sumber gambar disini |
“sudah berapa lama kamu tidak pulang?”
Pertanyaan dalam chat dari teman lama itu menimbulkan
tawa. Tentu, seperti biasanya aku tetap mengetik kalimat ceria yang seakan
menggambarkan betapa ‘baik-baik saja’nya duniaku. Namun di hati, ada bagian
yang tertawa miris sembari menahan tangis.
Pulang? Pulang kemana? Aku tidak punya rumah.
Aku ini hanyalah perempuan muda di awal 20 tahunan yang tak tahu harus pulang
kemana jika sudah lelah. Jika ingin air matanya dihapus, bahkan untuk bersandar
sejenak.
Rumah yang ditempati ibuku saat inipun,
hanyalah rumah milik ayahku yang akan segera menjadi milik perempuan lain. Rumah
itu bukan milik ibuku, maka tak akan mampu kusebut ‘rumahku’ bukan begitu?
‘Bukan
sedih, Bu. Hanya bertanya-tanya kenapa harus begini jadinya. Kenapa kita tidak
memiliki keluarga yang bahagia seperti milik orang lain. Kenapa aku dan adik
tidak memiliki ayah yang mampu membuat kami senantiasa bangga? Kenapa dia harus
terus menyakiti kita?’ adalah kalimat yang kukeluhkan di corong handphone pada
ibu yang baru saja sembuh dari sakit.
Ya, sakit. Sakit hati yang menjalar hingga
mengganggu seluruh kerja tubuh. Ia bukan dilemahkan oleh bakteri, virus, atau
sel abnormal. Tetapi penderitaan hati saat melihat suaminya berpulang ke
pangkuan perempuan lain yang jauh lebih jelek dari dirinya.
‘Bukankah senang, kamu bisa memiliki dua ibu?’
suara lemahnya mencoba tersenyum.
‘Perempuan itu mungkin istri ayah. Tapi dia
tidak akan pernah jadi ibuku. Aku tak akan mau melihat atau bertemu dengannya. Jika
aku menikah, melahirkan, dan matipun, aku tak akan sudi ia datang.’ Balasku keras
kepala.
Aku tahu apa yang ingin ibu sampaikan. ‘jangan
mendendam’ ‘jangan marah’ ‘jangan membenci’. Aku tahu mengapa ia menyampaikan
semua itu. Akupun mengamini semua maksud baik dan pemikirannya. Hanya saja
logika dan hati bukan hanya terletak di tempat yang berbeda—namun kadang
ditakdirkan untuk tak bekerja secara sinergis.
‘Ya sudah. Doakan saja ibu dapat pekerjaan. Agar
saat kamu pulang ke sini, kamu bisa tidur di rumah kita. Di rumah milik ibu,
kamu, dan adikmu.’
‘Ya bu, amiiin..’ sahutku—mengikuti jejaknya
dengan coba menaikkan semangat dalam suara.
Aaah...
Rumah.
Kata yang membuatku merasa nelangsa sekaligus
malang.
Dulu kukira rumah itu adalah tempat dimana
orangtuaku tinggal. Namun setelah berpisah terlalu lama dengan mereka untuk
merantau jauh ke tanah pendidikan—Jawa—aku mencoba menguji kembali kata ‘rumah’
itu.
Di bangunan milik ayahku itu, milikku yang
tersisa hanyalah mereka yang tinggal kenangan. Barang-barang yang hanya
menyemburkan nostalgia namun tak lagi memiliki nilai guna bagiku. Dan kini,
bangunan itu—beserta ayahku—akan dibagi untuk perempuan lain. Dan jika ibuku
yang bersikeras tak mau dimadu itu keluar dari bangunan itu, masih bisakah aku
menyebutnya ‘rumah’?
Terkadang saat malam tiba aku merenungi
betapa benar kata-kata bahwa sesungguhnya manusia itu tak memiliki apapun di
dunia ini. Semua itu pinjaman sementara yang akan kembali ditarik pada saatnya.
Hanya saja, menyadari bahwa aku ini hanya
memiliki begitu sedikit membuatku merasa kesepian. Secara konteks aku masih
memiliki ayah—yang mungkin dalam hitungan hari entah akan berlabuh dimana. Mungkin
dia akan melupakanku—anak kesayangannya—saat ia sudah memiliki anak lain dengan
perempuan itu. Lalu bagaimana ibuku? Semua tahu umurnya tidak akan lama lagi.
Lalu apa yang sebenarnya kupunya?
Dulu, aku begitu ingin memiliki lelaki yang kucintai--seutuhnya.
Aku ingin
terus bersamanya, meyakinkan diri dengan begitu bodoh dan naifnya bahwa ‘ini
dia, ini dia satu-satunya yang bisa kumiliki!’. Aku begitu yakin bahwa aku
dapat memilikinya seutuhnya, semaunya--karena kutahu ia juga menginginkanku--dan itu membuatku akhirnya bisa merasa
lega karena berpikir telah mempunyai sesuatu yang tak terbatas, sesuatu yang
tak berkesudahan.
Tapi lagi dan lagi, ia menyadarkanku bahwa ia
bukan “hanya” milikku saja. Sebagian dari dirinya memang milikku. Namun bagian
besar lainnya terbagi atas impiannya, cita-citanya, orangtuanya, saudaranya,
serta sahabat-sahabatnya.
Ia memiliki hidupnya. Yang sebagian besar
tidak mengizinkan aku memasuki ranahnya. Ia bersedia membagi sebagian dari waktu
dan hidupnya untuk kuisi—namun aku terlalu rakus untuk memiliki semua bagian
yang ada.
Aku layaknya predator yang memangsa hidupnya.
Memangsa habis waktu yang harusnya ia habiskan dengan berbagi tawa pada orang
lain yang bukan aku.
Kadang, sekalipun di depan semuanya aku masih
berusaha terlihat ‘sangat baik-baik saja’—aku kerap melarikan diri pada bantal
hijau dalam kamar ini dan menjeritkan isak hebat kesepianku.
Aku hanya perempuan di awal 20 tahunan yang
tak memiliki apapun—bahkan tempat berpulang. Aku begitu kesepian hingga menjadi
monster yang memangsa orang lain. Aku begitu ingin memiliki sesuatu. Aku begitu
ingin bersama seseorang yang kutahu milikku—sepanjang waktu memungkinkan.
Tanpa sadar aku telah membuatnya tak nyaman,
frustasi, dan disudutkan.
Kata-kata yang mengalir dari bibirku tak
cukup jujur untuk mengungkapkan betapa aku hanya makhluk lemah yang mendamba sesuatu
untuk mengusir kemalanganku. Aku tak bisa cukup jujur bahwa aku saat ini tengah
berada dalam masa terapuh-ku.
Ingatkah dia, aku sebentar lagi akan
kehilangan rumah? Akan kehilangan ayah? Tersiksa karena memikirkan ibu dan adik
yang entah bagaimana melanjutkan hidup di kejauhan sana?
Aku sungguh hanya ingin bertemu dirinya dalam
waktu sesingkat apapun. Karena dalam hidup, dia adalah rumah yang bukan
bangunan. Dia adalah tempat aku bersandar, beristirahat, dan menyapu air mata
barang sebentar. Dia adalah rumahku. Dan betapapun harus berbagi tempat, dia
tetap rumahku.
Aku membutuhkannya.
Saat ini.
Karena sekarang aku hanya tak mampu mengusap
air mata yang menetes setiap hari. Tanpa melebihkan suatu faktapun, aku tengah
merasa hancur perlahan. Aku tak kuasa menerima bebannya. Tak bisa kuat menopang
untuk berjalan.
Karena saat ini aku begitu rapuh hingga ingin
rasanya hilang tertiup angin dan tak berbekas lagi.
Aku membutuhkanmu. Untuk jadi kekuatanku. Untuk
menerimaku. Untuk mengusap air mata dan berkata bahwa semua akan baik-baik
saja. Untuk meyakinkan diriku bahwa aku masih memiliki sesuatu.
Bukan, aku bukannya ingin menyiksamu. Bukannya ingin membuatmu tak nyaman dan tersudutkan. Bukannya ingin merebut semua milikmu dan menjadikannya milik kita.
Aku hanya ingin pulang.
Sejenak saja.
Padamu.
nice cerpen.keren loh cerpen2 buatanmu....apalagi yg kemarin,itu bener2 karangan sendiri yh?
BalasHapus@vye: oiyaa ^^ hehehe makasii.. iya bikinan sendiri, kalo pingin nyadur orang pasti gue cantumin sumber kok fufufu
BalasHapuskunjungan perdana :D
BalasHapussalam kenal ya ?
@izal: salam kenal juga :)
BalasHapusHmm... mirip nih. Cuma yang terjadi, sebaliknya. Yah... what doesn't kill me makes me stronger... :)
BalasHapusMbak suci jago dah bikin cerpennya :)
BalasHapustp kok tokohnya 'menderita' lg c mbak?
:)
@shelly: :') suka banget kata2nya kaak.. fufufu
BalasHapus@unni: aku ga jago mbaak, bikin yang 'senang' dan 'bahagia'. ternyata emosi yg kayak gtu ga akrab sama aku. hahaha. ak ga bisa mendeskripsikan 'kebahagiaan' dgan baik :') hikshiks
If you wanted for something,why don't u try to reach and get that?
BalasHapusNice story..but why u don't try to talk and do what you wanted to do or try to making ur dream or hopes come true?
BalasHapusyayaya, aku ngerti, justru mbk suci punya cara sendiri memaknai bahagia , bukan bahagia seperti di-kamus.
BalasHapus:)
keep writing mbk, ato g buat novell ...
diksinya bagus :) ceritanya jg ngalir :)
@dimas&bill?!+-: setujuu hahaha. :) tapi kalau merujuk pada cerita dan profil tokohnya. bukankah kalau 'aku' berusaha mewujudkan keinginannya untuk memiliki 'laki-lakinya' seutuhnya--hal itu terbukti menyusahkan laki-lakinya kan? hanya membuat dia merasa tidak nyaman, kan? lagipula 'aku'nya rapuh sih. kalau 'laki-laki' itu menolak kehadiran 'aku'--sekecil apapun, gue rasa dia ga akan tahan menghadapinya. kalau cerita ini disambung lagi, gue rasa 'aku' mungkin lagi kabur entah kemana--mencoba menenangkan diri barang sejenak :)
BalasHapusKnape dya haruss menenangkan diri dia?
BalasHapus@unni: hehehe mungkin sebenarnya 'bahagia' itu sama mbak. tapi aku belum ketemu saja bagaimana cara memaknainya :) makasi mbaaak.. doain aja yaa hehehe
BalasHapus@dimas: hahaha. kan di ceritanya 'aku'nya lagi banyak masalah,dan dia g mampu menanggung semuanya sendirian. saat dia ingin 'pulang' ke 'laki2nya' tapi ternyata itu ngebuat 'laki2'nya merasa ga nyaman, tentu dia semakin terpukul, kan? 'aku' tahu kenapa 'laki2'nya merasa ga nyaman. dia mengerti. tapi keadaan emosinya lagi ga stabil untuk memproses semuanya, menerima secara logika. makanya dia nenangin diri dulu, nurunin emosi itu,agar bisa kembali berpikir jernih. hahaha.
Wheeeew..trxta jaln fkirn loe panjng bgt yach..sgat brfkir kdpan gw rasa..
BalasHapusHihihi alhamdulillah ini fiksi tho wkwk,
BalasHapusdeg degan bacanya booo~
ini cerpen? aku kira kisah nyatamu yang diurai seperti cerpen. KEREN suci :D
BalasHapusmengharukan sekali..
BalasHapusaaaaaaaa emang jempolan kalau udah bikin cerpen, mengalir =)
BalasHapus