sumber gambar disini |
Kehidupan adalah drama yang skenarionya masih
merupakan misteri bagi pemain drama itu sendiri. Sejak awal hingga akhir,
sutradara drama itu mungkin akan mengeluarkan sedikit instruksi dan perintah
tak-terbantahkan. Namun sisanya, para pemain dalam drama itu harus
berimprovisasi sendiri. Menentukan langkah, ucapan, dan tindakan mereka sendiri—tanpa
tahu akan jadi seperti apa akhir cerita mereka nantinya, atau akan menjadi apa
dan bagaimana mereka nantinya.
Bagi Nora, akhir drama itu adalah kematian
karena kanker tyroid ganas yang sudah menggerogoti tubuhnya—di umur yang baru
menginjak 36 tahun. Ia seorang ibu rumah tangga biasa, dengan 1 suami dan 1
anak laki-laki.
Ia cantik, pintar, dan kerap menjadi tempat bergantung
orang-orang di dalam hidupnya. Kemampuannya mendengarkan dan mencerahkan,
menyayangi dan memerhatikan—menjadi daya ‘magnet’ bagi orang-orang untuk terus
menempel padanya.
Sayangnya, ia mungkin terlalu banyak
menghabiskan waktu untuk mendengarkan dan mencerahkan, menyayangi dan
memerhatikan orang lain—sementara hanya sedikit dari orang-orang itu yang
menyadari bahwa Nora juga manusia biasa. Mereka mengira Nora adalah sosok yang
sangat dewasa dan periang—sehingga ia pasti bisa menyelesaikan semua masalah
dan kesedihannya sendirian. Padahal, seperti halnya setiap orang, ia juga butuh
didengarkan dan dicerahkan, disayangi dan diperhatikan.
Sayangnya lagi, orang-orang di sekitar Nora
baru menyadari klise penting itu di akhir cerita drama dimana Nora bermain di
dalamnya.
Dan juga, mungkin sudah terlambat bagi
orang-orang itu untuk mendengarkan dan mencerahkan, menyayangi dan memerhatikan
Nora—karena dokter, bukannya Tuhan, telah menjatuhkan vonis yang menyatakan
bahwa umur Nora kini hanya tinggal menghitung hari.
Maka, penyesalan adalah kata yang kini
menjadi racun dalam nadi orang-orang di sekitar Nora.
“Kita selalu merepotkanmu dengan urusan kita.
Menghabiskan waktumu dengan mendengarkan keluhan kita. Tapi kau bahkan tak bisa
lagi merepotkan dan menghabiskan waktu kami. Andai Tuhan bermurah hati untuk
memberi ‘sedikit saja waktu lagi’.” Tangis sahabat-sahabat Nora.
“Aku akan mendengarkanmu, Mama. Aku akan
mematuhi semua perintahmu. Aku tak akan lagi membuatmu marah dan menangis
karena kebandelanku. Karena itu, sembuhlah Mama. Ayo kita pulang ke rumah!”
isak putra Nora, Liam—yang baru saja berumur 12 tahun.
“Andai saja aku tak terlalu banyak
menghabiskan waktu untuk bekerja. Seandainya saja aku di rumah bersamamu,
memerhatikan kesehatanmu lebih cermat, membawamu ke rumah sakit saat semua ini
masih bisa diobati.” Lirih Pram—suami, sahabat, serta kekasih Nora selama 19
tahun terakhir.
Mereka semua berdoa, menangis, dan
menyampaikan banyak hal pada Tuhan dan Nora sendiri. Namun tetap saja, semakin
hari semakin jelas bahwa vonis dokter makin mendekati kebenaran. Nora menjadi
semakin lemah, tak mampu lagi makan dan minum. Nafasnya tertatih, senyuman
riangnya berganti sakit.
Hingga suatu malam, dokter baik hati yang
menangani Nora menghampiri Pram dan Nora. Wajahnya menunduk sedih. Berat tentunya
baginya untuk menyampaikan sesuatu yang bukan kabar baik. Namun digebah oleh
kewajiban, dengan tertatih dokter itupun berbicara sangat perlahan.
“Ibu, Bapak, kami rasa Ibu Nora tak akan
bertahan sampai besok pagi. Mohon maaf sekali, Pak.”
Pram langsung terduduk, wajahnya kosong,
berusaha mencerna sekaligus menampik kata-kata itu. Sedangkan Nora hanya
menghembuskan nafas yang begitu ringan—seakan tengah mencoba kemampuannya untuk
bernafas sebelum tak bisa lagi. Perlahan, dokter itu berlalu dengan sesal—meninggalkan
pasangan yang tengah bergejolak menghadapi hari esok yang tak terbaca.
“Sayang?” panggil Nora lemah.
Pram tak menjawab, namun mendengarkan.
“Tolong jemput Liam kesini ya… Aku ingin kita
tidur bertiga malam ini..”
Pram masih tak mampu berkata, namun bangkit
dari duduknya, menghempaskan kenyataan yang bagaikan mimpi buruk, lalu
berangkat untuk menjemput putra mereka yang berada di rumah dengan adik perempuan Pram.
Sepeninggalan Pram, Nora perlahan bangkit dari
tidurnya, menghempaskan tubuh yang dulu penuh tenaga dengan susah payah ke
posisi duduk yang paling nyaman. Mata cokelatnya mencari-cari bintang yang
berkelip malas yang terpeta di balik jendela.
Perlahan, sebutir air mata meleleh dari
kelopak matanya.
Ia tak mengisak, berteriak, atau menyalahkan
Tuhan. Ia justru merasa bersyukur bahwa ia masih diberi waktu untuk mengucapkan
selamat tinggal yang pantas pada orang-orang yang ia sayangi. Ia tak bisa
merasa marah dan menolak—namun perlahan menerimanya dengan hati yang lapang dan
ikhlas.
Namun tetap, Nora tak mampu menghentikan
dirinya untuk berpikir ulang mengenai hidupnya. Apakah ia sudah cukup berarti
dalam hidup ini? Apakah sepeninggalannya ia masih akan diingat? Apakah suaminya
akan tetap mencintainya atau akan mencoba mencintai orang lain? Apakah putranya
bisa tumbuh dengan baik tanpa dirinya?
Apakah semuanya akan baik-baik saja?
Lamunan panjang Nora dipecah oleh deritan pintu kamar
Rumah Sakit yang terbuka, dan dari sana, putranya Liam muncul dengan mata
sembap, namun tetap menyunggingkan senyuman lemah. Di belakangnya, Pram
mengikuti dengan mata yang masih kosong.
“Papa beli makan malam dulu ya…” sayup-sayup
Lelaki yang dulunya memiliki suara paling lantang yang pernah Nora dengar itu,
kini berbisik dan berlalu setelah mengantarkan Liam.
“Sini, duduk di samping Mama.” Nora menyambut
putranya.
Liam memanjat naik, dan memeluk Nora dengan
erat. Ia tak menangis, namun Nora tahu putranya baru saja menangis hebat. Mungkin
Pram telah memberitahunya mengenai kenyataan yang harus ia hadapi.
Kejujuran dan
keterbukaan memang dua hal yang paling diusung Nora dan Pram dalam rumah
tangganya. Dan Nora bersyukur saat melihat bagaimana dua hal itu telah membantu
Liam menjadi anak yang lebih dewasa dan berpikiran terbuka.
“Aku akan merindukanmu, Mama. Rindu sekali.” Lirih
Liam.
Nora tersenyum, namun dibanjiri air mata. Tubuhnya
mengkhianati dirinya dengan bertindak jujur menghadapi kesedihan hebat. Nora
memeluk putranya erat, merasakan seluruh kehangatan, wangi tubuh yang nyaman,
serta keberadaan putranya sepuasnya.
“Jangan lupa sarapan setiap pagi, ya. Jangan tertukar
lagi mana tempat garam dan mana tempat gulanya. Matikan lampu kalau kamu tidur.
Jangan lupa ngasih Hammy makan setiap hari, rajin-rajin membersihkan
kandangnya. Kalau kamu kesulitan dengan PR matematikanya, langsung telfon papa.”
“Iya ma, aku tahu. Aku ingat semua, Ma. Mama
tenang saja.”
Liam begitu tenang. Menjawab semuanya dengan
keikhlasan yang begitu luas. Dan ketenangan itu membuat Nora malu karena tak
seteguh Liam dalam menghadapi ini semua. Karena itulah ia mengusap air matanya,
dan memeluk putranya semakin erat.
“Liam…?”
“Ya, ma?”
“Apa mama sudah membesarkanmu menjadi anak
yang baik?”
“Sudah, ma. Tentu sudah. Mama adalah mama
terbaik, yang menjadikanku anak terbaik di seluruh dunia!”
Liam bangun dan mengecup pipi Nora. Kedua ibu
dan anak itu kembali menangis, namun menyelipkan tawa diantara isaknya. Ya, tawa.
Karena mereka merasakan kehangatan dan kebahagiaan di tengah ketakutan dan
kesepian. Karena mereka berusaha mensyukuri yang telah didapat daripada
mengutuki yang akan hilang.
“Aku ngantuk, Ma. Tadi cape sekali di
sekolah.” Liam menyusup ke bawah selimut Nora. “Mama ingat lagu yang sering
mama nyanyikan saat aku masih kecil dulu?” Nora mengangguk. “Ayo, Ma, nyanyikan
aku sampai aku tidur!”
Nora mengangguk. Ia membungkus putranya dalam
selimat, mengempukkan bantal seperti selalunya, lalu mulai menyanyikan lagu
yang sudah ratusan kali ia dendangkan. “Go
to sleep now, close your eyes. Try to think of tomorrow. All of us wish you
good nite. So I’m switching off the light. One more hug, one more smile. Kiss you
once, kiss you twice. I’ll be here for a while. Try to sleep now and close your…
eyes…”
Liam tertidur bahkan sebelum lagu itu
selesai. Nora mengecup dahi putranya berkali-kali. Ah, ia akan merindukan wangi
ini. Akan merindukan sosok mungil ini. Dan penyesalan Nora barangkali adalah
bahwa ia tak akan mampu menyaksikan putranya tumbuh besar nanti. Namun syukurlah,
Liam bisa menghadapinya. Nora percaya bahwa Tuhan-lah yang akan menggantikan Nora
dalam membesarkan Liam. Karenanya, Nora tak menyesal. Nora tak lagi mampu
bersedih hati atas kepergiannya.
“Liam sudah tidur?” Pram datang tanpa suara. Ia
meletakkan bungkusan makanan di atas meja, mematikan lampu dan ikut menyusup ke
dalam selimut Nora, memeluk istrinya dengan erat, lalu mulai mengisak pelan. “Jangan
tinggalkan aku, Ra…”
“Oh, Pram…” Nora balik memeluk, merengkuh
lelaki yang kekar itu ke dalam dadanya. Pundak yang keras itu kini
terguncang-guncang, tak mampu lagi menanggung kesedihan. Lelaki yang biasanya
penuh harga diri itu kini tengah mengiba, merintih dan dihancurkan kesedihan.
“Aku tidak sanggup membesarkan Liam
sendirian, Nora. Aku tidak mampu tanpamu. Aku sungguh takut menjalani hidup
tanpamu. Bagaimana mungkin aku menggantikan 19 tahun arti dirimu? Aku tak akan
bisa menghadapi kematianmu…”
“Pram, tentu kamu bisa. Karena kamu adalah
orang yang sangat kuat dan paling bisa diandalkan. Itulah alasanku jatuh cinta
padamu, bukan?” Nora tersenyum dan mengusap rambut pendek Pram.
“Aku
kuat karena kamu ada, Nora… Bagaimana bisa aku teguh jika sendirian saja? Aku tak
mampu membayangkan bangun di pagi hari tanpa menciumi aroma rambutmu. Aku tak
akan bisa masuk ke dapur dan tak menemukan sosokmu disana. Aku tak akan bisa
berangkat kerja tanpa mencium dahimu, tak bisa bekerja dengan gebahan semangat
jika aku tahu tak akan menemukanmu saat aku pulang. Aku.. tak bisa.. aku tak
bisa tanpamu, Nora…” lirih Pram tak terkendali.
“Pram… ingatkah saat kamu dinas keluar kota?”
Nora berbisik pelan di telinga suaminya. “Bukankah kamu pergi dengan senyuman,
memendam rindu saat berjalan, namun meledakkan kebahagiaan saat kau pulang dan
kita kembali bersama? Bukankah kau mampu menghadapi perpisahan itu?”
“Tapi ini berbeda, Nora, aku tak akan lagi
bertemu denganmu!” desis Pram.
“Kamu pasti akan bertemu lagi denganku, Cinta…
Pasti. Perpisahan kita saat dinas luar kota itu adalah perpisahan yang singkat.
Kematian, Pram, hanyalah versi terlama dari perpisahan itu. Karena kita pasti
akan bertemu lagi. Aku hanya pergi sebentar, dan kau akan menyusulku kemudian. Kita
akan bertemu dalam kondisi yang paling membahagiakan, melepas rindu, bertukar
semua cerita dan kabar yang tak kita alami bersama. Aku akan menunggumu, Pram,
di sudut terindah taman surga. Karenanya, maukah kamu bersabar bersamaku hingga
saat itu tiba?”
Isakan Pram mereda, kemudian berhenti. Kata-kata Nora merembes ke dalam hatinya, sedikit demi sedikit mengobati nyeri, menumbuhkan harapan dan meluaskan pandangan kaca yang tadinya buram. Perlahan,
ia mencoba mengembalikan senyumannya yang tadinya hilang. Ia mengangkat
wajahnya dan mengecup ringan bibir Nora.
“Bahkan disaat kau akan pergi, justru kaulah
yang selalu menguatkan dan meneguhkanku. Aku mungkin tak tahu harus bagaimana mengucapkan terimakasih padamu karena sudah mau menjadi milikku.” Kata Pram sembari tersenyum tipis. “Ra,
tahukah kamu aku sangat mencintaimu?”
“Tentu sayang, kamu sudah mengatakan itu
setiap malam dan setiap pagi menjelang selama 19 tahun ini.” Nora mengecup pipi
Pram.
“Apakah kamu bahagia bersamaku, Sayang?”
“Pram, aku ini perempuan yang meninggal di
usia 36 tahun. Namun masih bisa mengatakan bahwa ia telah menjalani hidup yang
sungguh luar biasa indahnya. Dan 19 tahun bersamamu, adalah saat terindah dari
hidup yang luar biasa itu.”
Mereka saling berpandangan, kemudian saling
melempar senyuman. Nora berbalik untuk memeluk putranya, dan kemudian Pram
memeluk Nora beserta Liam dari belakang.
“Aku akan menunggumu. Karena itu sabarlah
sebentar. Hanya sebentar saja, Sayang. Kemudian kita akan kembali bersama. Ya?”
“Ya…”
* * *
Esok paginya, Nora ternyata belum ditakdirkan
untuk pergi.
Ia hanya jatuh koma, dan baru benar-benar
pergi 5 hari setelahnya.
Saat pemakamannya, suatu pemandangan yang
mengherankan tertebar disana. Tak ada satupun tamu atau keluarga yang
menghantar Nora ke peristirahatan terakhirnya yang menangis dan meraung hebat. Hanya
ada air mata yang mengalir pelan, namun tetap menyunggingkan senyuman terbaik di bibir
mereka.
Nora, perempuan yang hanya berada 36 tahun di
dunia itu, telah memberikan definisi baru mengenai kematian. Definisi yang
kemudian dipresepsikan sebagai sesuatu yang natural, wajar, menyedihkan, namun
tetap menyimpan harapan dan kebahagiaan—yaitu perpisahan sementara dan
pertemuan kembali yang abadi setelahnya.
inisih sedih kak menurut aku cerpennya (T____T)
BalasHapushikzz sedih.... suami istri yang bikin syirik...
BalasHapussy kok bs ngerasain sedihnya Nora, apalagi pas yg ber2 sama Liam .. :(
BalasHapuspesannya bagus, mbak..
kematian pasti akan dtg, suatu kewajaran yg menyedihkan :)
@adittya: tapi ga kelam kaaan? aargh ntar deh bikin yg seneng. pelan2 dulu hahaha
BalasHapus@kiky: lho kamu sedihnya karena sirik, ki? wkwkwk
Loh pacarannya udah dari umur 17 taun dong @_@
BalasHapusSedihhh sucii :(
Bs ngerasain seDiHnya nOra.. Aplg yg pas br2 sm Liam... :(
BalasHapusterharu dengan ceritanya,ternyata endingnya,,nora benar2 pergi:)
BalasHapusSaya mendadak galau mendengar kisah ini, eh membaca maksud saya (з´⌣`ε)
BalasHapus“Apa mama sudah membesarkanmu menjadi anak yang baik?”
BalasHapus“Sudah, ma. Tentu sudah. Mama adalah mama terbaik, yang menjadikanku anak terbaik di seluruh dunia!”
dialognya bikin ga kuat hati bacanya T__T
"Nora, perempuan yang hanya berada 36 tahun di dunia itu, telah memberikan definisi baru mengenai kematian. Definisi yang kemudian dipresepsikan sebagai sesuatu yang natural, wajar, menyedihkan, namun tetap menyimpan harapan dan kebahagiaan—yaitu perpisahan sementara dan pertemuan kembali yang abadi setelahnya."
orang seperti itu pastinya akan mengukir sejarah abadi di hati setiap orang yang menyayanginya, pengen banget bisa jadi sejarah buat orang lain :")
entahlah kalau vonis dokter sepertinya terdengar terlalu kejam
BalasHapusitu kan kemungkinan terburuk
kalau kataku sih hehe :)
dokter bukan Tuhan memang
oh ya kalau suci mau diambil saja tulisanku gakpapa yg penting pakai sumber
Kunjungan siang mbak
BalasHapusceritanya bagus
sedih bacanya
tapi bagaimanapun kita harus ikhlas menerima takdir dari Tuhan
Mungkin ada makna tersembunyi di baliknya
wew,
BalasHapusmemang semua orang akan meninggal, tapi bagaimana kita bisa berbuat sesuatu bagi orang lain sebelum kita "kembali" ya ..
gemeteran bacanya, gw suka kalimat kematian hanya versi yang lebih lama perpisahan..
BalasHapussosok ibu emang ngga ada duanya, saat diakhir hayatnya aja masih berpesan kepada anak-anaknya,,
seorang istri yang tegar.
" Ada hal yang ingin dilakukan untuk mereka yg sangat berharga, meski mungkin hanya setitik yang akan berarti "
Sesal memang selalu datang tertunda, semoga kita bisa jauh dari itu. dan kematian emang sangat dekat sedekat bayangan mu sendiri, tapi kematian bukanlah sesal dan perpisahan, ada pertemuan yang lebih abadi menanti..
terima kasih Nora =)
ga tau mau ngomong apa
BalasHapuscerpennya menyentuh sekali :')
wah, keren gan. terus berkarya. trus bikin buku :D
BalasHapusmerinding aku mbak bacanya...
BalasHapuspengen nangis :(
cz kata2nya keren bgt.....
oia salam kenal :)
kematian itu pasti datang mengahampiri kita entah itu cepat atau lambat,tapi yang terpenting bagaimana sebelum kita berpulang harusnya sudah berbuat yg terbaik didunia untuk diri kita sendiri,keluarga,lingkungan & negara
BalasHapuskeren penyampeannya...salm knal sob
BalasHapusnice story :)
BalasHapus