truck lewat kala Abimu berkendara.

"Bube, truck!"

"Warnanya apa?"
"Ijok!"
"Bukaaan, itu warnanya hi...? Hitaaam!"

12 Jul 2016

Perempuan Ini dan Gerombolan Lebah Pagi Hari

18:30 0 Comments
sumber gambar disini


Setiap pagi, perempuan ini berangkat bersama segerombolan lebah.

Setiap pagi pula, ia mendengar harmoni dengungan dan geraman dari setiap lebah. Nyanyian, yang bagi sebagian orang terdengar seperti hiruk pikuk jalan raya yang menyebalkan. 

Namun bagi perempuan ini, dengungan itu terasa menenangkan, memberinya keyakinan bahwa seperti apapun masalah yang ia miliki di belakang, atau yang akan ia temui ke depannya, kehidupan akan selalu berjalan. Memberinya kesadaran, bahwa ia hanyalah seorang lebah diantara milyaran lebah lainnya, yang hidup dan menjalani kehidupannya dengan penuh perjuangan. 
Daisypath Anniversary tickers