2 Mei 2019

Jantung Anakku Part 1: Menerima Takdir Allah

Sumber Gambar di sini


“Waduh.”

Hanya sepenggal kata, namun ekspresi khawatir di wajah DSA #BabyBro saat memeriksa detak jantungnya itu membuat perutku mulas sejadi-jadinya.

Wajah DSA #BabyBro mengkerut. Ia tampak berkonsentrasi mendengarnya detak jantung #BabyBro dari berbagai sisi. Padahal sebelumnya sudah berkali-kali ia memeriksa #BabyBro, namun kini ia seperti baru menyadari sesuatu yang dulu terlewat olehnya. Dan semua itu karena pertanyaan singkat yang kuajukan sebelumnya,

“Dok, ini kok tangan dan kakinya sering banget keringatan ya? Jantungnya nggak apa-apa kan?”

Lalu ketakutanku pun terjawab:

“Bu, ini sepertinya jantungnya memang ada masalah. Ada murmur soalnya. Saya rujuk ke spesialis jantung untuk anak ya, Bu.”

Mendengar bahwa anak yang paling disayangi menderita penyakit mematikan, dunia seorang ibu mana yang tak runtuh?

Begitupun aku.

Kala itu, untuk sesaat rasanya bumi berhenti berputar, meniadakan semua jalan kehidupan.

Namun seperti biasanya, saat perasaan dilanda badai yang terlalu hebat, aku kemudian membiarkan akal sehat yang mengambil alih ‘kemudi’. Semacam mode survival, lah. Pertanyaan seperti mengapa itu terjadi, apa yang harus kami lakukan selanjutnya, bagaimana tindakan yang bisa kami ambil, harus apa dan bagaimana, semua kami ajukan pada DSA #BabyBro.

Namun DSA #BabyBro kala itu tak bisa banyak menjelaskan, karena kondisi sesungguhnya dari jantung #BabyBro hanya bisa diketahui setelah pemeriksaan echocardiogram, semacam ‘USG’ untuk jantung, yang sayangnya tak ada di kota kecil kami. Untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya, kami harus membawa #BabyBro ke rumah sakit besar di Provinsi sebelah. Maka hari itu, kami pun harus puas dengan sepucuk surat pengantar dan diagnosis sementara.

Setelah proses pembayaran dan administrasi yang terasa seperti tak nyata, kami pun pulang. Dalam perjalanan pulang tersebut, aku dan Mr. Syu bertengkar hebat. Mr. Syu menyalahkanku karena menanyakan perihal jantung pada DSA tersebut. Padahal hari itu kami datang ke RS karena ingin berkonsultasi mengenai masalah diare yang #BabyBro alami. Tak sedikitpun ada pemikiran bahwa hari itu kami akan mendengar kabar yang begitu mengerikan.

Dalam kegundahannya, Mr. Syu mengira DSA itu mengada-ngada karena nyatanya, anak kami adalah bayi yang sangat sehat. Ia sangat sangat aktif, bahkan cenderung tak bisa diam. Bagaimana mungkin anak sesehat dan seaktif itu menderita penyakit yang luar biasa seperti penyakit jantung?

Tapi, aku ini ibunya. Hatiku tahu diagnosis DSA #BabyBro itu benar.

Saat kami berdua sudah tenang, kujelaskan pada Mr. Syu bahwa sudah sejak lama instingku berkata ‘ada yang salah’. Iya, anak ini sangat sehat.  Iya, anak ini sangat aktif. Iya, tumbuh kembangnya baik.

Namun setiap kali meraba jantungnya, merasakan debaran yang ada disana, aku selalu tahu ada suatu masalah yang harus segera kucari tahu wujudnya.

Mr. Syu tak lantas menerima. Bahkan setelah ia tenang, butuh waktu bagiku untuk menjelaskan mengapa kami memerlukan pemeriksaan lanjutan ini. Aku tahu bukannya ia orang yang ndableg atau semacamnya, hanya saja iapun butuh waktu untuk mencerna sesuatu sepahit ini. Untuk menerima sesuatu yang menyakitkan seperti ini. Untuk menghadapi ketakutan akan hasil pemeriksaan dan kemungkinan pengobatan nanti.

Akhirnya, setelah banyak diskusi dengan keluarga, malam-malam yang kami habiskan untuk mengobrol dan membagi beban di hati, air mata yang tertumpah, serta artikel-artikel yang kubaca untuk menguatkan informasi kami, kami pun satu suara untuk membawa #BabyBro menjalani pemeriksaan lanjutan.

Dan instingku benar. #BabyBro dinyatakan memiliki penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease.

Lewat pemeriksaan echocardiogram, kami bisa melihat dengan baik bahwa jantung #BabyBro memang bermasalah. Ada lubang kecil di sekat antar biliknya.

Lubang yang sangat kecil, hanya 3 mm. Namun lubang itu sudah mencuri sebagian besar tenaga #BabyBro dengan membocorkan darah bersih ke tempat yang kotor. Itulah mengapa ia tak kunjung gendut meski menyusu hampir setiap satu jam sekali. Itulah mengapa saat baru lahir dulu ia kerap menjadi ungu setiap kali dimandikan. Itulah mengapa kaki dan tangannya kerap berkeringat, hingga kaos kakinya nyaris selalu basah.

Lubang itu membiarkan gizi dan oksigen tak beredar dengan baik di tubuhnya. Alhasil, untuk bisa tumbuh, tubuhnya membutuhkan nutrisi dua kali lipat dibanding anak biasa. Pun untuk menutupi kekurangannya, jantung #BabyBro bekerja dengan sangat keras hingga debaran jantungnya menjadi sangat cepat, hampir seperti kelinci.

Pemeriksaan itu juga menunjukkan bahwa ia sebenarnya terlahir dengan lubang yang lebih besar, sekitar 5 mm. Itulah sebabnya PJB nya tak langsung ketahuan saat pemeriksaan setelah lahir. Lubang yang lebih besar berarti tak ada suara kebocoran yang terdengar. Namun seiring berjalannya waktu, tumbuh jaringan-jaringan baru yang mencoba ‘menambal’ lubang itu. Alhasil kini lubangnya tinggal 3 mm, dan suara berisik dari darah yang menyemprot bisa didengar oleh dokter.

Namun aku tak bisa mengeluh, karena saat kami menunggu antrian di RS tersebut, aku dibuat malu habis-habisan oleh Allah SWT.

Jika sebelumnya aku merasa langitku runtuh karena cobaan tersebut, merasa semesta begitu kejam pada anakku yang tak bersalah, merasa dunia ini seakan segera berakhir, merasa hatiku dipenuhi ketakutan akan kehilangan yang amat sangat… maka semuanya lebur saat aku melihat kondisi anak-anak lain di ruangan tersebut.

Ada yang hidrocepalus. Ada yang memiliki Down Syndrome. Ada yang terus batuk hingga hanya mampu terbaring lemah.

Lalu di ruangan tunggu echocardiogram, aku kembali melihat anak-anak PJB yang cobaannya lebih berat. Ada anak-anak yang tubuhnya jauuuh lebih kecil daripada seharusnya. Ada yang memiliki cacat genetik bawaan. Ada yang lubangnya belum juga menutup hingga mengganggu aktivitas sekolahnya.

Pemandangan itu pun membuatku sadar, cobaanku sungguh tak seberapa.

Aku merasa sangat malu karena sebelumnya telah banyak mengeluh, suudzon dengan takdir Allah SWT, bahkan gagal melihat kasih-Nya dalam teguran ini.

Bagaimana bisa aku meratapi nasib disaat orang lain bahkan bisa tersenyum dengan kondisinya yang jauuuuh lebih berat tersebut?

Bagaimana aku bisa mengeluh jika aku diberi begitu banyak kecukupan waktu, energi dan rezeki untuk mengurus anakku sementara ada ibu-ibu lain yang kondisinya serba kekurangan namun masih begitu bersyukur, penuh semangat, dan selalu tersenyum?

Bagaimana bisa aku menilai anakku ‘tak beruntung’ karena terlahir dengan ‘kondisi cacat’ jika sejatinya ia, dengan segala kekurangannya, adalah anak yang sempurna? Bahkan Allah SWT pun menegurku kembali lewat penjelasan sang dokter,

“Halaaah, ini mah nggak apa-apa. Nanti juga nutup sendiri. Nggak perlu diapa-apakan. Anggap saja sehat ya. Nggak usah terlalu dipikirkan. Kita pantau saja kondisinya terus.”

Iya. Dia sehat. Dengan upaya kerasnya, ia mampu menutupi kekurangannya. Aku tahu betul bagaimana ia berjuang menyusu sangat sering, kemudian makan amat banyak, hanya untuk memenuhi gizi yang tercuri oleh kondisinya. Aku tahu betul baginya semua itu tak mudah. Namun segigih itulah dia.

Lalu apalagi yang bisa kukeluhkan? Bagaimana mungkin aku berani mengingkari nikmat Allah ini?

Akupun berupaya menerima takdir Allah dengan ikhlas. Kini, saat memikirkannya, meski hatiku masih dipenuhi rasa khawatir dan ketakutan akan hari esok, namun aku sudah lebih tenang. Aku tahu Allah tak akan memberi cobaan yang melampaui kapasitas hambaNya. Cobaan inipun akan jadi kekuatan keluarga kami asalkan kami terus berikhtiar dan tawakal menghadapinya. Cobaan ini justru menjadikan shalat-shalatku lebih khusyuk karena kini aku memiliki hal yang ingin kupinta dengan sepenuh hatiku. Nikmat keimanan itu bertambah saat aku merasa memerlukan Tuhanku dengan teramat sangat.

Hanya saja, seiring berjalannya waktu, aku kemudian tersadar bahwa di alam bawah sadarku, ternyata masih banyak ketakutan yang tersisa. Hingga kemudian, lahirlah masalah-masalah baru yang belum mampu kuatasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daisypath Anniversary tickers