![]() |
sumber gambar disini |
Dalam
kelelahan, aku kerap berpikir bahwa kekosongan dan kesendirian liang lahat
merupakan tempat yang lebih baik dari rumah dimana aku tinggal.
Kau
mungkin heran, atau menganggapku manusia paling tak tahu diri atau tak tahu
untung, saat kau melihat rumah yang kami miliki, bayi berusia 8 bulan yang
tengah lucu-lucunya, dan suamiku yang tampan—Ardhi. Kami terlihat begitu
berkecukupan, begitu lengkap, begitu bahagia… dari luar.
Sementara
dari dalam, aku harus bertahan menghadapi neraka-ku yang tak kasat mata.
“Kamu kira aku nggak bisa cari yang lebih baik? Diluar sana banyak perempuan yang lebih cantik, lebih seksi, lebih kaya, lebih pintar dan lebih hebat dari kamu—dan mereka pasti mau sama aku!”
“Diet
dong! Liat dong badan kamu, tampang kamu itu! Kayak babi! Malu-maluin!”
“Kamu
sadar nggak sih kamu itu ga cantik-cantik amat? Miskin, lagi.”
“Aku mau kamu minta maaf kayak anjing!
Berlutut! Ngemis dan cium kaki aku!”
Mungkin
tak ada yang menyangka bahwa siapapun di dunia ini akan tega mengucapkan
kata-kata demikian pada seseorang yang ia nikahi—seseorang yang ia pilih secara
sadar, waras dan dengan pertimbangan yang tak sedikit. Namun bagiku, kenyataan
inilah yang harus kuterima selama 3 tahun pernikahan kami. Bahkan mendengarnya,
entah untuk berapa ratus kali sejak kami menikah, telah mematikan sesuatu dalam
hatiku. Kesedihan yang membuncah bahkan tak terasa terlalu menyakitkan.
Seperti menyambut tiran lama yang kerap menyiksa, namun setiap pukulannya
terasa familiar.
Dulu, semua
orang berkata aku beruntung karena menikahi Ardhi. Namun sejujurnya, kini aku
tak lagi mampu mengingat alasanku jatuh cinta padanya, mengapa aku mau menikah
dengannya, atau bahkan alasan mengapa aku ‘beruntung’ menikah dengannya.
Sesungguhnya, kekejaman
kata-katanya telah aku terima lama sebelum kami menikah. Dengan naif, aku
mengira bahwa selama ia tak menyakitiku secara fisik, maka semuanya akan
baik-baik saja. Hanya saja aku lupa, bahwa ada cara-cara menyakiti yang jauh
lebih jahat, dengan kekuatan menghancurkan yang lebih besar; dan itulah yang ia
pilih untuk menghancurkanku.
Dulu, aku dipenuhi harapan bahwa ia akan berubah menjadi pangeran yang kuimpikan saat anak-anak kami
lahir. Aku mengira ia akan menyadari arti keberadaan diriku dalam hidupnya saat
ia merasa bahagia hidup bersamaku. Aku mengira jika aku berusaha lebih keras
dalam mencintainya, ia akan balas mencintaiku lebih lagi. Jika aku berkorban
lebih banyak, ia akan menyadari setidaknya sedikit daripadanya. Atau andai aku
berjuang lebih keras untuk membahagiakannya, ia akan sadar bahwa hidupnya indah
karena aku ada.
Tanpa kusadari,
aku tengah menipu diri sendiri dengan segala anggapan dan
khayalanku. Aku melihat apa yang ingin aku lihat. Aku percaya padanya, hanya
karena aku yang ingin percaya. Begitu saja.
Apapun
yang kulakukan untuk membahagiakannya, hanya berujung pada sindiran atau
cemoohan. Semua yang kulakukan untuk melayaninya, dengan jelas dan terang ia
remehkan. Usahaku untuk membantunya selalu ia anggap sebagai sesuatu yang sudah
selayaknya ia terima. Sementara seluruh pendapatku yang bertentangan dengannya
hanya akan berujung pada pertempuran—medan dimana kekalahanku adalah sesuatu
yang mutlak.
Perasaan
bahwa keseluruhan eksistensiku tak dihargai meski sedikit, memborbardir tanpa
ampun. Aku mulai lupa akan keberadaan diriku di dunia, atau identitasku sebagai
“aku”. Aku mulai membenci keseluruhan diriku saat terbangun di pagi hari. Aku berhenti
melihat wajah dan tubuhku di cermin. Aku tak lagi memilih padanan baju yang
bagus atau rias make-up yang menarik. Aku hanya bernafas, makan dan buang hajat.
Namun selebihnya,
aku berhenti “hidup”.
* * *
Kadang,
disaat aku kelelahan sehabis mengerjakan pekerjaan rumah, lalu menyambut Ardhi
yang mengamuk karena rumah ini tak sebersih atau serapi ‘standar’nya, atau saat
ia membanting piring dan berkata bahwa masakanku ‘mengerikan’, atau saat
kata-kata ‘indah’nya kembali mengudara; sempat terpikir untuk mengakhiri
semuanya.
Hidupku,
hidup Ardhi, hidup bayi kami. Aku menyadari bahwa aku semakin sering
menghabiskan waktu untuk memandangi deretan pisau dapur, botol baygon yang
kusimpan di gudang belakang, atau lantai dasar Mall dari ketinggian lantai
teratas.
Aku mulai
menemukan kenyamanan dalam khayalanku mengenai cara terbaik menghabisi nyawa
kami semua. Saat tak membayangkan cara membunuh keluargaku, aku akan berlarut
dalam khayalan tentang membunuh diriku sendiri, lalu menyaksikan Ardhi yang
baru menyadari artiku, menangisiku, menyesali segala perbuatannya dan berharap
aku kembali sembari mengiba-iba.
Meski tahu itu semua salah, namun kenikmatannya sulit untuk ditolak.
* * *
Aku
mendengarkan sambil lalu, namun tak terlalu memerhatikan sepenuhnya saat orang-orang
mulai berkomentar atas perubahanku.
‘Kenapa wajah kamu kayak gini sekarang?’ ‘Kenapa
penampilan kamu begini?’ ‘Ini sudah keberapa kalinya kamu masuk rumah sakit?’ ‘Allina,
kamu itu pintar, kamu itu cantik, apa sih yang bikin kamu bertahan?’ ‘Ya lawan,
dong!’ ‘Kamu itu tegas, sih!’ ‘Kalau perlu, balas!’
Jauh dalam
hati, aku ingin tertawa mendengarnya. Mereka hanya tak tahu, bahwa aku sangat,
sangat, sangat ingin membalas. Aku bukan orang suci yang ikhlas diperlakukan
dengan sedemikian hina, bukan. Aku sangat ingin membalas dendam, sampai aku
begitu takut aku akan menemukan Ardhi yang tak lagi utuh di sampingku saat aku
membuka mata di pagi hari.
Tapi aku juga sangat, sangat, sangat mencintainya. Kemarahanku begitu saja luntur setiap kali
melihatnya tertawa, atau melihat lelahnya saat pulang bekerja. Kebencianku akan
menguap begitu saja saat ia mau mendengarkan ceritaku hari itu dengan antusias.
Meski tak tahan akan segala kekejaman kata-katanya, jauh dalam hati, aku merasa
bahwa aku akan lebih tak tahan atas ketiadaannya di dunia ini.
Aku tahu
cinta membutakan, membuat manusia menjadi makhluk purba yang serba dungu. Aku tahu
aku telah lemah dan kalah, namun ada bagian dari diriku yang menuntut untuk
menikmati detik-detik berharga dimana aku merasa masih mencintai dan dicintai oleh Ardhi. Aku tahu masih ada
bagian diriku yang menyimpan harapan yang menggelembung seperti balon
udara—bahwa ia akan berubah, bahwa semua
akan baik-baik saja, bahwa keadaan akan membaik.
Walau aku sepenuhnya sadar bahwa semua itu sebuah utopia semata.
* * *
Entah sejak
kapan, aku mulai membenci bayi-ku sendiri. Seringi dengan pertumbuhannya,
kemiripannya dengan Ardhi mulai membayang nyata, maka semakin besar pula rasa
benciku padanya. Aku mendapati diriku akan menangis histeris bahkan saat harus
mengganti popoknya, melemparnya kasar saat ia menggigit putingku kelewat keras
saat menyusui, hingga berhenti berbicara padanya.
Namun ada
masa dimana aku akan menangis sembari meminta maaf, memeluk bayi-ku dengan erat
sembari memberi tahunya betapa aku sangat menyayangi dan mencintainya. Meski didalam
hati, aku tahu aku akan puas melihatnya mati karena membayangkan kesakitan yang
bisa kutimbulkan pada Ardhi.
Tanpa sadar,
aku berhenti mengurusi bayiku. Aku membiarkannya saat ia menangis, menutup
semua pintu dan jendela rapat-rapat agar tetangga tak mendengar. Dan dari balik
pintu, aku mendengarkan dan menikmati jeritannya, membayangkan bahwa itu adalah
jeritan Ardhi. Biasanya, aku baru akan tersadar saat bayiku telah berhenti
menangis. Saat itulah aku akan menghambur ke dalam kamar untuk melihatnya
tergolek lemas di kasur, diantara kotorannya sendiri.
Setiap Ardhi
bertanya mengapa bayi kami tak seaktif anak lain, atau kenapa berat badannya
terus berkurang, aku menjawab bahwa itu adalah hal yang wajar karena ia sedang
tumbuh cepat. Saat anak itu rewel dan panas, aku menjawab bahwa ia baru saja
imunisasi dan itu hal yang wajar. Ardhi, yang tak ingin disulitkan dengan
urusan ‘rumah’ yang menurutnya adalah tanggung jawabku, menelan semuanya
mentah-mentah.
Hingga akhirnya,
pada suatu pagi yang hangat dan cerah, bayiku berhenti bernafas…
((Bersambung ke: "Hingga Suatu Pagi, Ia Berhenti Hidup: Bag 2"))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar