Ini cerpen lama di blog lama gue. Kemarin saat
googling, gue kembali menemukannya dan jadi sedikit rindu, soalnya yaaah,
cerpen ini agak istimewa bagi gue. Cerpen ini aslinya gue tulis di pertengahan
2009, dan baru gue publish bulan Agustus 2010 di blog itu. Semoga syukaaa (^^)
sumber gambar disini |
Rasanya sinar matamu semakin meredup setiap
kali engkau membukakan pintu bagiku yang kepulangannya bisa dihitung jari dalam
enam bulan.
Tapi rutinitasmu selalu sama. Menyambutku dengan
senyum dan mesra, mendudukanku di sofa ruang keluarga kita, membasuh kakiku
dengan handuk panas, lalu menyediakan segelas the pahit yang kental. Kau akan
duduk di sebelahku, memandangku seakan akulah makhluk paling berharga di dunia
ini, lalu mengecup keningku dengan seluruh kerinduan yang kau pendam.
Melihatmu, terkadang aku berpikir… bukankah
aku makhluk paling nista di dunia ini?
Menyia-nyiakan istri sebaik dan sesempurna
dirimu… memberimu waktu dan perhatian yang nyaris tak akan pernah mencukupi…
sedangkan kau masihlah wanita yang butuh disayangi. Aku tahu aku kejam karena
tak membiarkanmu pergi dari sisiku untuk mencapai kebahagiaan yang lain. Akulah
monster yang memerangkap dan menghabiskan hidupmu dalam penantian.
Akulah sumber penderitaanmu.
Sungguh ingin kunyatakan semua itu.
Tapi setiap kali kata-kata itu terlepas, aku
bisa melihat kobar amarah dalam matamu, diantara tawa penuh tak percayamu. Kau akan
menyipitkan mata besar yang lentik itu, dan aku bisa merasakan hawa dingin
darimu menusuk hingga ke organ dalamku.
“Bahagia? Kamu tidak yakin aku bahagia
denganmu selama ini, Mas?” kau tertawa getir dan pedih. “Bagaimana kau bisa
membahagiakan aku sih, kalau kau sendiri tidak yakin, Mas?” kau tidak akan
marah dan membentak, namun dingin itu memancar di setiap lekuk tubuhmu.
Kau istri yang tak pernah menuntut dan
mengomel, tapi mungkin aku lebih memilih kau begitu daripada diam dan
memunggungiku. Rasanya, seperti ditinggal mati oleh segala jenis suara tawa di
dunia ini.
Entah bagaimana, seperti sebuah misteri yang
selalu gagal kuungkap, kau selalu bisa memaafkanku dengan begitu mudah keesokan
paginya. Seperti selalunya, kau akan mencium pipiku dengan hangat dan
menyajikan secangkir kopi hitam yang mengepul di sisi tempat tidur kita. Kau akan
bertanya jenis sarapan apa yang kuinginkan dalam balutan lingerie seksi
berlapis celemek.
Kau memang selalu tahu bagaimana caranya
membuatku bangun di pagi hari dan langsung berdebar lagi.
Itu sebabnya aku nyaris tak pernah bisa
melepasmu dengan mudah setiap kali ‘telfon khusus’ itu berdering.
Karena artinya, tugas datang dan aku harus
meninggalkanmu, lagi. Karena artinya, aka nada malam-malam dingin dan panjang
saat kau menanti di rumah, memandangi lekukan kasur tempatku biasa berbaring,
mungkin berlinang air mata dan bertanya-tanya apakah aku masih bernafas atau
tidak.
Percayalah, sakit yang bergejolak itu juga
aku rasakan dalam intensitas yang mungkin tak dapat kau bayangkan.
Itulah sebabnya kekasihku, pasangan hidupku,
pengisi hatiku, dan istriku yang sempurna… bukanlah hal berat bagiku untuk
memaafkan perselingkuhanmu.
Kita tahu apa arti kata ‘setia’ dan sejauh
apa definisinya diantara kita berdua. Kamu tahu dalam sesuatu yang kusebut ‘kewajiban
tugas’ aku telah meniduri banyak dari kaummu, dank au tetap percaya aku tak
pernah melakukannya dengan hati.
Kau selalu menyambutku dengan terbuka,
kehilangan sinar dalam bola mata saat mendengar pengakuanku, namun selalu menjadi
dewi yang sempurna seakan-akan sakit hatimu tak pernah ada.
Dan aku mengerti pribadi seperti apa dirimu,
sayangku.
Kamu adalah air dalam yang menikmati sensasi
mengalir melawan hukum arus. Kamu melarutkan dan menerima semua unsur kealpaan
manusia serta kekecewaaanmu dan menjadikannya seakan netral.
Kamu hidup karena kamu tahu di matamu dunia
ini berbeda. Kamu bernafas karena masih menemukan ambisi dan adrenalin di
darahmu.
Memilihku dengan alasan ‘hidup akan seru
bersamamu’. Menyanggupi menyandang beban dengan alasan ‘aku tahu aku bisa’. Kesedihan
dan pengalaman yang menurutmu sebagai cambuk pelajaran. Kau seperti pengidap
schizophrenia yang kecanduan adrenalin, sayang.
Itulah sebabnya saat aku tak bisa lagi
menyuntikkannya dalam kehidupanmu, kau harus mencari donor lain agar tetap bisa
bertahan hidup.
Aku memandangi namun berpura-pura tak
mengetahui saat kau dengan frustasi memandangi alat tes kehamilan yang belum
juga menunjukkan perubahan. Aku mengetahui, namun bersembunyi saat kau menangis
dengan handphone yang tak jadi digunakan di genggamanmu.
Keadaanku menjauhkanmu dari orang-orang
terkasihmu. Sedikit jalur komunikasi dan nyawa kita terancam. Namun aku tahu
kau sesungguhnya selalu butuh mendengar suara dan dukungan keluarga dan
teman-temanmu yang tak bisa kau hubungi.
Aku tahu.
Aku sungguh mencintaimu hingga aku
benar-benar tahu.
Itu sebabnya, aku bisa mengatakan bahwa ini
semua sungguh melegakan, sayangku.
Aku memang mengatakan bahwa inilah saat yang
kutunggu-tunggu sejak dulu.
Bahwa kaulah yang akhirnya memutuskan untuk
meninggalkanku, untuk pergi dariku, dan memintaku pergi. Karena sungguh,
walaupun aku bisa berbohong begitu sempurna untuk banyak hal, namun kau adalah
kealpaan terindahku. Aku tak akan bisa meninggalkanmu atau memintamu pergi.
Aku tak akan bisa. Aku akan hancur
berkeping-keping.
Itu sebabnya, terima kasih.
Bukan karena aku tidak mencintaimu dan
sungguh berharap kau akan pergi. Bukan karena aku bisa dengan mudah memilih
wanita lain, karena sungguh tak ada wanita sesempurna dirimu di dunia ini,
cinta sejatiku.
Aku ingin membahagiakanmu, sesederhana itu
hingga bisa melepaskanmu, wanita yang tak tergantikan, dan setengah mati
menahan diri untuk tidak menembak mati lelaki beruntung yang mendapatkanmu
nanti.
Cintaku… kekasihku…
Biarlah kata-kata terakhirmu itu aku anggap
sebagai peneguh diri. Biarlah kata-kata terakhir itu aku percayai dan aku
simpan hingga mati. Aku tahu, sangat tahu, bahwa apa yang kau ucapkan adalah
sebuah kejujuran,
“aku
meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi mencintaimu, tapi karena hidup mulai
terasa tak mudah bersamamu. Dan aku bersamanya bukan karena aku mencintainya
melebihi dirimu, tapi karena hidup terasa lebih mudah bersamanya…”
Kok cerpennya malah tidak istimewah sih? setauku, kalau itu hasil kreativitas kita, itu akan punya keistimewaan tersendiri...
BalasHapusSalam kenal yah :)
ini fiktif kan? hehe
BalasHapus@fadly: kan istimewa bagi gue, karena ada 'kisah' trsndiri bagi gue :) emg hasil kreativitas gw kok bro.
BalasHapus@shakti: alhamdulillaaaaaaah, fiktiiiiiif hahahaha
say, ini keren, seneng banget. lama ngga buka laptop, sekali buka, kangen blog kamu hehehe. adien tunggu karya selanjutnya :*
BalasHapus