![]() |
sumber gambar di sini |
Bagi anak yang menderita penyakit jantung bawaan, kecukupan
kenaikan berat badan adalah salah satu tolak ukur penting untuk menentukan
tindakan pengobatan selanjutnya. Jika seorang anak gagal tumbuh, dokter bisa
mendesak untuk melakukan tindakan selanjutnya--sesuatu yang aku dan Mr. Syu
hindari betul.
Kami tak ingin #BabyBro dioperasi, karena sadar bahwa jika
lubangnya ditutup dengan pelat metal, maka impinya mengenai akan jadi apa dia
kelak akan terbatas. Misalnya saja, menjadi jenderal TNI, seperti doa-doa yang
diam-diam kami selipkan untuknya dalam ucapan kami sehari-hari.
Maka, sebisa mungkin, kami ingin kondisi tubuhnya baik untuk
mendukung lubang tersebut menutup sendiri.
Dengan demikian, kenaikan berat badannya harus terjaga tetap
baik. Dan sebagai ibunya, otomatis itu menjadi tugas utamaku.
Itulah sebabnya, entah sejak kapan, aku menjadi sangat
terobsesi dengan berat badan #BabyBro. Aku sadar 6 bulan pertama upayaku amat
terbatas. Aku hanya dapat mengkonsumsi makanan terbaik dan suplemen paling mujarab
karena dia masih ASI eksklusif. Aku mulai menerapkan pola makan dan hidup
sebaik mungkin. Persetan lah dengan kenaikan berat badanku sendiri. Yang
penting anakku sehat.
Lalu tibalah masa dimana #BabyBro mulai MPASI, yang artinya,
upayaku untuk menaikkan berat badannya pun bertambah!
Dengan bersemangat, aku giat mencari tahu. Berbagai dokumen,
artikel, dan tulisan kubaca. Nyaris semua dokumen kesehatan mengenai anak di
website WHO telah kulalap. Aku bahkan bergabung ke beberapa grup Facebook yang
khusus membahas MPASI. Aku bertekad merumuskan asupan terbaik agar anakku bisa
sehat.
Tak lupa, dengan sedikit ceroboh, kubeli bermacam-macam
peralatan ‘perang’ untuk MPASI, yang kemudian kusesali karena ternyata tak
semuanya terpakai. Dalam benakku, semua akan kutempuh agar ia makan banyak dan
sehat.
Aku kemudian menemukan bahwa menyiapkan MPASI ternyata tak
semudah itu. Prosesnya ternyata cukup sulit, terutama proses penyaringan,
apalagi dengan kondisi tangan yang belum pulih seusai terkena Carpal Tunnel
Syndrome. Rasa sakit dan kebas adalah teman sehari-hari saat aku menyaring
makanan. Setiap kali merasa berat dan kesakitan hingga ingin berhenti, aku
memaksa diriku tertawa dan berkata,
“Allahu Rabbiiiiii, emang ya, nyaring MPASI ini wujud rasa
cinta seorang ibu bangetlah! Hahahaha.” hingga aku merasa lebih baik, kembali
bersemangat, dan siap menjalani prosesnya dengan hati gembira lagi.
Menentukan kombinasi masakan juga tak semudah itu. Agar anak
mau makan lahap, tentu masakannya harus enak. Apalagi MPASI homemade rasanya
tak se-’yummy’ MPASI fortifikasi atau instan.
Untunglah saat masih jadi wartawan dulu aku sempat meliput
koki yang menerapkan teknik Flavor Bouncing, sebuah teknik memasak yang luar
biasa dari Grant Achatz. Teknik ini memungkinkan Achatz, seorang koki luar
biasa yang lidahnya mati rasa karena kanker lidah, untuk terus menciptakan
masakan-masakan yang luar biasa lezat. Cara kerjanya sebenarnya sederhana.
Untuk menciptakan sebuah masakan yang lezat, seseorang harus mengenal rasa asli
dari setiap unsur makanan, lalu memadu padankannya dengan bahan makanan yang
lain. Seperti memilih jodoh yang sepadan lah istilahnya.
Misalnya saja, bahan utamanya ubi ungu yang manis sebagai
karbohidrat. Jika aku memasukkan seledri yang ‘pedas’ atau brokoli yang ‘gurih’
sebagai sayuran, tentu rasanya bisa buyar. Maka wortel yang manis adalah jodoh
terbaik yang bisa kudapatkan dengan mudah di tukang sayur. Lalu prona nya, bisa
kacang merah untuk meningkatkan rasa manisnya. Dilengkapi dengan telur yang
rasanya cukup netral sebagai prohe. Lalu ditutup parutan keju yang gurih serta
UB yang wangi. Voila, semangkuk penuh MPASI 4* pun habis oleh #BabyBro. Tak
heran, karena resep ini menghasilkan makanan bayi yang rasanya mirip benar
dengan cokelat.
Aku juga giat membuatkan berbagai camilan tinggi kalori.
Selalu ada puding dan buah di kulkas kami. Beberapa kali dalam sebulan aku juga
membuatkannya sup tulang sapi. Aku juga membeli minyak ikan kualitas tinggi
serta suplemen lainnya.
Semua dengan harapan agar ia makan dengan lahap sehingga
kenaikan BB nya pun baik.
Namun kenyataan tak selalu seindah harapan, bahkan meski kita
telah berupaya sekeras yang kita bisa.
Satu hal yang tak mampu kuantisipasi adalah penerimaan
#BabyBro atas makanan itu sendiri. #BabyBro ternyata adalah anak yang sangat
sensitif. Ia menolak rasa dan tekstur baru dengan cukup keras. 1001 cara aku
lakukan untuk membuatnya makan, maka 101 carapun ia lakukan untuk menghindari
makanan.
Hingga pada akhirnya, aku kerap kali harus memaksanya makan
dengan kekerasan verbal; omelan, bentakan, hingga ancaman. Aku juga harus
berdamai dengan prinsipku dan membiarkannya makan sembari menonton televisi
atau gadget. Di hari-hari yang lebih baik, aku bisa memberinya makan sembari
membaca buku.
Bukannya aku tak pernah mencoba menjalankan suasana responsive
feeding seperti yang WHO bilang. Aku selalu mencobanya. Tiap kali gagal, aku
coba kembali. Gagal, kucoba kembali. Ada kalanya dimana semua berhasil. Kami
sama-sama memiliki momen dimana makan menjadi hal yang menyenangkan dan sesuai
peruntukannya. Namun seringkali aku harus berdamai untuk mengepak teori-teori
yang ada dan menyimpannya kembali ke lemari.
Itu semua dikarenakan pilihannya adalah membiarkannya makan
dengan tatalaksana yang seharusnya atau memastikan gizinya tercukupi.
Aku memutuskan bahwa aku memilih pilihan kedua, hingga
predikat ‘raja tega urusan makan’ pun kemudian kurasa pantas disematkan padaku.
“Janganlah galak-galak banget ngasih anak makan itu, Be.”
tegur Mamaku.
“Suci, nanti batinnya terbebani kalau dimarahin begitu.” mohon
Mertuaku.
“Udahlah Be, jangan sampai dia ketakutan begitu.” pinta Mr.
Syu.
Semuanya kuterima dengan hati lapang, karena aku tahu bahwa
mereka, orang-orang terkasih itu, juga tak tega melihat #BabyBro terkadang
menangis saat dimarahi karena tak menghabiskan makanan. Aku tahu mereka hanya
tak kuat melihatnya menderita.
Aku tahu, tahu sekali.
Karena sebenarnya aku yang paling menyadari bahwa aku ini
kejam sekali saat memberinya makan. Tentu ada hari dimana ia bisa makan
dengan baik, tenang dan lahap sehingga aku juga tak perlu marah-marah. Namun
ada juga hari dimana aku harus mengamuk sejadi-jadinya hanya agar ia mau membuka
mulut.
Hatiku juga sangat, sangat, sangat sakit saat melihatnya
menangis karena tak ingin lagi menelan makanan yang aku suapkan. Begitu sakit
hingga setiap malam saat kami berpelukan di atas kasur menjelang tidur, aku
selalu meminta maaf berulang kali padanya atas semua yang aku lakukan di hari
itu. Atas setiap ketakutan, trauma dan kesedihan yang mungkin telah aku torehkan.
Aku juga tahu bahwa ada kemungkinan sangat besar ia akan
membenciku atas semua yang kulakukan.
Tapi sekali lagi, aku akan tetap melakukannya. Aku akan tetap
melakukan apapun agar makanannya habis. Aku memutuskan akan menerima kemarahan,
kebencian dan tuduhan dari #BabyBro kelak. Semuanya akan kutanggung sendirian.
Hanya agar ia bisa sehat…
Hanya agar ia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik…
Hanya agar ia tak perlu merasakan kesakitan yang lebih lagi…
Hanya agar ia bisa terus hidup bersamaku... Aamiin ya Allah...
Hanya agar ia bisa terus hidup bersamaku... Aamiin ya Allah...
Jadi biarlah dia membenciku dan cara-cara yang aku gunakan
dalam mencintainya. Biarlah. Mungkin memang inilah tugas utama seorang ibu:
mencintai tanpa mengharap balas. Tetap mencintai meski mungkin saja dibalas dengan rasa
benci.
Lalu seiring berjalannya waktu, aku dan orang-orang
disekitarku mulai melihat hasil dari ‘perjuanganku’.
#BabyBro tumbuh sehat, bahkan kurva kenaikan BB nya mulai menanjak naik. Jika tadinya BB nya dibawah garis hijau, kini garisnya mulai menanjak ke atas garis hijau, bahkan menyentuh kuning. Alhamdulillah!
#BabyBro tumbuh sehat, bahkan kurva kenaikan BB nya mulai menanjak naik. Jika tadinya BB nya dibawah garis hijau, kini garisnya mulai menanjak ke atas garis hijau, bahkan menyentuh kuning. Alhamdulillah!
Begitupun dengan tinggi badannya. Ia tumbuh begitu tinggi,
bahkan diatas anak-anak seumurannya. Bahkan hingga kini aku dan keluargaku
belum pernah menemui anak seumurannya yang lebih tinggi daripada dia.
Orang-orang terkasihku pun mulai memahami mengapa aku sangat gigih dalam urusan makan selama ini. Merekapun mulai mengerti bahwa dibalik semua itu aku sendiri amat menderita. Apalagi Mamah mertuaku, orang yang paling tahu perjuanganku dalam
memberi makan #BabyBro, tak henti-hentinya membesarkan hatiku setiap ada kesempatan.
“Memang kita harus gigih memberi anak makan. Mana ada anak
kecil doyan makan terus? Memang ibunya yang harus berusaha. Coba saja lihat
tuh, jadi sehat gitu kan anaknya? Itu karena ibunya tiap hari berjuang keras ini itu
buat kasih anaknya makan. Suci harus sabar dan semangat ya nak.” ucapnya selalu.
Lucunya lagi, tiap aku mulai panik menjelang jadwal check
upnya dan kembali memberinya makan dengan super galak karena takut hasil BB nya tak baik, Allah SWT seakan-akan
mencoba menegurku. Ada saja pertemuan kami dengan anak-anak seumuran #BabyBro,
yang membuatku selalu sadar bahwa tinggi dan berat badannya tak menjadi
masalah, bahkan jika dibandingkan dengan anak-anak yang sehat.
Kenyataan ini terasa seperti hadiah paling indah dari Allah SWT.
Terasa seperti penghiburan yang sungguh hangat bagi luka penyesalan yang ada di hatiku.
Sungguh, nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa aku dustakan?
Tanpa kusadari, pertumbuhan #BabyBro yang sangat baik membuat kantung
harapanku mengembang besar. Kondisi ini membuatku berharap bahwa itu artinya lubang di
jantungnya telah menutup, atau setidaknya mengecil dengan signifikan.
Namun ternyata, Allah SWT sepertinya memutuskan bahwa aku
harus belajar bersabar dengan kenyataan yang ada sedikit lebih lama. Dan yang paling utama, aku harus belajar untuk
mengatur harapanku agar tak terlalu berlebihan.
(Bersambung ke Part 3: Mengatur Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar