Dua pasang jejak-jejak kaki kecil dari darah memenuhi tempat itu.
Dimulai dari dapur, terdapat bercak darah di dinding dan tetesan darah terbanyak—disini sang ‘Ayah’ melukai dua putri kecilnya dengan pisau dapur pada awalnya. Satu dari mereka terjatuh—mungkin si kakak—menyebabkan pelebaran pola darah di lantai. Tergesa ia bangkit dan menyambar adiknya, keluar dari dapur, menuju ruang tengah.
Memiliki interval panjang di sepanjang ruangan—mereka berlari dari kejaran ayahnya yang mengalami gangguan mental.
Berkumpul di sudut ruangan dengan pola acak—dua kakak beradik itu kemungkinan berlari hingga sudut ini, kebingungan saat dilanda panik dan terdesak, mencari jalan keluar dan persembunyian.
Kembali berlari, hingga melintasi ruangan, mengarah ke pintu luar rumah, terburu-buru—dapat dilihat dari interval jejak yang semakin panjang—namun terlambat.
Dua jejak besar berinterval panjang menyusul mereka dari arah dapur—sang ‘Ayah’.
Tepat di depan pintu—dimana saat-saat penyelamatan diri nyaris mereka dapat, mereka ditangkap. Jejak-jejak kabur dan saling tumpang tindih memberitahukan bahwa di tempat ini sempat ada perlawanan—selemah apapun itu. Setelah itu ada dua jejak seret yang masih dibentuk dari darah—melintang sepanjang ruangan, menuju kamar tidur kedua gadis cilik ini—tempat mereka dibakar hingga mati oleh sang ‘Ayah’.
Pandanganku berputar. Mual. Sesak.
Ternyata 7 tahun mengolah TKP belum mampu menjadikanku tegar. Bahkan dari tempat yang ramai dengan suara para analis dan warga sekitar yang penasaranpun—aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas;
Jeritan ketakutan dua gadis cilik ini. Permohonan ampun mereka. Teriakan minta tolong yang tersia-sia.
Ironisnya warga sekitar sebenarnya mendengar kegaduhan itu, teriakan-teriakan itu. Namun sang ‘Ayah’ yang dikenal sebagai preman dan sangat temperamental menghalangi warga dari bertindak langsung. Di tengah malam mereka membuang waktu berharga dengan menggedor pintu rumah Pak RT—yang lalu juga membuang waktu dengan menunggu bantuan dua polisi ngantuk untuk datang.
Terlambat. Sia-sia.
Saat mereka tiba, dua gadis itu tengah dilalap kobaran api besar sementara sang ‘Ayah’ tengah membersihkan diri di sumur belakang—seakan malam ini tak pernah lebih berbeda dari malam lainnya.
Demi Tuhan, mereka bahkan baru berumur 9 dan 6 tahun...
Terlalu banyak yang kupertanyakan padaNya.
Mengapa aku—sebagai polisi—tidak bisa berada disana pada waktunya, tidak bisa diberi tahu sebelum ini semua terlambat, tidak bisa menyelamatkan dua nyawa, tidak bisa mencegah sang ‘Ayah’ untuk melakukan kegilaan? Atau mengapa ini semua harus terjadi pada dua nyawa tak bersalah? Mengapa sang ‘Ayah’ harus mengidap kelainan mental? Atau kenapa orang-orang busuk yang tinggal disini lebih mementingkan nyawa mereka daripada sekedar memberi pertolongan?
“Lian, istirahatlah dulu. Mukamu pucat, lho.” Rangga, seorang dokter forensik yang seringnya juga bekerja ganda sebagai ahli daktiloskopi—menyapaku dengan kerutan kekhawatiran besar di keningnya.
“Nggak, Ga. Hanya sedikit pusing.” Aku menyajikan senyuman terlemahku. “Ini semua... terlalu kejam...”
“Bagaimana kabar bercak darahnya, Li?”
“Bagus...” jawabku setengah tidak mendengarkan.
Aku tahu sebagian dari rekanku berpikir ‘dasar perempuan!’ setiap kali aku menunjukkan emosi di olah TKP. Membayangkan semua kekejian ini mengiris bagian terdalam dari diriku. Menyaksikan dan mengenang bagaimana nyawa-nyawa ini terbuang sia-sia sungguh pengalaman traumatis yang mengerikan. Namun profesi ini aku pilih dengan harapan aku bisa mengubah sesuatu—mampu melakukan sesuatu sebelum nyawa anak-anak lain menjadi korban seperti dua gadis ini...
Harapan utopis bahwa mungkin, suatu hari, akan tiba waktunya dimana anak-anak ini bisa hidup bahagia berkecukupan tanpa harus mengalami tragedi.
“Seharusnya kau mendengar penuturan si Ayah.” Kegetiran memenuhi suara Rangga. “Ia bilang ada suara-suara yang menyuruhnya melakukan ini semua pada putrinya. Hah, memangnya zaman sekarang polisi masih percaya dengan teori ‘kerasukan iblis’ sebagai motif kejahatan?”
“Dua gadis kecil itu meninggal dengan sebegitu menderitanya, ya?” pertanyaan bodoh.
“Sejujurnya sih tidak, Li. Mereka bisa saja terbakar hidup-hidup. Hanya saja si Ayah pintar. Ia menghantam kepala keduanya dengan bangku sebelum membakarnya. Kabar baiknya ya itu, mereka tidak merasakan apapun saat api itu membakar tubuhnya.”
Aku mengerling Rangga. Bagaimana bisa ya, ia terlihat sebegini tegarnya? Padahal ia juga memiliki anak, kan? Apakah tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa anaknya bisa saja bernasib seperti dua gadis cilik tak berdosa ini?
Padahal tentu tugasnya jauh lebih berat daripada aku.
Bagaimana tidak? Ia yang akan memegang lengan kecil yang gosong itu. Ia yang akan menatap dua bola mata membelalak ketakutan yang kosong semalaman untuk diidentifikasi. Ia yang akan merasakan aroma tajam daging yang terbakar. Ia yang akan mencatat semua luka di tubuh hangus yang kecil itu.
Haaah, apa benar bahwa seharusnya perempuan yang secara hormonal lebih dikuasai emosi tidak seharusnya bekerja di ranah seperti ini?
“yang mengotopsi mereka kamu, Ga?”
“Uuh, sayangnya bukan! Komandan menyuruh si psiko yang mengotopsi mereka. Mungkin komandan hanya ingin berniat baik. Kan tidak banyak yang harus diotopsi dari kasus yang sudah jelas begini, jadi si psiko tidak perlu ‘mengacak-acak’ tubuh keduanya dengan terlalu sadis.”
‘Si Psiko’ adalah panggilan kami dari bagian Bareskrim untuk Leonard Nasution. Seorang dokter ahli forensik lulusan Universitas Indonesia yang terkenal psikopat. Ia menikmati memotong setiap bagian tubuh dari korban dan mengakui bahwa tidak ada kepuasan yang lebih dinikmatinya dari membayangkan bagaimana orang-orang itu meninggal.
Dasar sakit jiwa.
Tapi bagaimanapun juga, ia seorang forensik yang jenius. Beberapa kali dirinya dipanggil ke Bareskrim daerah lain untuk mengotopsi mayat-mayat yang susah diidentifikasi. Kecemerlangannya ini ditutupi oleh rasa tidak suka dan seram dari atasan kami—namun nampaknya ia tak begitu perduli. Uang, kenaikan pangkat, atau pengakuan bukanlah sesuatu yang ia cari.
Leon memang memilih profesi ini untuk melegalkan ‘hobinya’.
“Kau tahu kan, gosipnya pernah ada yang melihat si psiko menciumi bagian paha dalam mayat perempuan yang dimutilasi?” yaah jujur saja memang banyak sih, gosip miring soal si psiko ini.
“Tapi dalam kasus pembunuhan gadis muda oleh pacarnya saat itu ia banyak membantu, ya? Rasanya ia hanya seperti memandang mayat dan mayat itu yang bercerita padanya—ia diapakan oleh siapa dan bagaimana.”
“Orang jenius itu memang biasanya agak nyeleneh, Li.”
Aku mengangguk setuju, namun tak berkomentar. Setengah diriku masih melayang diatas rumah ini. Menyaksikan hal-hal yang sesungguhnya sudah tak ada. Hanya sesuatu yang dibangun dari bukti-bukti kasar TKP yang dapat dilihat oleh mata telanjang.
“Heh Li, melamun lagi kan.” Rangga menepuk pundakku. “Sudah jam makan siang, nih. Pengumpulan bukti di TKP ini juga sudah kelar. Mau makan siang bareng? Aku yang traktir deh, tinggal bilang saja.”
“Hush, baru jadi pengantin sudah berani ngajak perempuan lain buat makan bareng. Nanti istrimu ngamuk ke aku, lho.” Tawaku.
“Lho memang kamu perempuan, tah?”
Aku meninju bahu Rangga dengan cukup keras—namun kami tetap tertawa. Ah, lega rasanya mendapati bebanku akibat identifikasi bercak darah tadi sedikit terangkat karena banyolan Rangga. Namun lewat sudut mataku aku menangkap beberapa pandangan mencela yang ditujukan pada kami. Mungkin mereka mengira tidak etis tertawa di tempat pembunuhan begini.
Yah, mereka hanya tidak tahu.
Bagi kami yang menyaksikan hal seperti ini sesering makan dan tidur, rasanya luar biasa berat untuk bekerja tanpa pengalihan. Nurani yang ada terkadang hanya penimbul emosi yang memperlamban proses pekerjaan. Beberapa dari kami akan terbiasa, sementara yang lainnya—seperti halnya aku—akan terus dilanda paparan hebat emosi setiap kali melihat pembunuhan, padahal inilah bidang pekerjaanku.
Yang mereka tahu adalah betapa hasil kerja kami harus cukup adil untuk mereka, dan aku tahu betapa sedikit dari mereka yang benar-benar tahu seperti apa kami harus berjuang setiap harinya untuk menegakkan suatu hal paling utopis bernama ‘keadilan’.
Ironis? Memang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar