2 Mei 2019

Jantung Anakku Part 2: Perjuangan Untuk Tumbuh


sumber gambar di sini


Bagi anak yang menderita penyakit jantung bawaan, kecukupan kenaikan berat badan adalah salah satu tolak ukur penting untuk menentukan tindakan pengobatan selanjutnya. Jika seorang anak gagal tumbuh, dokter bisa mendesak untuk melakukan tindakan selanjutnya--sesuatu yang aku dan Mr. Syu hindari betul.

Kami tak ingin #BabyBro dioperasi, karena sadar bahwa jika lubangnya ditutup dengan pelat metal, maka impinya mengenai akan jadi apa dia kelak akan terbatas. Misalnya saja, menjadi jenderal TNI, seperti doa-doa yang diam-diam kami selipkan untuknya dalam ucapan kami sehari-hari.

Maka, sebisa mungkin, kami ingin kondisi tubuhnya baik untuk mendukung lubang tersebut menutup sendiri.

Dengan demikian, kenaikan berat badannya harus terjaga tetap baik. Dan sebagai ibunya, otomatis itu menjadi tugas utamaku.

Itulah sebabnya, entah sejak kapan, aku menjadi sangat terobsesi dengan berat badan #BabyBro. Aku sadar 6 bulan pertama upayaku amat terbatas. Aku hanya dapat mengkonsumsi makanan terbaik dan suplemen paling mujarab karena dia masih ASI eksklusif. Aku mulai menerapkan pola makan dan hidup sebaik mungkin. Persetan lah dengan kenaikan berat badanku sendiri. Yang penting anakku sehat.

Lalu tibalah masa dimana #BabyBro mulai MPASI, yang artinya, upayaku untuk menaikkan berat badannya pun bertambah!

Dengan bersemangat, aku giat mencari tahu. Berbagai dokumen, artikel, dan tulisan kubaca. Nyaris semua dokumen kesehatan mengenai anak di website WHO telah kulalap. Aku bahkan bergabung ke beberapa grup Facebook yang khusus membahas MPASI. Aku bertekad merumuskan asupan terbaik agar anakku bisa sehat.

Tak lupa, dengan sedikit ceroboh, kubeli bermacam-macam peralatan ‘perang’ untuk MPASI, yang kemudian kusesali karena ternyata tak semuanya terpakai. Dalam benakku, semua akan kutempuh agar ia makan banyak dan sehat.

Aku kemudian menemukan bahwa menyiapkan MPASI ternyata tak semudah itu. Prosesnya ternyata cukup sulit, terutama proses penyaringan, apalagi dengan kondisi tangan yang belum pulih seusai terkena Carpal Tunnel Syndrome. Rasa sakit dan kebas adalah teman sehari-hari saat aku menyaring makanan. Setiap kali merasa berat dan kesakitan hingga ingin berhenti, aku memaksa diriku tertawa dan berkata,

“Allahu Rabbiiiiii, emang ya, nyaring MPASI ini wujud rasa cinta seorang ibu bangetlah! Hahahaha.” hingga aku merasa lebih baik, kembali bersemangat, dan siap menjalani prosesnya dengan hati gembira lagi.

Menentukan kombinasi masakan juga tak semudah itu. Agar anak mau makan lahap, tentu masakannya harus enak. Apalagi MPASI homemade rasanya tak se-’yummy’ MPASI fortifikasi atau instan.

Untunglah saat masih jadi wartawan dulu aku sempat meliput koki yang menerapkan teknik Flavor Bouncing, sebuah teknik memasak yang luar biasa dari Grant Achatz. Teknik ini memungkinkan Achatz, seorang koki luar biasa yang lidahnya mati rasa karena kanker lidah, untuk terus menciptakan masakan-masakan yang luar biasa lezat. Cara kerjanya sebenarnya sederhana. Untuk menciptakan sebuah masakan yang lezat, seseorang harus mengenal rasa asli dari setiap unsur makanan, lalu memadu padankannya dengan bahan makanan yang lain. Seperti memilih jodoh yang sepadan lah istilahnya.

Misalnya saja, bahan utamanya ubi ungu yang manis sebagai karbohidrat. Jika aku memasukkan seledri yang ‘pedas’ atau brokoli yang ‘gurih’ sebagai sayuran, tentu rasanya bisa buyar. Maka wortel yang manis adalah jodoh terbaik yang bisa kudapatkan dengan mudah di tukang sayur. Lalu prona nya, bisa kacang merah untuk meningkatkan rasa manisnya. Dilengkapi dengan telur yang rasanya cukup netral sebagai prohe. Lalu ditutup parutan keju yang gurih serta UB yang wangi. Voila, semangkuk penuh MPASI 4* pun habis oleh #BabyBro. Tak heran, karena resep ini menghasilkan makanan bayi yang rasanya mirip benar dengan cokelat.

Aku juga giat membuatkan berbagai camilan tinggi kalori. Selalu ada puding dan buah di kulkas kami. Beberapa kali dalam sebulan aku juga membuatkannya sup tulang sapi. Aku juga membeli minyak ikan kualitas tinggi serta suplemen lainnya.

Semua dengan harapan agar ia makan dengan lahap sehingga kenaikan BB nya pun baik.

Namun kenyataan tak selalu seindah harapan, bahkan meski kita telah berupaya sekeras yang kita bisa.

Satu hal yang tak mampu kuantisipasi adalah penerimaan #BabyBro atas makanan itu sendiri. #BabyBro ternyata adalah anak yang sangat sensitif. Ia menolak rasa dan tekstur baru dengan cukup keras. 1001 cara aku lakukan untuk membuatnya makan, maka 101 carapun ia lakukan untuk menghindari makanan.

Hingga pada akhirnya, aku kerap kali harus memaksanya makan dengan kekerasan verbal; omelan, bentakan, hingga ancaman. Aku juga harus berdamai dengan prinsipku dan membiarkannya makan sembari menonton televisi atau gadget. Di hari-hari yang lebih baik, aku bisa memberinya makan sembari membaca buku.

Bukannya aku tak pernah mencoba menjalankan suasana responsive feeding seperti yang WHO bilang. Aku selalu mencobanya. Tiap kali gagal, aku coba kembali. Gagal, kucoba kembali. Ada kalanya dimana semua berhasil. Kami sama-sama memiliki momen dimana makan menjadi hal yang menyenangkan dan sesuai peruntukannya. Namun seringkali aku harus berdamai untuk mengepak teori-teori yang ada dan menyimpannya kembali ke lemari.

Itu semua dikarenakan pilihannya adalah membiarkannya makan dengan tatalaksana yang seharusnya atau memastikan gizinya tercukupi.

Aku memutuskan bahwa aku memilih pilihan kedua, hingga predikat ‘raja tega urusan makan’ pun kemudian kurasa pantas disematkan padaku.

“Janganlah galak-galak banget ngasih anak makan itu, Be.” tegur Mamaku.

“Suci, nanti batinnya terbebani kalau dimarahin begitu.” mohon Mertuaku.

“Udahlah Be, jangan sampai dia ketakutan begitu.” pinta Mr. Syu.

Semuanya kuterima dengan hati lapang, karena aku tahu bahwa mereka, orang-orang terkasih itu, juga tak tega melihat #BabyBro terkadang menangis saat dimarahi karena tak menghabiskan makanan. Aku tahu mereka hanya tak kuat melihatnya menderita.

Aku tahu, tahu sekali.

Karena sebenarnya aku yang paling menyadari bahwa aku ini kejam sekali saat memberinya makan. Tentu ada hari dimana ia bisa makan dengan baik, tenang dan lahap sehingga aku juga tak perlu marah-marah. Namun ada juga hari dimana aku harus mengamuk sejadi-jadinya hanya agar ia mau membuka mulut.

Hatiku juga sangat, sangat, sangat sakit saat melihatnya menangis karena tak ingin lagi menelan makanan yang aku suapkan. Begitu sakit hingga setiap malam saat kami berpelukan di atas kasur menjelang tidur, aku selalu meminta maaf berulang kali padanya atas semua yang aku lakukan di hari itu. Atas setiap ketakutan, trauma dan kesedihan yang mungkin telah aku torehkan.

Aku juga tahu bahwa ada kemungkinan sangat besar ia akan membenciku atas semua yang kulakukan.

Tapi sekali lagi, aku akan tetap melakukannya. Aku akan tetap melakukan apapun agar makanannya habis. Aku memutuskan akan menerima kemarahan, kebencian dan tuduhan dari #BabyBro kelak. Semuanya akan kutanggung sendirian.

Hanya agar ia bisa sehat…

Hanya agar ia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik…

Hanya agar ia tak perlu merasakan kesakitan yang lebih lagi…

Hanya agar ia bisa terus hidup bersamaku... Aamiin ya Allah...

Jadi biarlah dia membenciku dan cara-cara yang aku gunakan dalam mencintainya. Biarlah. Mungkin memang inilah tugas utama seorang ibu: mencintai tanpa mengharap balas. Tetap mencintai meski mungkin saja dibalas dengan rasa benci.

Lalu seiring berjalannya waktu, aku dan orang-orang disekitarku mulai melihat hasil dari ‘perjuanganku’.

#BabyBro tumbuh sehat, bahkan kurva kenaikan BB nya mulai menanjak naik. Jika tadinya BB nya dibawah garis hijau, kini garisnya mulai menanjak ke atas garis hijau, bahkan menyentuh kuning. Alhamdulillah!

Begitupun dengan tinggi badannya. Ia tumbuh begitu tinggi, bahkan diatas anak-anak seumurannya. Bahkan hingga kini aku dan keluargaku belum pernah menemui anak seumurannya yang lebih tinggi daripada dia.

Orang-orang terkasihku pun mulai memahami mengapa aku sangat gigih dalam urusan makan selama ini. Merekapun mulai mengerti bahwa dibalik semua itu aku sendiri amat menderita. Apalagi Mamah mertuaku, orang yang paling tahu perjuanganku dalam memberi makan #BabyBro, tak henti-hentinya membesarkan hatiku setiap ada kesempatan.

“Memang kita harus gigih memberi anak makan. Mana ada anak kecil doyan makan terus? Memang ibunya yang harus berusaha. Coba saja lihat tuh, jadi sehat gitu kan anaknya? Itu karena ibunya tiap hari berjuang keras ini itu buat kasih anaknya makan. Suci harus sabar dan semangat ya nak.” ucapnya selalu.

Lucunya lagi, tiap aku mulai panik menjelang jadwal check upnya dan kembali memberinya makan dengan super galak karena takut hasil BB nya tak baik, Allah SWT seakan-akan mencoba menegurku. Ada saja pertemuan kami dengan anak-anak seumuran #BabyBro, yang membuatku selalu sadar bahwa tinggi dan berat badannya tak menjadi masalah, bahkan jika dibandingkan dengan anak-anak yang sehat.



Kenyataan ini terasa seperti hadiah paling indah dari Allah SWT.

Terasa seperti penghiburan yang sungguh hangat bagi luka penyesalan yang ada di hatiku.

Sungguh, nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa aku dustakan?

Tanpa kusadari, pertumbuhan #BabyBro yang sangat baik membuat kantung harapanku mengembang besar. Kondisi ini membuatku berharap bahwa itu artinya lubang di jantungnya telah menutup, atau setidaknya mengecil dengan signifikan.

Namun ternyata, Allah SWT sepertinya memutuskan bahwa aku harus belajar bersabar dengan kenyataan yang ada sedikit lebih lama. Dan yang paling utama, aku harus belajar untuk mengatur harapanku agar tak terlalu berlebihan.

(Bersambung ke Part 3: Mengatur Harapan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daisypath Anniversary tickers