20 Jun 2013

Pernikahan adalah Mobil Yang Sedang Berjalan

Pernikahan itu layaknya mobil. Dan sebuah mobil, tidak mungkin di-setir oleh dua orang. Harus ada satu yang menjadi supir—pemimpin. Namun bukan berarti orang yang duduk di sebelah supir, yaitu sang istri, hanya bisa diam mematung. Istri boleh, dan harus, ikut memberi petunjuk dan membantu suami dalam mengarungi pernikahan dan keluarga mereka agar sampai ke tujuan dengan selamat.

sumber gambar disini

Pernikahan itu seperti mobil yang tengah berjalan.

Dan ga mungkin kan, kalau mobil itu di-setir sama dua orang?

Yang ada kacau, tentu saja. Supir satu mau ke kanan, supir dua mau terus ke depan. Bisa-bisa mobilnya kalau ga nabrak ya kaga jalan.

Begitu juga dengan pernikahan. Memang, mungkin ada orang yang bisa menyelaraskan ego-nya sehingga satu mobil itu tidak bermasalah di-supiri dua orang. Karena mereka selaras, nyaris satu pikiran. Sama-sama mau ke kanan, atau sama-sama mau berhenti. Tapi nggak banyak pasangan yang mampu seperti itu. Oleh sebab itulah saya rasa, Allah menetapkan laki-laki menjadi pemimpin. Harus ada satu pihak yang menjadi supir, pemimpin, dan Allah memilih laki-laki.

Lalu kenapa laki-laki?


Gue rasa, ini kembali lagi pada keistimewaan perempuan sebagai pihak yang mampu melahirkan manusia. Mengandung dan melahirkan itu saja sudah menjadi beban yang cukup berat kan? Bayangkan saja jika kemudian perempuan juga diperintahkan untuk mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin pernikahan. Harus mengambil keputusan, harus memberi arahan, dan harus berpikir mengenai masa depan keluarga. Wuidih, bisa-bisa kalo nggak ibunya yang tumbang, anaknya deh, yang ga selamat.

Oleh karena itu kemudian laki-laki yang harus mengemban amanah ini. Menjadi pemimpin toh bukan hanya bicara tentang hak. Laki-laki memang memperoleh kewenangan untuk dituruti dan dipatuhi (karena kalau penumpang ga nurut sama supir ya bisa-bisa celaka, kan?), tapi juga mengemban beban yang sangat berat tentunya.

Laki-laki harus memastikan bahwa ia—sang supir—mampu membawa keluarganya dengan selamat, lewat arah yang benar, dan sampai ke tujuan. Laki-lakilah yang membawa keluarganya dan dituntut pertanggungjawaban jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dan tanggung jawab ini tidak main-main lho.

Bayangkan saja, suami itu bertanggung jawab mendidik istri menjadi sholehah. Lalu kalau istrinya liar dan penuh dosa? Bisa-bisa suaminya ikut disiksa di neraka karena tidak bertanggungjawab atas istrinya. Sementara jika suami yang penuh dosa, perempuan tidak akan dituntut tanggung jawab apapun.

Inilah pola pikir yang harusnya kita cermati. Bahwa menjadi pemimpin, dengan privilege yang seperti apapun, sesungguhnya merupakan tugas yang sangat berat jika kita mengingat beratnya tanggungjawab yang ada bersama tugas itu.

Itu sebabnya, mobil seharusnya memang di-setir oleh satu orang, sama halnya dengan pernikahan dimana suami mengemban tanggung jawab. Tapi bukan berarti istri—orang yang duduk di samping sang supir—hanya boleh diam dan menuruti kehendak suaminya. Nggak.

Istri, layaknya orang yang duduk di samping sang supir, boleh memberitahu si supir apakah ada mobil yang akan menyalip, memberi tanda jika mobil mau berpindah jalur, dimana berhenti atau parkir, dan seterusnya. Istrilah yang menemani sang supir. Mengambilkan makanan dan minuman saat sang supir membutuhkan, memijat saat ia letih, menemani ngobrol, membaca peta dan menunjukkan arah.

Seorang istri, boleh dan justru harus menjadi sosok yang ikut ‘bersuara’ dalam pernikahan. Toh, pernikahan itu adalah penyatuan dua orang. Dan berdosa-lah suami-suami yang membungkam istri mereka.

Sehingga, pola pikir dimana istri harus diam, nurut, manut, kayak robot yang di-program itu gue rasa luar biasa salah. Suami-suami yang mengasari istrinya saat istrinya mengemukakan pendapat, juga luar biasa bodoh. Kenapa? Karena mereka sudah kehilangan partner paling efisien dalam pernikahan!

Bayangkan jika sang suami ‘mendidik’ dan mempersilahkan istrinya menjadi partner-nya dalam memimpin pernikahan. Sang suami tidak perlu bekerja sendiri, mengemban semuanya sendiri. Ia bisa berbagi dan menjadikan perjalanan itu lebih efisien, kan?

Contoh paling nyata ya lihat saja Rasulullah dan keluarganya. Rasul sangat menjunjung demokrasi. Bahkan saat istrinya ‘demo’ meminta kenaikan biaya kehidupan sehari-hari, dengan rendah hati Rasul memaparkan bahwa ia memang hanya mampu memberi demikian, dan jika memang istrinya tidak sanggup, maka Rasul akan menuruti untuk cerai. Endingnya? Ya istrinya luluh, tidak ada yang minta cerai dan justru membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Bandingkan dengan suami yang menampar istrinya saat istrinya berkeluh kesah mengenai susu anak yang belum dibeli, atau rekening listrik yang belum dibayar? Udah dosa, istri sakit hati, dan nggak ada jalan keluar yang tepat untuk masalah demikian.

Itulah sebabnya gue berpikir, menjadi feminis bukan berarti harus menolak lembaga pernikahan. Namun menyadari betul bahwa kesetaraan gender bukan berarti harus plek-plek sama karena toh, perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan dan kewajiban yang berbeda. Setara disini adalah adil, tidak mendzalimi, dan mendasari setiap keputusan bukan karena keegoisan, namun lebih pada kasih sayang dan keputusan terbaik bagi semua orang.

Dan karena gue Muslimah, gue juga berpikir bahwa toh sesungguhnya mekanisme ini sudah diatur dalam agama. Jangan salah menyamakan apa yang memang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist, dengan commonsense sesat soal Islam yang sayangnya, sudah beredar sejak lama. Karena gue yakin bahwa Allah tidak akan pernah mendzalimi makhluknya. Namun dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk menemukan makna luas dibalik aturan-aturan yang Allah berikan. Dimana salah satunya, mengapa laki-laki yang menjadi pemimpin, dan apakah benar perempuan harus di-dzalimi dalam pernikahan?

Pemikiran ini adalah salah satu cara gue dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. gue sangat berharap adanya tanggapan dan kritik agar dapat lebih memperluas wawasan dan mengembangkan pola pikir ini J ditunggu komentarnya!

2 komentar:

  1. kamu pandai mengandaikan sesuatu hal, peluk sinih :))

    BalasHapus
  2. makasi deh buat 'pandai mengandaikan sesuatu'nya. tapi 'peluk'nya minta ditendang banget -___-

    BalasHapus

Daisypath Anniversary tickers