23 Jun 2011

Bagaimana Cara Mengubah Pria Bejat Menjadi 'Mr. Right'

18:46 0 Comments

“Kau tahu kan, apa yang akan dilakukan cowok sejenis Joe? Dia itu tipe cowok yang akan tetap meniduri mantan-mantannya dan mencampakkan perempuan setelah berhasil menidurinya!”
Bisa dibilang saat ini Lea terlihat seperti banshee dengan bola mata berupa api. Mengherankan betapa ia dan Lea bisa begitu berbeda sekalipun mereka saudara kembar. Lea selalu saja marah dan berapi-api, sedangkan Lena nyaris tidak pernah kehilangan kontrol emosi—sekalipun orang lebih banyak mengatakan Lena jauh lebih menyeramkan. Ia punya kharisma menakutkan tersendiri ketika sebal.
“Dan seharusnya kamu juga tahu apa yang akan dilakukan cewek sejenisku, Lea.” Jawab Lena sembari membereskan tumpukan mainmap hafalan istilah biomolekuler-nya. “Masa kamu kira aku jenis cewek yang biasa ia permainkan?”
Lea membuka mulut untuk mengoceh lagi, namun menutupnya saat ia memutuskan untuk berpikir terlebih dahulu. “Yeah, bener juga sih. Kamu bisa jadi lawan terkuatnya dalam satu dekade terakhir, Len.” Kerutan dahi Lea terlihat jelas.
“Nah. Sudah terjawab, kan? Ada masalah lagi?” Lena tersenyum geli.
“Tapi.. Tapi ya ituu! Aku tidak habis pikir kenapa kamu mau berkencan dengannya!”
Lena tertawa. “Tahu nggak, Lea? Aku sudah bosan menghadapi cowok-cowok biasa yang terlalu mudah ditaklukan. Joe bisa dibilang adalah lawan berat. Bersamanya, aku mungkin bisa memiliki waktu seru yang menyenangkan.”

15 Jun 2011

Yang Mati Berbisik (Bab 02)

04:18 0 Comments

‘Meladeni’ mayat mungkin sudah menjadi santapanku sehari-hari. Mungkin sebagian besar orang berkata kami ‘mengacak-acak’ mayat seseorang yang bukan hanya sudah cukup malang menjadi korban dari suatu peristiwa tragis, namun juga cukup malang untung diacak-acak setelah mati.

Padahal yang kami lakukan hanyalah ‘menata’ si mayat. Ya kalau masih utuh di’kerjai’ sedikit, kalau tidak utuh ya ‘ditata’ kembali. Intinya kan saat dikembalikan ke tangan keluarganya si mayat cantik seperti sedia kala. Eh, itu juga kalau tidak ada bagian yang hilang atau terlalu sulit untuk ditambal, sih ya.

Begitulah dilema analis forensik di Bareskrim Polri. Mau bagaimana lagi? Untuk mengurangi kemalangan si korban dan mengurangi potensi orang lain bernasib sama seperti dirinya kan, si pelaku harus dihentikan. Agar bisa menghentikan si pelaku ya kami harus mengumpulkan bukti.

Bukti ini kan juga nggak semudah mengedipkan mata mencarinya agar si hakim bisa percaya. Harus mendetail, harus tak terbantahkan, baru bisa mengirim seseorang ke penjara. Untung saja ya Leone Lattes dulu mau capek-capek mengurusi titik-titik darah itu sehingga ilmu forensik di bidang biologi molekuler ini bisa berkembang dan mempermudah identifikasi kasus.

Nah, mencari buktinya itu lho yang sulit. Terkadang setelah ‘mengacak’ mayat hingga jadi entah-berapa-potong tak juga ditemukan bukti yang kuat.

Ah, aku melantur.

Yang Mati Berbisik (Bab 01)

03:58 0 Comments


Dua pasang jejak-jejak kaki kecil dari darah memenuhi tempat itu.

Dimulai dari dapur, terdapat bercak darah di dinding dan tetesan darah terbanyak—disini sang ‘Ayah’ melukai dua putri kecilnya dengan pisau dapur pada awalnya. Satu dari mereka terjatuh—mungkin si kakak—menyebabkan pelebaran pola darah di lantai. Tergesa ia bangkit dan menyambar adiknya, keluar dari dapur, menuju ruang tengah.

Memiliki interval panjang di sepanjang ruangan—mereka berlari dari kejaran ayahnya yang mengalami gangguan mental.

Berkumpul di sudut ruangan dengan pola acak—dua kakak beradik itu  kemungkinan berlari hingga sudut ini, kebingungan saat dilanda panik dan terdesak, mencari jalan keluar dan persembunyian.

Kembali berlari, hingga melintasi ruangan, mengarah ke pintu luar rumah, terburu-buru—dapat dilihat dari interval jejak yang semakin panjang—namun terlambat.

Dua jejak besar berinterval panjang menyusul mereka dari arah dapur—sang ‘Ayah’.

4 Jun 2011

Sebut Saja Gadis

20:29 5 Comments
Mereka korban.
Namun mereka tetap disalahkan karena menjadi korban.
Mereka. Bernama. ‘perempuan’.

Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan adalah perempuan yang hina dan ia diperkosa karena kesalahannya. (Taslim, 1995)

Masyarakat memberi label bahwa perempuan korban perkosaan sengaja ‘menggoda’ dan ‘menantang’ laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995)

Secara psikologis, korban perkosaan berpotensi mengalami trauma jangka panjang (Post Traumatic Stress Disorder), tentunya karena peristiwa perkosaan merupakan suatu hal yang mengguncang keadaan fisik dan mental korban perkosaan.



SEBUT SAJA GADIS



Jika saja hanya kematian satu-satunya yang bisa menolongku terlepas dari semua mimpi buruk ini, aku tak akan pernah merasa keberatan menenggelamkan diri dalam pelukannya.

Sungguh.

“Sial! Panggil dokter! Denyut nadinya melemah lagi!”

3 Jun 2011

Kegelapan Berduka

11:22 0 Comments

Sosok itu bergerak cepat dan pasti dalam kegelapan total. Seakan ia memang bagian dari kegelapan yang menyelimuti tempat ini. Seakan ia memang dilahirkan untuk berada dan hidup dalam kegelapan. Aku memejamkan mata, namun suara nafasnya pun tak bisa kudengar. Ia lebih sepi dan halus dari bayangan. Bau darah menguar dari tubuhnya, tapi aku berani bertaruh ahli forensik manapun tak akan bisa menemukan darah di pakaian yang ia kenakan, bahkan dengan bantuan luminol sekalipun.

Seperti biasa, ia ‘bekerja’ terlalu rapi.

“Anna, kamu belum tidur?”

Tenang sekali suaranya. Dalam kegelapan, mataku tak mampu menatap raut wajahnya. Hanya saja pastinya, tetap saja tak ada yang bisa dibaca disana. Padahal tentu seseorang diluar sana telah kehilangan nyawa karena dia. Namun orang yang aku panggil ayah ini adalah seonggok daging tak beremosi.

“Aku tidak bisa tidur, Ayah.” Aku berdiri dan menghidupkan lampu meja di sampingku. Kedatangan cahaya yang tiba-tiba tak menimbulkan reaksi apapun pada bola matanya. Ia tetap menatapku tajam dan erat, mungkin penuh prasangka.
Daisypath Anniversary tickers