‘Meladeni’ mayat mungkin sudah menjadi santapanku sehari-hari. Mungkin sebagian besar orang berkata kami ‘mengacak-acak’ mayat seseorang yang bukan hanya sudah cukup malang menjadi korban dari suatu peristiwa tragis, namun juga cukup malang untung diacak-acak setelah mati.
Padahal yang kami lakukan hanyalah ‘menata’ si mayat. Ya kalau masih utuh di’kerjai’ sedikit, kalau tidak utuh ya ‘ditata’ kembali. Intinya kan saat dikembalikan ke tangan keluarganya si mayat cantik seperti sedia kala. Eh, itu juga kalau tidak ada bagian yang hilang atau terlalu sulit untuk ditambal, sih ya.
Begitulah dilema analis forensik di Bareskrim Polri. Mau bagaimana lagi? Untuk mengurangi kemalangan si korban dan mengurangi potensi orang lain bernasib sama seperti dirinya kan, si pelaku harus dihentikan. Agar bisa menghentikan si pelaku ya kami harus mengumpulkan bukti.
Bukti ini kan juga nggak semudah mengedipkan mata mencarinya agar si hakim bisa percaya. Harus mendetail, harus tak terbantahkan, baru bisa mengirim seseorang ke penjara. Untung saja ya Leone Lattes dulu mau capek-capek mengurusi titik-titik darah itu sehingga ilmu forensik di bidang biologi molekuler ini bisa berkembang dan mempermudah identifikasi kasus.
Nah, mencari buktinya itu lho yang sulit. Terkadang setelah ‘mengacak’ mayat hingga jadi entah-berapa-potong tak juga ditemukan bukti yang kuat.
Ah, aku melantur.
Semua hal tadi sesungguhnya hanya justifikasi. Sebenarnya tidak ada yang lebih menyenangkan dari meneliti ecchymosis atau sekedar mengorek dan mengidentifikasi sel kulit pembunuh di bawah kuku, lalu membayangkan bagaimana si jasad ini mencoba melawan saat masih hidup dulu. Ah, sungguh fantasi yang lebih menyenangkan dari ejakulasi.
Aku menemukan keindahan seni yang tak terbantahkan di tubuh mereka yang telah tiada. Mungkin jika kemarin aku tidak lulus dari kedokteran aku pasti sudah jadi penghuni penjara. Persamaanku dengan para pembunuh itu kan ‘sama-sama memotong orang dan menikmatinya’. Perbedaannya ya aku melakukannya dengan legal dan bukan asal potong tapi juga harus mengidentifikasinya, kan?
Kebanyakan mitraku mengkritik kinerjaku ‘kurang hormat’ pada mereka yang sudah mati. ‘tidak beretika’ katanya. Ya ya ya, mereka bisa bilang apa saja, kebetulan, aku tak perduli. Mungkin aku memang harus memeriksakan diri ke seorang psikolog kriminal agar semua orang bisa membuktikan ucapan mereka bahwa aku ini seorang analis Bareskrim yang berbakat psikopat.
Kurasa sih nggak juga ah. Buktinya aku masih bisa merasakan simpati pada Rangga, teman plus mitraku di Bareskrim—seorang ahli daktiloskopi yang istrinya baru saja dianiaya, diperkosa, lalu dibunuh.
Ironis ya? Padahal dia polisi, lho. Polisi gitu lho ya, tapi istrinya sendiri meninggal dengan cara yang membuat kami harus mengutak-atiknya dengan cara yang ‘polisi banget’. Mungkin ini salah satu bukti bahwa polisi juga manusia? Bisa jadi, kan?
Ah, aku melantur lagi.
Kebetulan aku yang mengotopsi tubuh cantik berbentuk gitar spanyol yang sudah mendingin ini. Rangga terlihat tidak senang? Hahaha. Jelaslah. Mengingat rekam prestasiku dalam ‘memperlakukan korban’ sudah tentu Rangga tak ingin jasad istrinya diperlakukan sama bejatnya dengan yang ia terima diujung hayatnya. Tapi bisa saja ia juga merasa senang. Di kantor ini kan aku yang paling banyak menggontorkan penemuan bukti-bukti kuat?
“Penyebab kematiannya karena intermediate dan coup contusions ganda. Sementara pemeriksaan eksternal memperlihatkan pendarahan akibat trauma benda tumpul di kepalanya. Yah, kamu tahulah, seperti seseorang yang mengetuk pintu dengan tenaga kuda hingga engselnya lepas, pembuluh darah di otaknya robek.”
Kelihatannya Rangga tak mendengarkan satu katapun.
Wajar sih. Perempuan mati ini adalah perempuan yang mendampingin Rangga selama 9 tahun. Dan mereka baru menikah 2 tahun, memiliki bayi berumur 5 bulan, plus yaah, Rangga pasti masih memiliki rencana panjang soal kebersamaan mereka. Ia pasti saat ini tengah merasa bingung soal ‘siapa yang akan merawat si bayi’ atau ‘siapa yang akan menemani tidurnya lagi’ bahkan ‘menyiapkan makanan di pagi hari’ tapi aku penasaran apa urusan bagian bawah perut juga dipikirkan saat ini, ya?
“Apa... ia melawan?” lirihannya nyaris tak terdengar.
“Ya. Ecchymosis di ekstremitas luar mengindikasi ia melawan sekuat tenaga. Istrimu menolak memberikan kemudahan bagi pembunuhnya.” Memang seharusnya begitu, biar seru. “Ia juga membawa banyak petunjuk. Sel kulit di bawah kukunya, contoh rambut, bercak darah pelakunya, bahkan seserpih pakaian...” dan yah, jadi kurang seru karena semua bukti ini sudah cukup jelas.
“Apa..Dia.. uhm, meninggal dengan sangat menyakitkan?” ia mulai terisak.
Sebenarnya jawabannya gampang. Bayangkan saja kau diperkosa hingga berdarah-darah lalu kepalamu dihantam bangku, apa masih bisa digolongkan ‘tidak menyakitkan’? tapi kurasa bukan itu jawaban yang ingin didengar Rangga jadi yaaah, berbohong lebih baik lah.
“Tidak, kematiannya cukup cepat. Istrimu nyaris tidak merasakan apa-apa.”
Tuh kan, aku memang punya bakat untuk jadi bintang besar Hollywood.
“Apa... pemerkosaannya begitu menyakitkan?”
Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti kenapa Rangga mau capek-capek mengetahui detil soal penderitaan istrinya yang sudah jadi mayat. Ya tentu diperkosa sakit. Ya tentu dibunuh sakit. Kenapa juga masih harus digamblangkan begini? Rangga toh ahli forensik juga (maksudku kadang-kadang ia juga ‘sembari’ jadi dokter forensik). Ia pasti tahulah, apa yang dialami istrinya.
Mungkin percakapan ini hanya sekedar hiburan baginya? Aku sih tidak keberatan. Malah asyik melihat paparan emosi Rangga saat berbicara soal kemalangan istrinya. Hihihi. Tapi seharusnya ia bicara dengan Ellen—si seksi ahli psikiatri forensik itu. Setidaknya Ellen kan bisa memaparkan secara lebih jelas apa saja yang dipikirkan istrinya Rangga sebelum meninggal.
“Kalau mau jujur sih tidak terlalu, Ga. Si pelaku ini kelihatannya penderita ejakulasi dini. Nyaris setelah penetrasi ia langsung ketemu puncak. Soalnya yah, kamu tahulah, di bagian vagina tidak banyak ditemukan luka. Jadi pemerkosaannya sendiri hanya berlangsung sebentar.”
Still, Rangga tidak mendengarkan. Sudah kuduga pertanyaannya hanya upaya dirinya untuk memikirkan sesuatu dilain kematian perempuan ini.
“Boleh... Aku minta tinggalkan kami sebentar, Leon?” bisik Rangga nyaris tak terdengar.
“Tentu, tentu.” Jawabku santai. Lagipula ini sudah lewat jam makan siang. Aku terlalu sibuk mengagumi tubuh sempurna yang mati dengan sempurna itu hingga tidak sadar tubuhku sendiri sudah menjerit minta diperhatikan. Hihihi. Tak lama lagi bisa-bisa aku meninggal karena tukak lambung super-parah nih.
Aku melangkah santai sembari menyambar tas tanganku, mendorong pintu ruang otopsi dan sesaat sebelum pintu itu benar-benar menutup—aku mendengar lirihan penuh kesakitan dari dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar