sumber gambar disini |
Sebuah teriakan melengking milik perempuan
mengoyak pagi hening di Desa Triharjo, menggetarkan membrane timpani[1]
semua orang yang ada dalam radius 700 meter.
Aku mendengus ke bantalku, mencoba kembali
merajut mimpi yang sepertinya berkisah samar-samar mengenai Colt M1911 yang
perizinannya gagal kudapatkan minggu lalu. Bahagianya, di dalam mimpi itu, aku
berhasil membawa pulang baby yang
peluru caliber 45-nya selalu mempesona itu.
“Mas James!” suara melengking dalam volume
yang lebih rendah kembali mengacaukan momen-momen bahagiaku dengan si Colt. “Mas!”
“Hmmph!” dengusku, tak rela bangun.
“Piye iki thooo?” suara itu mulai tak sabar. Kini
ada ekstra bonus guncangan-guncangan di badan. “Mas James, ayo dong bangun,
Mas!”
Dengan jelas-jelas tidak rela, kesal karena
harus bangun pagi di saat liburan, dan mengingat kenyataan untuk beberapa hari
ke depan aku akan sangat sibuk menyiapkan lamaran dengan perempuan mungil
cerewet di sampingku ini—akhirnya aku membuka mata.
“Kenapa, Asih?” gumamku, mencoba menemukan
sosok calon-istriku, Sunarsih.
“Ini, Mas, tadi Mbak Wartilah nemuin mayat, Mas,
di Goa Panjul!” sahutnya cepat.
“Hmm..” sebagian besar dari diriku sepertinya masih ingin membelai pisir si
Colt.
“Oalah maaas!” Asih meraih
wajahku, menggeserkannya agar tepat menghadap dia. “Mas tahu kan kalau Goa itu
sumber mata pencaharian warga? Lah kalau wisatawan tahu ada orang yang dibunuh disana, piye? Bisa-bisa
ndak makan nanti, Mas!”
“Ayolah, Mas… Mas James kan Polisi, peneliti!
Mas biasa tho, nyelidikin mayat? Mbok ya coba lihat sebentar, Mas, jadi
penduduk sini bisa menjelaskan ke wisatawan kalau ada yang nanya!” Asih masih
berusaha membujuk.
Aku bangun, namun tetap merasa tak rela. “Itu
kan tugasnya polisi di sini, sayangku.” Kataku sembari mengecup dahinya.
“Kami ndak percaya sama Polisi sini!”
geramnya.
Cerita Asih mengenai seorang gadis yang
menjadi korban perkosaan di desa ini kemudian melintas di ingatanku. Gadis itu
diperkosa pemuda desa tetangga, lalu melapor pada Polisi. Namun rasa keadilan
masyarakat dinodai saat kemudian Polisi memihak pemuda desa yang ternyata
kaya-raya itu. Perang antar desa sempat pecah, dan sejak saat itu, masyarakat
tak pernah lagi mempercayai Polisi-nya.
Aku menghela nafas. Panjang. Lalu membalas
tatapan bola mata hitam-pekat milik Asih.
“Okay
baby, your wish is my command.” Bisikku sembari mencium rambut hitamnya.
“Eeh? Itu apa tho artinya, Mas?”
* * *
“Ini bukannya calon mantu-nya Pak Teja?”
Kepala Desa Triharjo menyambutku.
“Iya, Pak. Ini Mas James, dia itu Polisi yang
biasa megang-megang mayat, Pak!” Asih dengan polosnya mencoba menjelaskan.
“Hah?? Doyan megang mayat!?” Kepala Desa
melambungkan alisnya, penuh keterkejutan.
“Aduh, bukan, Pak. Saya ini bekerja di
Bareskrim Polda Metro Jaya. Petugas forensiknya, Pak.” Setelah ini, akan
kujitak dahi perempuan mungil itu karena menimbulkan kesalahpaham ini.
“Oooh.” Kepala Desa itu jelas-jelas terlihat
tak mengerti.
“Warga sini ada yang menghilang, Pak?”
tanyaku, mencoba mencari peruntungan mengidentifikasi si mayat. Tidak seperti
di kota yang serba acuh, keterikatan sosial di desa jelas masih kuat. Untuk itulah,
seharusnya lebih gampang mencari orang hilang.
“Ndak, Mas. Tadi pagi sudah ditanya-tanya
keseluruh kepala keluarga.” Jawab si Kepala Desa.
Hufh. Hilang sudah keberuntunganku.
“Baik kalau begitu. Jadi dimana mayatnya,
Pak?” tanyaku.
“Itu, Mas, mayatnya disana. Sudah busuk
sekali, ndak jelas lagi bentuknya.”
Oke, mayat itu sudah tak jelas bentuknya dan
aku jelas-jelas tak membawa peralatan apapun ke desa ini. Tujuanku kemari kan
ingin melamar gadis mungil-manis yang telah kupacari selama 2 tahun terakhir
ini. Dan sekalipun membawa peralatan, sudah jelas mayat yang kondisinya seburuk
ini harus dibawa ke labotorium untuk analisis sidik jari (kalau benar-benar
beruntung) atau bahkan analisis DNA.
Humph. Really. Lucky me.
Toh akhirnya, dengan sarung tangan karet
tebal dan bukannya sarung tangan lateks, serta lilitan kain yang sudah diberi
cipratan ekstrak kenanga dan daun mint oleh Asih sebagai ganti masker, aku melangkah menuju tempat
si mayat.
Kondisi mayat itu memang sangat parah, busuk
dan sudah dipenuhi belatung. Aku langsung memadamkan harapanku untuk sekedar
mencari lividitas[2]
atau bahkan ecchymosis[3]
di tubuhnya. Tengkorak kepalanya yang hancur menunjukkan bahwa mayat ini memang
korban pembunuhan. Untungnya, baju yang digunakannya masih cukup jelas untuk
menunjukkan bahwa mayat itu laki-laki.
Setelah mengintrogasi Mbak Wartilah, orang
yang menemukannya, aku mengetahui bahwa mayat laki-laki itu disembunyikan cukup
dalam ke bagian sudut Gua yang jarang dilewati wisatawan. Wartilah sendiri
menemukannya karena kebetulan salah satu barang dagangannya dihanyutkan sampai ke tempat
itu. Tidak terdapat jejak darah dan sebagainya di luar Gua, yang membuatku
menyimpulkan bahwa siapapun mayat itu, ia masuk ke Gua ini hidup-hidup dan
dibunuh di dalamnya.
Kejahatan ini cukup terorganisir, yang
berarti pembunuhnya sudah merencanakan semuanya. Maka, sudah saatnya
memanfaatkan keterikatan sosial di Desa ini untuk menemukan kasak-kusuk soal
motif pembunuhan.
“Susah ya, Mas?” Asih mendekatiku, menawarkan
handuk kering dan makanan yang dibungkus dalam daun pisang.
“Peralatannya yang nggak memadai, sayang.” Jawabku
sembari tersenyum.
“Terus piye, Mas? Ndak bisa diketahui, gitu,
Mas?” bisik Asih sembari sibuk mengusiri lalat-lalat yang memenuhi tempat ini.
“Insyaallah.” Jawabku sembari terkekeh. Aku menunjuk
salah satu lalat yang hinggap di baju Asih. “Kita minta tolong ke dia, tuh.”
“Hah?? Ke lalat, Mas!?”
* * *
Aku memang bukan ahli Entomologi Forensik.
Bercengkrama dengan serangga bukan sesuatu
yang menggiurkan bagiku. Ilmu ini memang memungkinkan para entomology menentukan
waktu meninggalnya seseorang dengan menarik mundur urutan waktu munculnya
serangga pada mayat. Namun setidaknya aku sedikit mengetahui siklus hidup lalat
Bangkai atau lalat Blowfish dari rekanku dan buku-buku.
Aku segera mengambil beberapa belatung lalat
Bangkai dan pupanya. Lalat Bangkai memiliki siklus hidup yang mudah ditebak,
dan mereka memiliki penciuman yang luar biasa hingga mampu melacak tubuh yang
baru menjadi mayat dalam beberapa menit.
Betina-nya akan segera meletakkan telur di
luka atau bagian tubuh yang terbuka, dan telurnya akan menetas kurang dari 24
jam. Belatung lalat ini akan terus makan dalam enam hari, sebelum merayap
menjauh dari mayat dan menjadi pupa. Nah, pupa-pupa ini kemudian membutuhkan
waktu enam hari lagi sebelum menjadi lalat dewasa dan mengulangi segala
siklusnya.
Asih kemudian membantuku untuk meneliti
lalat-lalat dan pupanya itu.
Aku kembali harus jatuh cinta menyaksikan
gadis mungilku itu berjuang untuk melawan rasa jijiknya pada mayat dan
belatung. Dia memang kecil, apalagi dibandingkan denganku yang memiliki tinggi
183 cm. namun semangat dan tekadnya jauh lebih besar dari ukuran visualnya.
“Jadi gimana, Mas?” Tanya Asih setelah
bekerja sekian lama. Wajahnya pucat.
“Sudah, kok. Sekarang mungkin kita bisa
mengumpulkan warga.”
* * *
“Ehm… Assalammualaikum, selamat siang. Perkenalkan
saya James, calon suami Sunarsih anak Pak Teja. Saya kebetulan bekerja
sebagai.. eh… orang yang meneliti soal mayat. Jadi, sekarang saya akan
menjelaskan kepada saudara sekalian mengenai mayat yang ditemukan Mbak Wartilah di Gua
Panjul.”
Aku sebenarnya tidak berharap banyak bahwa
aku bisa menunjuk bahkan membuktikan pelaku pembunuhan ini. Tapi setidaknya, yang
diminta Asih padaku, kan, membeberkan penyebab dan bagaimana mayat itu dibunuh.
Setelah penjelasan rumit mengenai siklus lalat
yang membuat banyak dahi berkerut, aku menjelaskan bahwa berdasarkan
pengamatanku, mayat itu meninggal tidak lebih dari 7-8 hari yang lalu. Aku juga menjelaskan
bahwa mayat itu dipukuli di bagian belakang kepalanya, dan pembunuhan ini
terencana.
Aku kesulitan menjelaskan pada warga bahwa
ilmu dan peralatanku saat ini tidak memungkinkanku untuk menunjuk pelakunya. Untunglah
Kepala Desa kemudian membantuku menenangkan warga.
“Yang penting Mas James sudah berusaha.” Kata
si Kepala Desa setelah sebagian besar warga mulai beranjak pulang. aku jadi
sedikit kesal. Ini kan bukan soal usaha, tapi peralatan yang tidak memadai.
Aku tengah bersiap pulang bersama Asih ketika
Kepala Desa kembali memanggil kami. Di belakangnya, ada beberapa pemuda desa
dengan dahi-dahi yang berkerut. Semuanya memandangku, seperti hendak mengatakan
sesuatu.
Ternyata, ada tiga orang pemuda yang
kebetulan melihat Sukamto, pemuda desa tetangga yang dulu sempat terlibat kasus
perkosaan dengan Sri, gadis desa ini, masuk ke Goa Panjul sekitar 7 hari yang
lalu. Saat itu dini hari, dan warga disini memiliki kepercayaan mistis yang
melarang mereka memasuki Goa Panjul selepas matahari terbenam. Karena itulah
tiga pemuda itu sempat heran saat melihat Sukamto masuk ke Goa itu, namun tidak
lagi membahas kejadian itu karena topik mengenai Sukamto sangat sensitif di
Desa Triharjo.
Ternyata, Sukamto tidak pernah kembali ke
Desanya. Desa Triharjo dan desa asal Sukamto sudah tidak lagi menjalin hubungan
sejak kericuhan setahun yang lalu itu. Karena itulah, kemudian berita hilangnya
Sukamto tidak pernah sampai ke Desa Triharjo.
Setalah kasak-kusuk yang panjang, akhirnya
aku memberanikan diri untuk mengajukan ide mendatangi rumah Sri, korban
perkosaan itu. Warga terlihat tidak senang, namun pada akhirnya semua menyadari
bahwa jika ada pihak yang memiliki motif paling kuat untuk mencelakakan
Sukamto, Sri-lah orangnya.
Namun kami justru dikagetkan oleh Sri yang
sudah terlebih dahulu berdiri di depan rumahnya, seakan sudah tahu dan
menyambut kami.
Ia tak mengatakan sepatah kata apapun pada
warga, namun segera menyerahkan alu yang sekilas terlihat bersih, namun
dikerubungi beberapa lalat bangkai.
Ya, sekalipun Sri telah mencuci alu itu
berulang-ulang, namun darah Sukamto yang sempat melumuri alu itu tetap mampu
dicium oleh indra luar biasa yang dimiliki lalat bangkai.
Sri tak pernah pulih dari tragedi itu. Keluarganya, warga desanya, dihancurkan oleh selangkangan Sukamto yang tak mampu dikendalikan. Sri membenci, mendendam, terutama karena Sukamto masih bebas menggerayangi perempuan-perempuan lainnya. Untuk itulah kemudian ia 'bertindak'. Mengundang Sukamto ke sudut sepi Goa Panjul dengan godaan 'reuni syahwat', lalu menghabisinya saat Sukamto tengah berusaha membuka pakaian.
“Tugas Mas James sudah selesai, Mas. Ayuk
pulang…” Asih menggaet lenganku, menuntunku menjauhi rumah dan kerumunan warga
yang hening itu.
Aku yang seumur hidup tinggal di kota, tak
pernah memahami bagaimana cara ‘hukum’ di desa seperti ini berjalan. Namun dalam
beberapa hari kemudian, baik mayat maupun Sri tak lagi menjadi pembicaraan di
desa ini. Semua orang seakan sibuk menyiapkan lamaranku dan Asih.
Namun dari kasak-kusuk mulut yang tak
terkunci, kemudian aku tahu.
Sri tak pernah diserahkan pada pihak yang
berwenang. Dan mayat Sukamto dikembalikan ke Desa-nya dengan entah alasan apa.
Polisi tak pernah datang dan bertanya apa-apa. Topik mengenai ini dilupakan,
dan warga kembali menjalani kehidupan mereka seperti tak pernah terjadi
apa-apa.
Namun satu yang aku tahu. Seperti apapun
manusia mampu menutupi kebenaran, namun alam tidak bekerja dengan cara yang
sama.
Seperti alu milik Sri yang tetap dikerubungi
lalat bangkai sekalipun telah dicuci bersih, aku yakin, entah kapan, kebenaran
mengenai kejadian ini pasti akan kembali dibicarakan.
Entahlah.
asik bacanya nih mbak...
BalasHapuskejam banget ya sukanto.. si sri cukup nekad
aq suka judulnya mbak.....
BalasHapus