sumber gambar disini |
Aku terbangun dan kembali mendapatimu
tengah memandang keluar dengan mata yang kosong, lagi. Diam mematung, berdiri
disana tanpa jiwamu. Memandang namun tak melihat, karena kau tengah sibuk
menjelajahi imaji yang tak bertanah. Wajah sedihmu terangkat ke atas seperti
tengah mengendus mimpi yang hilang setelah kau bangun.
Aah, kau terlihat begitu malang sayang,
karena itulah aku membenci keadaanmu yang sekarang.
Perlahan aku mendekatimu, namun
kehadiranku bahkan tak sedikitpun mampu menganggu dunia dalam benakmu. Lagi dan
lagi aku kembali memeras otak untuk menjawab pertanyaan sederhana ‘Apa yang
bisa kulakukan untuk membuatmu lebih bahagia? Lebih hidup?’ namun sekeras
apapun aku mencoba—aku terus menerus gagal menemukan jawabannya.
“Dee, kamu belum makan kan? Kita sarapan
bersama yuk?” Kucoba memanggilmu kembali ke dunia.
Kau kembali—untungnya. Kau menoleh
padaku, dan tersenyum—inilah momen dimana aku tahu bahwa yah, kau ternyata
memang masih mencintaiku. Kau berjalan mendekatiku dan mengecup pipiku ringan—seakan
ingin meminta maaf karena sudah membuatku khawatir.
“Roko… Aku ingin keluar… Aku bosan
disini, aku ingin berjalan diluar, ingin makan diluar…” Ucapmu seperti
selalunya.
Aku berusaha menahan gejolak emosiku. Berkali-kali
kamu bertanya, melempar ide, dan berkali-kali pula aku harus menjawab, menolak.
Berkali-kali kamu mengajukan, dan berkali-kali pula aku harus menjelaskan
mengapa kita ‘tidak bisa’.
Kenyataannya adalah, kita berdua disini
untuk bersama. Tidak diluar. Karena kita tidak ditakdirkan untuk berada diluar
dengan siapapun yang berada disana. Kita saling memiliki, bukan? Dan bukankah
seharusnya kita sudah cukup puas dengan hal itu?
“Aku tidak bahagia disini, Roko… Kamu
tentu tahu itu…” ucapmu lagi.
Ya Dee, aku tahu bahwa kau tak bahagia. Tapi
tetap saja, aku tak pernah bisa mengerti.
Selama ini aku mengira aku sendirian saja
sudah cukup untuk membuatmu merasa lengkap dan bahagia—tapi ternyata tidak.
Karena selama ini aku benar-benar merasa
bahagia denganmu, merasa sangat tercukupi hanya dengan dirimu—aku mengira
kaupun merasa begitu, namun sayangnya tidak.
Kau ingin mencari sesuatu diluar sana,
karena aku yang tak mampu membuatmu merasa sempurna, bahkan bahagia. Kau
membutuhkan yang lain—mungkin orang lain, yang mampu menawarkan padamu apa yang
tak bisa kupenuhi untukmu.
“Aku hanya ingin bebas menentukan hidupku
sendiri. Mewujudkan keputusanku sendiri. Menjalani kebenaranku sendiri. Aku
muak dengan mereka, Ro. Kenapa mereka mengurung kita di penjara ini? Dan kenapa
kita harus menerima kenyataan bahwa hidup kita tergantung pada mereka?” wajahmu
memberengut benci.
“Itu karena mereka mencoba melindungi
kita, Dee. Mereka tahu betapa berbahayanya kehidupan diluar sana, itu sebabnya
mereka menjaga kita agar tetap aman didalam sini.” Aku mencoba membalas dengan
tenang seperti selalunya.
“Tapi itu kan kata mereka, Ro! Itu hanyalah
alasan mereka! Kita tidak pernah tahu kebenarannya karena kita bahkan tidak
diberi pilihan!” kamu mulai menaikkan nadamu, berteriak padaku yang bahkan
bukan permasalahanmu.
“Pilihan?” aku tak lagi mampu
menyembunyikan buncahan emosiku. “Sekalipun kita punya pilihan, jika kita tidak
mampu menjalani pilihan yang kita ambil, bukankah itu semua hanya kesia-siaan?”
“Lebih baik hidupku sia-sia daripada
harus menghabiskan hidupku dalam neraka!”
Ya, itu sudah. Kau menjerit, kemudian
akan berlalu dan berakhir dengan menyembunyikan dirimu dengan sia-sia dari
diriku.
Seharusnya aku menanggapinya dengan dingin
seperti biasa, Dee. Namun ini sudah terlalu lama. Kau benar, kau tak bisa hidup
seperti ini terus. Tapi bagaimana Dee? Bagaimana aku harus bersikap ketika
sesuatu yang kupanggil ‘rumah’ kau sebut sebagai ‘penjara’?
Bagaimana aku bisa membahagiakanmu, Dee,
jika pilihan yang manapun terasa sulit untuk kita berdua?
* * *
“Dee, bangunlah.”
Kegelapan tengah menyelimuti malam. Kali ini
bulan dan bintang enggan menyapa, sehingga kegelapan merasa dirinya berada
diatas angin dan berkuasa. Yah, aku tak bisa mengharap kesempurnaan yang lebih
daripada ini, bukan?
Aku membangunkanmu dari mimpi indahmu,
lalu menegakkanmu agar lebih cepat tersadar. Dalam belitan rasa kantukmu, kau
menolak untuk terbangun.
“Dee, ayolah, bangun! Waktu kita sedikit!”
“Ada apa sih, Ro? Aku masih ngantuk…”
kesalmu.
“Sudahlah, bangun dulu!” aku berhasil
menarikmu bangun, dan dengan setengah hati, kau mengikutiku.
Aku membawamu, ah, menarikmu lebih
tepatnya, ke bagian dinding tinggi yang membatasi dunia ‘kita’ dan dunia ‘lainnya’.
Aku menunjukkan padamu lubang kecil di atas kita. Aku memanggilnya celah, tapi
mungkin bagimu yang kini sudah terbangun sepenuhnya dan menatap lubang yang
cukup tinggi itu tanpa berkedip—itu adalah pintu kebebasanmu.
“Naiklah keatasku. Lubang itu terlalu
tinggi untuk digapai.” Kataku.
“Roko? Tapi.. ini..” kau memandangku dan
lubang itu berkali-kali, seakan-akan mempertimbangkan pilihanmu antara
kebebasan dan aku. Atau justru mencurigaiku karena pada akhirnya menuruti
keinginanmu.
“Sudahlah, jangan banyak bicara lagi! Waktu
kita sedikit dan aku tak ingin semua ini jadi sia-sia!” untuk pertama kalinya,
aku membentakmu.
Kau terlihat terpukul. Setelah selalunya
kuperlakukan dengan lembut, kini aku berlaku kasar padamu. Aku menyaksikanmu
tak lagi berbicara, namun menurutiku untuk naik ke atasku, dan memanjat keluar
dengan susah payah.
“Roko! Ini tinggi sekali!” katamu
ketakutan setelah sesampainya disana.
“Lompatlah. Aku sudah menyusupkan
bantalan rumput yang empuk di bawahnya!” ketusku.
Aku mendengarmu melompat dan mendarat
dengan selamat. Jantungku berkedut menyakitkan saat kudengar kau mengaduh. mungkinkah
rencanaku membebaskanmu pada akhirnya justru menjadi bala bagimu?
“Roko?”
Ah, syukurlah Tuhan, kau selamat dan
baik-baik saja.
“Ayo kemari. Disini indah sekali, kau tak
akan percaya ini. Ayo cepat!” kau tertawa bahagia. Kau tersenyum, pastinya. Sesuatu
yang sudah terlalu lama tak kulihat di wajahmu.
“Pergilah. Aku tak akan kesana.” Kataku.
Kau terdiam. Sejenak hanya
serangga-serangga itu yang menginterupsi kita. Lalu kau mulai mencoba
berbicara, namun yang keluar hanyalah gumam keterkejutan.
“Kau sudah mendapatkan yang kau mau
bukan? Kau sudah bebas. Kini kau bisa menentukan segalanya sendiri. Dan sekarang
aku tidak perlu lagi mendengar rengekanmu mengenai hal-hal membosankan seperti
itu. Kalau kau ingin pergi, pergilah! Aku tak akan perduli, dan tak mau ambil
perduli. Kau sungguh membosankan, Dee, mengoceh tentang hal-hal penuh imajinasi
seperti itu. Ini rumahku, dan aku akan tinggal. Jadi, pergilah sekarang, dan
jangan kembali!”
Aku berorasi, namun kau masih dikuasai
keheninganmu sendiri. Kutahu kau tengah memproses semuanya menjadi lebih masuk
akal ditengah keterkejutan dan kesedihanmu.
“Tapi Roko… aku tak mau pergi tanpamu…”
kudengar kau mulai merintih.
“Aku tak ingin pergi dengamu, Dee. Aku sudah
tak mencintaimu. Aku tak lagi perduli padamu.” Desisku.
“Tapi… Tapi…”
“PERGI KAU, perempuan menyebalkan! Aku membencimu!
Kau sudah kubebaskan dan kau tetap saja mencereweti aku! Aku muak dengan segala
keluhanmu. Jadi pergilah, jangan kembali, dan tinggalkan aku dengan damai!”
Aku mendengarmu menangis. Keras. Pedih. Lalu
aku mendengar suara langkahmu yang menjauh dengan cepat. Sementara aku sendiri
mematung disini, hancur.
Ya, Dee. Hancur.
Aku sudah memperhitungkan semuanya, Dee…
Lubang itu tak akan cukup untuk kita
berdua. Dan dengan tenagamu, kau tak akan bisa membantuku naik keatas.
Pada akhirnya hanya satu yang bisa
keluar, dan itu adalah kamu. Dan jika
kamu meninggalkanku disini, kakimu akan terpasung pada tempat ini. Kau akan
berlari sembari menoleh ke belakang, ke arahku, hingga pemandangan yang sejak
dari dulu kau inginkan yang telah terbentang di hadapanmu pun tak bisa kau
nikmati seutuhnya lagi.
Jadi aku membuatmu membenciku. Agar kau
tak perlu lagi menoleh ke belakang. Agar kau bisa terobati oleh kehidupan baru
yang sudah kau nanti-nanti. Tanpa perlu memikirkanku, tanpa perlu kembali
padaku.
Ah… tapi, Dee…
Aku akan mati tanpamu. Pasti. Aku berkata
tak lagi mencintaimu, tak lagi perduli padamu. Itu semua hanya ketidakjujuran
yang memakanku hidup-hidup. Karena aku selalu mencintaimu.
Selalu memikirkanmu.
Ah, Dee… Aku tak bisa mampu bertahan
tanpamu, Dee… Jika semua orang memiliki alasan hidupnya masing-masing, maka
alasanku adalah kamu, Dee…
Membiarkanmu pergi untuk bahagia tanpaku
selalu merupakan pilihan, sama halnya dengan menahanmu untuk tinggal bersamaku
dan menyaksikanmu tak bahagia.
Tapi dua-duanya membawa kematian bagiku,
Dee. Karena harapanku bahwa ‘mungkin suatu hari kamu akan menyadari sempurnanya
hidup kita, dan tak lagi berharap akan menemukan yang lain’ telah berkali-kali
terbukti hampa.
Aku tak mampu menyaksikanmu ditelan hidup-hidup
oleh harapanmu sendiri. Tapi aku juga tak mampu bertahan setelah melepasmu
pergi.
Karena itu Dee… Maaf… Aku sungguh minta
maaf…
* * *
“Aduuuuuh, ibuuuuu!”
Jeritan seorang bocah berumur 9 tahun
bernama Mia membelah pagi hari di Jakarta.
“Kenapa, Mi?” hanya beberapa detik
kemudian, sang ibu datang tergopoh-gopoh dengan celemek yang kotor oleh bumbu
dapur.
“Iniiii, Deedee hilaaang!” rengek Mia
sembari menangis. “Tadi aku mau kasih makan tapi cuma ada si Roko! Dia pasti
lolos lewat lubang ini nih, bu!” si bocah menunjuk lubang kecil di pagar halaman
rumahnya.
“Terus si Rokonya mana?” si ibu bertanya.
“Ituuu di kandangnya!” Mia menunjuk
kandang terbuka yang diisi oleh seekor kelinci bewarna abu-abu. “Ibu, aku pergi
sebentar ya, siapa tahu Deedee masih di sekitar sini.”
“Eh, Mi. sebentar deh. Ini Roko kok diam
saja?” perlahan, dengan lembut, sang ibu mengambil kelinci abu-abu yang
tergolek tanpa daya itu, lalu membalikkannya. “Yaaah, Rokonya mati, Mi!”
Dan tangisan si bocahpun kini ikut
membelah pagi.
Seperti lentingan musik tak bernada yang mengiringi kepergian si
kelinci yang sudah kaku, bekerja sama dengan tangisan udara yang mengkristal di
atas dedaunan dan rumput. Mencoba menggapai jiwa-jiwa yang sudah dibebaskan.
Dan kini, sudah berada di tanah kebebasannya masing-masing.
keren banget ceritanya Ciiii.... di tengah cerita aku udah curiga.. Roko dan Dedee pasti hewan piaraan... ternyata benar dugaanku... horray!!!
BalasHapustapi alur ceritanya kereeeen !
@alaika: yaaah kok mbak alaika tau siiih ga boleeeh hahahaha. makasi ya mbaak ^^ aku lagi galau di tengah ujian nih, makanya iseng bikin beginian. hihihi
BalasHapusJiaaaa tiwas seriusss, eh ternyata kelinci :p
BalasHapusEh tapi keren lho :-bd
BalasHapusMantapp nehhh
BalasHapusMbak, sy jg udah curiga kalo mereka itu hewan piaraan, cuma ta' kirain hamster ... hehehee
BalasHapusga kebayang gimana ya bahasa mereka kalo lagi galau begini... Baguss mbak !
kesian si Roko, mati...
Judulnya ternyata tidak, maksudnya mbak??
tdk bisa hidup tanpa Dee?? :)
hahaha...kelinci ternyata!
BalasHapus@Tebak Ini Siapa: yeeeey mbak una kejebaak hihihi
BalasHapus@nicky: makasi ^^
@unni: yaaah kok tauuu ga boleeeh hahaha. iya ya -___- baru nyadar ternyata aku lagi nyeritain kelinci galau.
ternyata tidaknya itu ada di bagian kalimat "Selama ini aku mengira aku sendirian saja sudah cukup untuk membuatmu merasa lengkap dan bahagia—tapi ternyata tidak." mbaak ^^
@Vye: yeeey ketipuuu hihihiihi
yaahhhhh kirain itu beneran, suka g liat tag nya deh.. fiction. trus hewan lagi,, hhha
BalasHapustp keren2 kok... dikuimpulin trus bikin buku kumpulan cerpen,, :p
pengemasannya menarik, bagian awal aku kira ini cerita biasa tapi setelah setengah terakhir baru tau alurnya nyeritain apa he...he... good job, usaha buat ngebikin cerita yang nggak mudah ketebak udah berhasil ^^
BalasHapusawal bacanya kirain cerita sepasang muda-mudi biasa baru ketebak pas udah baca setengahnya. good job, udah berhasil menyuguhkan alur cerita yang nggak mudah ketebak ^^
BalasHapusaaaaaaa....aku dah serius baca, pas endingnya ternyata Roko sm Dee kelinci,,
BalasHapusaq pura2 mati aja deh klo gini *JHAHAHAHAHA...
tapi ceritanya keren !!! ^__^
@tito: kok bisa dikira beneraaan? hahahaha
BalasHapus@anggi: :( yah yah ketebak. hikshiks. makasiii ^^
@nur: hahaha km pura2 mati kok bilang2 hihihi. makasiii yaa ^^
Itu arti pengorbanan yak.. awalnya gw kira burung, tapi sirna pas denger kata melompat..
BalasHapusbagus sempet bingung di awal,
BalasHapusalurnya gak bisa ketebak :) kerenn
tuh dedee akhirnya bebas ya...
BalasHapusGua pikir cerita soal pasangan yg putus...ternyata soal peliharaan...hahaha
BalasHapusaku baca dulu ya,soalnya dr td dah 2kali baca belum dapat intinya nih > mklum kagak konsen
BalasHapusKeren kak ceritanya :)
BalasHapuskunjungan gan .,.
BalasHapusbagi" motivasi
Saat kamu menemui batu sandungan janganlah kamu ptus asa,
karena semua itu pasti akan ada solusinya.,.
si tunggu kunjungan baliknya gan.,
wah kasian kelincinya meninggal. btw, ini bisa menang lho kalo ikut lomba
BalasHapusmantaap bngt ceritanyaaa
BalasHapuskejutaaaaaaan ya ci endingnya :D
BalasHapusyahooottt..
BalasHapusMungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal baik..:)
salam gan ...
BalasHapusmenghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !
Plotnya aku benar2 suka!
BalasHapusKereennnn... :)
BalasHapus