Pernikahan itu layaknya mobil. Dan sebuah
mobil, tidak mungkin di-setir oleh dua orang. Harus ada satu yang menjadi supir—pemimpin.
Namun bukan berarti orang yang duduk di sebelah supir, yaitu sang istri, hanya
bisa diam mematung. Istri boleh, dan harus, ikut memberi petunjuk dan membantu
suami dalam mengarungi pernikahan dan keluarga mereka agar sampai ke tujuan
dengan selamat.
sumber gambar disini |
Pernikahan itu seperti mobil yang tengah
berjalan.
Dan ga mungkin kan, kalau mobil itu di-setir
sama dua orang?
Yang ada kacau, tentu saja. Supir satu mau ke
kanan, supir dua mau terus ke depan. Bisa-bisa mobilnya kalau ga nabrak ya kaga
jalan.
Begitu juga dengan pernikahan. Memang,
mungkin ada orang yang bisa menyelaraskan ego-nya sehingga satu mobil itu tidak
bermasalah di-supiri dua orang. Karena mereka selaras, nyaris satu pikiran. Sama-sama
mau ke kanan, atau sama-sama mau berhenti. Tapi nggak banyak pasangan yang
mampu seperti itu. Oleh sebab itulah saya rasa, Allah menetapkan laki-laki
menjadi pemimpin. Harus ada satu pihak yang menjadi supir, pemimpin, dan Allah
memilih laki-laki.
Lalu kenapa laki-laki?
Gue rasa, ini kembali lagi pada keistimewaan
perempuan sebagai pihak yang mampu melahirkan manusia. Mengandung dan
melahirkan itu saja sudah menjadi beban yang cukup berat kan? Bayangkan saja
jika kemudian perempuan juga diperintahkan untuk mengemban tanggung jawab sebagai
pemimpin pernikahan. Harus mengambil keputusan, harus memberi arahan, dan harus
berpikir mengenai masa depan keluarga. Wuidih, bisa-bisa kalo nggak ibunya yang
tumbang, anaknya deh, yang ga selamat.
Oleh karena itu kemudian laki-laki yang harus
mengemban amanah ini. Menjadi pemimpin toh bukan hanya bicara tentang hak. Laki-laki
memang memperoleh kewenangan untuk dituruti dan dipatuhi (karena kalau
penumpang ga nurut sama supir ya bisa-bisa celaka, kan?), tapi juga mengemban
beban yang sangat berat tentunya.
Laki-laki harus memastikan bahwa ia—sang supir—mampu
membawa keluarganya dengan selamat, lewat arah yang benar, dan sampai ke
tujuan. Laki-lakilah yang membawa keluarganya dan dituntut pertanggungjawaban
jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dan tanggung jawab ini tidak
main-main lho.
Bayangkan saja, suami itu bertanggung jawab
mendidik istri menjadi sholehah. Lalu kalau istrinya liar dan penuh dosa? Bisa-bisa
suaminya ikut disiksa di neraka karena tidak bertanggungjawab atas istrinya. Sementara
jika suami yang penuh dosa, perempuan tidak akan dituntut tanggung jawab
apapun.
Inilah pola pikir yang harusnya kita cermati.
Bahwa menjadi pemimpin, dengan privilege yang seperti apapun, sesungguhnya
merupakan tugas yang sangat berat jika kita mengingat beratnya tanggungjawab
yang ada bersama tugas itu.
Itu sebabnya, mobil seharusnya memang
di-setir oleh satu orang, sama halnya dengan pernikahan dimana suami mengemban
tanggung jawab. Tapi bukan berarti istri—orang yang duduk di samping sang supir—hanya
boleh diam dan menuruti kehendak suaminya. Nggak.
Istri, layaknya orang yang duduk di samping
sang supir, boleh memberitahu si supir apakah ada mobil yang akan menyalip,
memberi tanda jika mobil mau berpindah jalur, dimana berhenti atau parkir, dan
seterusnya. Istrilah yang menemani sang supir. Mengambilkan makanan dan minuman
saat sang supir membutuhkan, memijat saat ia letih, menemani ngobrol, membaca
peta dan menunjukkan arah.
Seorang istri, boleh dan justru harus menjadi
sosok yang ikut ‘bersuara’ dalam pernikahan. Toh, pernikahan itu adalah
penyatuan dua orang. Dan berdosa-lah suami-suami yang membungkam istri mereka.
Sehingga, pola pikir dimana istri harus diam,
nurut, manut, kayak robot yang di-program itu gue rasa luar biasa salah. Suami-suami
yang mengasari istrinya saat istrinya mengemukakan pendapat, juga luar biasa bodoh.
Kenapa? Karena mereka sudah kehilangan partner paling efisien dalam pernikahan!
Bayangkan jika sang suami ‘mendidik’ dan
mempersilahkan istrinya menjadi partner-nya dalam memimpin pernikahan. Sang suami
tidak perlu bekerja sendiri, mengemban semuanya sendiri. Ia bisa berbagi dan menjadikan
perjalanan itu lebih efisien, kan?
Contoh paling nyata ya lihat saja Rasulullah
dan keluarganya. Rasul sangat menjunjung demokrasi. Bahkan saat istrinya ‘demo’
meminta kenaikan biaya kehidupan sehari-hari, dengan rendah hati Rasul
memaparkan bahwa ia memang hanya mampu memberi demikian, dan jika memang
istrinya tidak sanggup, maka Rasul akan menuruti untuk cerai. Endingnya? Ya istrinya
luluh, tidak ada yang minta cerai dan justru membantu untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga.
Bandingkan dengan suami yang menampar
istrinya saat istrinya berkeluh kesah mengenai susu anak yang belum dibeli,
atau rekening listrik yang belum dibayar? Udah dosa, istri sakit hati, dan nggak
ada jalan keluar yang tepat untuk masalah demikian.
Itulah sebabnya gue berpikir, menjadi feminis
bukan berarti harus menolak lembaga pernikahan. Namun menyadari betul bahwa kesetaraan gender bukan berarti harus plek-plek sama karena toh, perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan dan kewajiban yang berbeda. Setara disini adalah adil, tidak mendzalimi, dan mendasari setiap keputusan bukan karena keegoisan, namun lebih pada kasih sayang dan keputusan terbaik bagi semua orang.
Dan karena gue Muslimah, gue juga berpikir bahwa toh sesungguhnya mekanisme ini sudah diatur dalam agama. Jangan salah menyamakan apa yang memang
terkandung dalam Al-Quran dan Hadist, dengan commonsense sesat soal Islam yang
sayangnya, sudah beredar sejak lama. Karena gue yakin bahwa Allah tidak akan
pernah mendzalimi makhluknya. Namun dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk
menemukan makna luas dibalik aturan-aturan yang Allah berikan. Dimana salah
satunya, mengapa laki-laki yang menjadi pemimpin, dan apakah benar perempuan
harus di-dzalimi dalam pernikahan?
kamu pandai mengandaikan sesuatu hal, peluk sinih :))
BalasHapusmakasi deh buat 'pandai mengandaikan sesuatu'nya. tapi 'peluk'nya minta ditendang banget -___-
BalasHapus