![]() |
sumber gambar disini |
((Lanjutan dari "Hingga Suatu Pagi, Ia Berhenti Hidup: Bag 1")
Di
bulan Juni, aku patah hati.
Perempuan
yang pergi itu meninggalkan lubang besar yang tak tertanggulangi, hingga aku
berpikir bahwa selamanya aku tak akan jatuh cinta lagi. Lalu di akhir September
di tahun yang sama, aku bertemu Allina.
Saat
itu, ia adalah gadis yang paling berbahagia yang pernah kutemui. Senyumannya,
caranya tertawa, keindahan yang timbul saat matanya berbinar bahagia,
menerbitkan kehangatan yang kukira telah padam dalam hatiku. Tak ingin
kehilangan dirinya, aku memutuskan untuk melamar Allina pada ayah dan ibunya
satu bulan kemudian.
Seperti
lelaki pada umumnya, aku kira aku sudah siap untuk menikah. Kenapa tidak?
Umurku 27 saat itu, sementara Allina menginjak 23 tahun. Aku sendiri sudah
mapan, dengan gaji yang cukup untuk menyicil rumah, mobil, sekaligus memulai
keluarga kecil. Orangtuaku pun sudah tak sabar ingin menimang cucu.
Hanya
saja aku tak pernah tahu, pun tak pernah ada yang memberitahuku sebelumnya,
bahwa suatu pernikahan, suatu keluarga, membutuhkan lebih daripada itu.
Saat
menikah, aku memutuskan bahwa Allina tak perlu lagi bekerja. Dengan percaya
diri, aku memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga penuh. Namun saat bulan
demi bulan berlalu, aku menyadari bahwa ‘tanggung jawab’ adalah sesuatu yang
mengerikan.
Aku
mulai merasa tak puas saat tabunganku tak sebesar yang aku mau. Aku tak lagi
memiliki modal yang cukup untuk bermain saham seperti teman-teman sejawatku, bahkan
tak lagi mampu mengirimkan uang dengan nominal sebesar biasanya pada
orangtuaku, dan ini menimbulkan rasa frustasi yang tak dapat dengan mudah
kutanggulangi. Saat ingin membeli barang-barang baru yang aku inginkan, aku
mulai menyadari bahwa jam tangan ‘termurah’pun akan memakan biaya yang kini
terlihat ‘besar’. Aku tak bisa lagi hangout
dan menghabiskan waktu banyak dengan teman-temanku. Dan disaat aku harus
menemani Allina yang tengah hamil, dengan getir aku menyaksikan bagaimana
teman-teman lelakiku bersenang-senang semau mereka dan memiliki karier yang
kian pesat.
Pernikahan
telah membuatku mengorbankan sesuatu yang ternyata tak siap aku terima.
Belum
lagi, semakin tinggi jabatanku di kantor, semakin besar pula tekanan yang aku
terima. Aku merasa sendirian, kala aku menyadari bahwa di tempat itu aku tak
lagi punya teman. Mereka yang bermanis-manis di depan, ternyata di belakangku
membangun kekuatan bersama untuk menumbangkanku dari posisi yang berhasil aku
capai saat itu. Ketegangan membayangkan bahwa aku akan kehilangan semua yang
kumiliki, ditambah beban tanggung jawab atas keluargaku, membuat pekerjaanku
tak sebaik seharusnya hingga para atasan-pun kerap memarahiku.
Beban
inilah yang aku bawa pulang hingga ke rumah.
Rumah
kecilku, yang telah aku miliki selama beberapa waktu sebelum menikah, selalu
menjadi sanctuary-ku. Di tempat
inilah aku bebas menjadi diriku sendiri, tempat dimana aku bisa melepaskan
kelelahan yang menjeratku selama berada di kantor. Di tempat ini, aku merasa
bahwa aku kembali menjadi seseorang yang berarti dan berada dalam kondisi yang
bisa aku kuasai. Rumah inilah tempatku berbahagia, dan saat memutuskan untuk
menikah, aku berpikir bahwa Allina dan anak kami nanti adalah tambahan
menyenangkan dalam sanctuary-ku.
Mereka akan meramaikan, memperindah tempat ini dan menemaniku.
Lalu
aku mendapati bahwa kenyataan yang kuhadapi tak seindah yang aku inginkan.
Aku tak
lagi mampu mengontrol keadaan. Aku tak suka saat melihat barang-barang Allina
memenuhi rumah ini, menyingkirkan spot-spot kosong yang tadinya kusukai. Aku
sangat kesal saat Allina meletakkan barang-barang tidak pada posisi, susunan
dan proporsi yang telah aku tentukan. Aku muak dengan selera Allina pada
dekorasi rumah yang aku anggap menggelikan.
Dan
rumah ini tak pernah sebersih saat aku memperkerjakan dua orang pembantu dulu.
Sejak menikah, semua tanggung jawab rumah tentu sewajarnya beralih pada Allina.
Ia berkata telah menyapu, mengepel dan mengelap segala sesuatunya setiap hari,
namun aku selalu bisa menemukan sejumput debu di sudut-sudut rumah yang
membuatku mempertanyakan kinerjanya. Belum lagi rasa masakannya yang jauh
dibawah standar masakan ibuku, membuat nafsu makanku menghilang saat
mencicipinya.
Maksudku,
untuk apa ia ada di rumah, tak bekerja, jika ia tak becus mengurus rumah? Dia
ngapain aja sih seharian?
Disaat
aku harus berjuang mati-matian mencari nafkah untuk menghidupinya, menghadapi
orang-orang psikopat yang membuat hidupku terasa seperti neraka di kantor itu, aku
berharap Allina menjalankan ‘fungsi’nya sebagai matahari dalam kehidupanku. Toh,
aku menikahinya dengan harapan bahwa ia akan membawa kebahagiaan dalam hidupku.
Namun dengan kehadirannya, aku justru merasa sanctuary dan hidupku telah ‘dijajah’.
Lalu
anak kami lahir, dan monster kecil itu mengubah rumahku menjadi tempat yang
mengerikan. Bau pesing menggantikan aroma cokelat dari pengharum udara yang
kubeli khusus, bir kesukaanku kini bahkan tak lagi muat di kulkas yang penuh
berisi bahan-bahan makanan bayi dan botol asi Allina, barang-barang di rumahku
semakin penuh karena kebutuhan si bayi, belum lagi suara tangisan yang tak
mengenal siang dan malam.
Aku merasa mulai gila.
Entah
sejak kapan, aku mulai membanding-bandingkan Allina dengan istri-istri tetangga
dan perempuan-perempuan yang menurutku hebat. Mereka yang bisa bekerja sembari
membesarkan anak, mereka yang memiliki tubuh dan wajah yang indah, mereka yang
mampu hangout dengan teman-teman
sosial suaminya. Aku tak mengerti mengapa perempuan-perempuan itu bisa,
sementara istriku sendiri di rumah berubah menjadi perempuan gendut, dengan
wajah jelek tak terawat, rambut awut-awutan yang tak rapi, dan dipenuhi bau
asam asi.
Pernah
aku menumpahkan ketidakpuasanku di depan bapak-bapak tetangga saat kami tengah
berkumpul bersama di bangunan ronda yang memang didirikan sebagai tempat
berkumpul. Namun kala itu, tanggapan mereka justru mengejutkanku.
“Ah, mas
Ardhi ini bisa saja.”
“Iya,
saya heran kenapa istri saya nggak bisa kayak istri bapak yang badannya bagus,
atau secantik istri mas Saka, atau makanannya enak-enak kayak bekal yang sering
dibawa mas Rudolf. Kadang saya itu geram juga melihat Allina. Makin lama makin
jelek saja. Lama-lama saya kawin lagi aja deh.”
Tawa
gugup terdengar dari para bapak-bapak itu saat mendengar ucapanku. Namun aku
tak perduli, aku hanya ingin menumpahkan rasa frustasiku.
“Ya
jelas toh mas Ardhi, istri saya badannya bagus. Waktu dia olahraga di Gym, ikut
yoga, ikut aerobik, siapa yang nelangsa jaga anak-anak di rumah? Ya saaaya.”
Ucap pak Wira sembari tertawa lepas.
“Waduh,
gua kira gua doang, Pak. Bini gua itu masakannya emang enak, tapi lama. Makanya
kalau pagi-pagi dia mau berangkat kerja, gua yang bantuin dia goreng ikan atau
ayam saat dia lagi dandan.” Timpal mas Rudolf bersemangat.
“Lah,
jadi yang enak-enak itu masakan sampeyan?”
“Nggak
lah, istri gua udah nyiapin semuanya. Ikan atau ayam sudah dibumbui, jadi
tinggal gua goreng. Nggak susah kok, tinggal bolak-balik sampai cokelat. Sambil
goreng, gue juga punya excuse main COC tanpa gangguan. Hahaha!” tawa Rudolf
lepas. “Tapi yang paling mulus ya istri mas Saka inilah. Itu nyamuk aja
kepleset kali di kulit Mbak Anna. Hahahaha.”
“Ya
biaya perawatan kulitnya itu pak, makan setengah gajinya saya. Untung bisnis
saya ada beberapa. Kalau nggak, waduh, tekor juga deh. Perawatan wajahnya
banyak bener. Sampai-sampai meja rias segede ini, penuuuhhh isinya krim ini
itu. Mau tidur, pakai krim ini itu, sampai-sampai saya ngerasanya saya itu
nyium krim, bukan nyium istri!” tawa kembali meledak seusai penuturan mas Saka.
Dalam
pusaran pembicaraan itu, aku merasa asing. Lagi-lagi aku mendapati bahwa
kenyataan tak seperti yang aku inginkan. Masa iya harus berkorban sebanyak itu
demi mendapatkan istri yang cantik, terawat dan pintar mengatur rumah tangga?
Masa iya aku harus berkorban lagi agar Allina bisa seperti istri-istri mereka?
Memang
pengorbanan dan usahaku selama ini nggak cukup?
“Tapi mbak
Allina itu hebat loh, bro. Bayangin aja nih, pembantu gua dua; yang bersihin
rumah dan bantu-bantu jaga anak kalau-kalau bini gua mau ikut kursus nulis atau
kuliah S2. Sementara mbak Allina sendirian. Bini gua suka cerita kalau ibu-ibu
sekomplek itu salut sama mbak Allina. Masakannya kalau pas nyumbang di acara
RT/RW itu gilak enaknya, gilaaak, kalah dah masakan bini gua. Apalagi rumah lo
itu rapi bener, mas, pakaian lo aja nih, bandingin garis setrikaannya sama gua.
Garis baju lo udah bisa jadi penggarisan sakin lurusnya! Hahaha.” Kata mas
Rudolf bersemangat.
“Ya
istri itu cerminan kita, Mas.” Timpal mas Saka. “Bagaimana dirinya, itulah
hasil dari perjuangan, perbuatan dan pelayanan kita padanya. Semakin kita
menyayanginya, membahagiakan dia, dan melayani dia sebisa mungkin, saya rasa
istri mana saja bisa tampil cantik kalau dia berbahagia.”
“Dan bini
yang berbahagia, berarti laki dan anak ikut bahagia! Hahaha.”
“Saya
setuju. Kita itu mesti sadar bahwa kita nggak bisa berharap istri begini
begitu, hanya menuntut. Kita ini lelaki, jangan cengeng dan manja. Kita harus
sabar-sabar mengarahkan, mendidik. Beri contoh dulu, baru menyuruhnya mengikuti
tauladan kita. Harus sabar memaklumi keegoisan mereka, berkorban lebih dari
mereka.”
“Ya
namanya juga pemimpin ya pak? Ibarat
kereta, kita lelaki ini gerbong paling depan. Yang harus bekerja keras
mengontrol laju kereta, memastikan keselamatan penumpang, yang lelah sementara
yang lain beristirahat, yang paling pertama kena kalau ada yang ketabrak.
Banyak nggak enaknya. Hahaha.”
“Tapi
ada aja ye pak, yang mikir jadi pemimpin itu berarti bisa seenak jidat
nyuruh-nyuruh doang, nuntut doang. Dikira dia jadi penguasa. Dikira istri
budak, apa? Hahaha!”
Sejak
saat itu aku berhenti berkumpul bersama bapak-bapak di komplek itu. Aku
menganggap mereka sebagai lelaki yang tak tegas. Batasan peran lelaki dan
perempuan itu jelas, kok. Suami bekerja di luar rumah, istri bekerja di rumah.
Kalau ada yang mau membantu kerjaan istrinya ya itu hanya lelaki lemah yang
bodoh. Aku telah bekerja keras dan membawa pulang uang, maka sudah sepantasnya
aku mendapat pelayanan terbaik di rumah.
Dan
menurutku, Allina harus mampu memenuhi keinginanku itu. Toh semuanya juga untuk
kebaikan bersama.
* * *
Seiring
berjalannya waktu, aku menyadari perubahan tak menyenangkan pada Allina.
Kini ia
bukan lagi gadis yang selalu berbahagia seperti yang dulu kukenal. Entah sejak
kapan, di rumah, kini aku disambut dengan ekspresi penolakan, kekecewaan dan
tak berbahagia yang sama dengan yang kutemui di kantor. Ia semakin jarang
tertawa, tak lagi antusias mendengarkan keluh kesahku, dan banyak menangis.
Aku
begitu lelah, tak adakah satupun yang bisa membahagiakan dan menenangkanku?
Bukankah
aku telah bekerja keras? Seharusnya ia bersyukur dengan segala kemudahan dan
kecukupan yang aku hadiahkan dalam hidupnya. Ia tak harus bekerja keras, hanya
menumpang hidup denganku, kok. Dia bisa makan, bisa beli baju. Harusnya ia
bersikap lebih baik, bukannya menangis terus seperti ini.
Aku bahkan
tak lagi menemukan kebahagiaan saat melihat anak kami.
Aku
menyadari bahwa anak kami semakin kurus, dan kini ia tak lagi menangis sekeras dulu.
Diam-diam aku bersyukur karena penderitaanku atas jeritannya berakhir. Toh
Allina memiliki tanggung jawab penuh atas anak kami, maka sudah seharusnya ia
merawat dan membesarkannya dengan baik.
Hingga
akhirnya, pada suatu pagi yang hangat dan cerah, bayi kami berhenti bernafas…
((Bersambung ke Hingga Suatu Pagi, Ia Berhenti Hidup: Bag 3))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar