20 Feb 2011

Tak Lagi Mencintaimu

Rasanya sinar matamu semakin meredup setiap kali engkau membukakan pintu bagiku yang kepulangannya bisa dihitung dengan jari.

Tapi rutinitasmu selalu sama. Menyambutku dengan senyum dan mesra, mendudukkanku di sofa ruang keluarga kita, membasuh kakiku dengan handuk panas, lalu menyediakan segelas teh pahit yang kental. Kau akan duduk di sebelahku, memandangku seakan akulah makhluk paling berharga di dunia ini, lalu mengecup keningku dengan seluruh kerinduan yang kau pendam.

Melihatmu, terkadang aku berfikir, bukankah aku makhluk paling nista di dunia ini? Menyia-nyiakan istri sebaik dan sesempurna dirimu… Memberimu waktu dan perhatian yang nyaris tak akan pernah mencukupi.... sedangkan kau masihlah wanita yang butuh disayangi. Aku tahu aku kejam karena tak membiarkanmu pergi dari sisiku untuk mencapai kebahagiaan yang lain. Akulah monster yang memerangkap dan menghabiskan hidupmu dalam penantian. Akulah sumber penderitaanmu.


Sungguh ingin kunyatakan semua itu.
Tapi setiap kali kata-kata itu terlepas, aku bisa melihat kobar amarah dalam matamu, diantara tawa penuh tak percayamu. Kau akan menyipitkan mata besar yang lentik itu, dan aku bisa merasakan hawa dingin darimu menusuk hingga ke organ dalamku.

 “Bagaimana kau bisa membahagiakan aku sih, kalau kau sendiri tidak yakin, mas?” kau tidak akan marah dan membentak, namun dingin itu memancar di setiap lekuk tubuhmu.

Kau istri yang tak pernah menuntut dan mengomel, tapi mungkin aku lebih memilih kau begitu daripada diam dan memunggungiku. Rasanya seperti ditinggal mati oleh segala jenis suara tawa di dunia ini.

Entah bagaimana, seperti sebuah misteri yang selalu gagal kuungkap, kau selalu bisa memaafkanku dengan begitu mudah. Seperti selalunya, kau akan mencium pipiku dengan hangat dan menyajikan secangkir kopi hitam yang mengepul di sisi tempat tidur kita. Kau akan bertanya jenis sarapan apa yang kuinginkan dalam balutan lingerie seksi berlapis celemek. Kau selalu tahu bagaimana caranya membuatku bangun di pagi hari dan langsung berdebar lagi.

Itu sebabnya aku nyaris tak pernah bisa melepasmu dengan mudah setiap kali ‘telfon khusus’ itu berdering. Karena artinya, tugas datang dan aku harus meninggalkanmu, lagi. Karena artinya, akan ada malam-malam dingin dan panjang saat kau menanti di rumah, memandangi lekukan kasur tempatku biasa berbaring, mungkin berlinang air mata dan bertanya-tanya apakah aku masih bernafas atau tidak.

Percayalah, sakit yang bergejolak itu juga aku rasakan dalam intensitas yang mungkin tak dapat kau bayangkan.

Itu sebabnya kekasihku, bukanlah hal berat bagiku untuk memaafkan perselingkuhanmu.

Kita tahu apa arti kata ‘setia’ dan sejauh apa definisinya diantara kita berdua. Kamu tahu dalam sesuatu yang kusebut ‘kewajiban tugas’ aku telah meniduri banyak dari kaummu dan kau tetap percaya aku tak pernah melakukannya dengan hati. Kau selalu menyambutku dengan terbuka, kehilangan sinar dalam bola mata saat mendengar pengakuanku, namun selalu menjadi dewi seks yang sempurna seakan-akan sakit hatimu tak pernah ada.

Dan aku mengerti pribadi seperti apa dirimu, sayangku. Kamu adalah air dalam yang menikmati sensasi mengalir melawan hukum arus. Kamu melarutkan dan menerima semua unsur kealpaan manusia serta kekecewaanmu dan menjadikannya seakan netral. Kamu hidup karena kamu tahu di matamu dunia ini berbeda. Kamu bernafas karena masih menemukan ambisi dan adrenalin di darahmu.

Memilihku dengan alasan ‘hidup akan seru bersamamu’. Menyanggupi menyandang beban dengan alasan ‘aku tahu aku bisa untuk itu’. Kesedihan dan pengalaman yang menurutmu sebagai cambuk pelajaran. Kau seperti pengidap schizophrenia yang kecanduan adrenalin, sayang. Itu sebabnya saat aku tak bisa lagi menyuntikkannya dalam kehidupanmu, kau harus mencari donor lain agar tetap bisa bertahan hidup.

Aku memandangi namun berpura-pura tak mengetahui saat kau dengan frustasi memandangi alat tes kehamilan yang belum juga menunjukkan bukti perubahan. Aku mengetahui namun bersembunyi saat kau menangis dengan handphone yang tak jadi digunakan di genggaman. Keadaanku menjauhkanmu dari orang-orang terkasihmu. Sedikit jalur komunikasi dan nyawa kita terancam. Namun aku tahu kau sesungguhnya selalu butuh mendengar suara dan dukungan keluarga dan teman-temanmu yang tak bisa kau hubungi.

Aku tahu.

Aku sungguh mencintaimu hingga aku benar-benar tahu.

Itu sebabnya, aku bisa mengatakan ini sungguh melegakan sayangku. Aku memang mengatakan bahwa ini adalah saat yang kutunggu-tunggu sejak dulu. Bahwa kaulah yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku, untuk pergi dariku, dan memintaku pergi. Karena sungguh, walaupun aku bisa berbohong begitu sempurna untuk banyak hal, namun kau adalah kealpaan terindahku. Aku tak akan bisa meninggalkanmu atau memintamu pergi. Aku tak akan bisa. Aku akan hancur berkeping-keping.

Itu sebabnya, terima kasih.

Bukan karena aku tidak mencintaimu dan sungguh berharap kau akan pergi. Bukan karena aku bisa dengan mudah memilih wanita lain karena sungguh tak ada wanita sesempurna dirimu di dunia ini. Menggantikan tempatmu jauh lebih mustahil daripada apapun. Bisa saja, namun aku tak akan mampu.

Aku hanya ingin membahagiakanmu, sesederhana itu hingga bisa melepaskanmu dan setengah mati menahan diri untuk tidak menembak mati lelaki beruntung yang mendapatkanmu nanti.

Kekasihku…

Biarlah kata-kata terakhirmu aku anggap sebagai peneguh diri. Biarlah kata-kata terakhir itu aku percayai dan aku simpan hingga mati.

"Aku meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi mencintaimu, tapi karena hidup mulai terasa tak mudah bersamamu. Dan aku bersamanya bukan karena aku mencintainya melebihi dirimu, tapi karena hidup terasa lebih mudah bersamanya…"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daisypath Anniversary tickers