sumber gambar disini |
Temanku, perempuan, sudah menjalin cinta
selama bertahun-tahun. Ia menunggu dalam hubungan jarak-jauh selama 1 tahun, dan kini
tengah hancurlebur.
Cintanya adalah jenis cinta yang sulit,
dengan berbagai tantangan yang sulit. Sulit karena profesi kekasihnya. Sulit karena
ia dipaksa mengerti keadaan dan nilai-nilai yang tak pernah ia kenal. Tapi toh,
ia berjuang.
Namun perjuangannya bukan berarti semuanya
menjadi mudah. Terutama karena kemudian, sang kekasih bekerja di daerah lain,
begitu jauh hingga ia kemudian bermain hati dengan perempuan yang ia temukan di
daerah itu.
Temanku tahu. Tapi ia tetap setia menanti. Ia
menunggu. Namun toh harus menghadapi apa yang sudah ditulis semesta. Karena sekembalinya
sang kekasih ke daerahnya, dari kesaksian di bawah todongan, ia harus menelan
kenyataan bahwa spekulasi yang selama ini hanya sebatas kecurigaan, ternyata
memang kenyataan.
Namun ia tetap mencintai kekasihnya. Selama kekasihnya
di daerahnya, ia berjuang untuk bersikap seakan tak ada apapun. Mereka tetap
bersama, dan kekasihnya tetap menjalin hubungan dengan perempuan lain itu.
Tapi ‘kebodohannya’ tidak berhenti sampai
disitu.
Kemarin aku mendengar kisahnya, bagaimana ia bersusah
payah mencarikan tiket karena sang kekasih ingin kembali lagi ke daerah itu, ke
perempuan itu. Ia tahu, bahwa kekasihnya ingin menenangkan sang perempuan lain
yang ingin memutuskan tali kasih mereka.
Ia tahu.
Ia tahu mungkin seharusnya ia menantang
kebohongan kekasihnya yang berkoar soal pekerjaan. Ia tahu mungkin seharusnya
ia mencegah kekasihnya pergi. Mungkin dengan seperti itu, kekasihnya dan
perempuan itu akan berakhir. Mungkin, temanku akan kembali jadi satu-satunya. Mungkin
ia akan melihat kesedihan di mata kekasihnya yang terlanjur memiliki hati pada
perempuan itu.
Tapi kenyataannya, ia justru memilih diam. Ia
memilih mengikuti kebohongan – seakan dengan demikian hal itu akan jadi
kebenaran. Ia memilih membiarkan kekasihnya pergi, melakukan apapun yang ingin
ia lakukan.
Ia memilih tersenyum di depan semua orang dan
menahan sakitnya hingga gila sendirian.
Ia memilih bersamaku, sembari menahan air
mata karena benaknya penuh oleh bayangan bagaimana kekasihnya memilih bersama
perempuan itu.
“Apa mencintainya itu bodoh?”
Ia tahu, dan akupun tahu, bahwa sebagian
besar orang akan mengecap temanku ini bodoh. Atau gila. Kamipun tahu, bahwa
iya, itu memang benar. Mungkin, dia memang sebodoh yang orang-orang katakan.
Karena seseorang yang pintar pasti tak akan
membiarkan dirinya dirugikan secara Cuma-Cuma bukan?
Tapi ini soal cinta.
Kembali lagi cinta yang berbicara dengan
bahasanya.
Aku tak tahu apakah ada definisi universal
soal cinta. Sebanyak apapun kamus yang kubuka, rasanya mereka semua tidak
tepat. Iya, cinta memang bicara mengenai kasih, terpikat, dan sebagainya.
Tapi menurutku cinta jauh lebih luas dari
pemaknaan itu.
Cinta itu bukan satuan perasaan tunggal yang
berbeda dan bisa didefinisikan sendirian. Karena menurutku, ia adalah gabungan
dari begitu banyak (bahkan mungkin nyaris semua) perasaan yang manusia miliki.
Cinta memiliki keindahannya sendiri,
kebahagiaan, dan kenyamanan. Namun turut membawa kesedihan, ketakutan,
kekecewaan, kemarahan, kebencian, kecemburuan, dan lain sebagainya.
Seakan-akan, cinta merupakan masterpiece
Tuhan. Adam yang diciptakan sendirian dengan berbagai perasaan, baru memiliki ‘cinta’
setelah Hawa ada. Karena itulah cinta merupakan perasaan yang baru ada. Ia merupakan
ciptaan ‘keluaran terbaru’ yang sudah memuat segala fitur yang pernah
diciptakan.
Dan karena begitu canggih inilah, sulit untuk
memahami cinta secara utuh.
Ia bisa membuat seorang tersenyum, untuk
menangis kemudian. Tapi ‘bahasa’ manapun yang ia gunakan untuk mendeskripsikan
diri, itulah cinta. Sosok yang lengkap. Yang berbicara dalam berbagai bahasa.
Dalam hidup, rasanya aku lebih
banyak mengenal Cinta yang berbicara dalam bahasa sedih, bahasa marah, dan
bahasa kecewa. Aku hanya melihat sisi itu. Dan tumbuh bertahun-tahun dengan
hanya melihat sisi itu. Oleh karenanya, itulah cinta yang kukenal. Cinta yang
bodoh. Cinta yang tersia-sia.
Tapi dalam doaku, aku selalu menginginkan
cinta yang lain, cinta yang berbicara dalam bahasa bahagia. Dan sekalipun
sesekali ia menggunakan bahasa sedih, pada dasarnya ia lebih banyak menggunakan
bahasa bahagia itu.
Satu sisi, aku takut, jika aku menyerah
kepada kepasrahan mengenai ‘cinta yang tulus’, aku akan tersia-sia dan menjadi ‘bodoh’
seperti temanku.
Di sisi yang lain, aku ingin mendapatkan
cinta yang lain. Cinta yang tidak tersia-sia.
Aku sadar diri. Bahwa aku takut untuk
mempercayai bahwa ada cinta lain selain cinta yang kukenal. Aku tak ingin
percaya, hanya untuk disadarkan bahwa harapan itu tersia-sia. Aku tak ingin
pergi tidur dan terlena oleh mimpi yang kukira nyata, hanya untuk terbangun dan
menyadari bukan begitu adanya.
Namun kemudian bagaimana mungkin aku bisa
meraih cinta yang lain jika aku tak mau mempercayainya? Bagaimana bisa aku
mencari jarum diantara jerami sementara aku tak pernah yakin jarum itu ada?
Ya. Mungkin butuh ratusan tahun. Mungkin butuh
pengorbanan dari segala sisi termasuk hati. Tapi selama aku tak berhenti
mencari, mungkin suatu saat, ‘cinta yang lain’ itu, jarum itu, bisa aku temui
di sisa-sisa jerami.
Bodohkah orang yang mencari jarum diantara
jerami?
Iya. Mungkin iya. Dia bisa saja membeli jarum
baru dan tak usah bersusah payah menghabiskan waktu dan tenaga dengan hasil
yang tak tentu.
Mungkin iya. Temanku memang bodoh karena
menghabiskan waktu dan tenaganya untuk hasil yang tak tentu. Apakah dengan
menanti kekasihnya pasti akan kembali padanya? Apakah dengan setia kekasihnya
akan membalas yang sama? Apa alasannya untuk bertahan?
Apakah itu bodoh? Apakah ia harus menjadi
pintar?
Tapi mungkin kehidupan memang perlu tindakan
bodoh untuk menjadi bermakna.
Dan mungkin, dari sekian banyak bahasa yang
digunakan cinta, bahasa bodoh adalah salah satu diantaranya.
Aku tak pernah mengenal cinta yang lain. Semesta
begitu pelit padaku, dan hanya mengajarkan cinta yang pahit. Tapi ada bagian
dariku yang ingin percaya bahwa Tuhan berkenan mengijinkanku merasakan cinta
yang lain.
Cinta yang mungkin awalnya bodoh, tersia-sia,
namun karena ia memang berbicara dalam begitu banyak bahasa, aku-lah yang harus
mempelajari bahasa bahagia-nya cinta. Bahasa nyaman-nya cinta.
Dan saat itulah, setelah aku mampu memahami
banyak bahasa yang ia rangkai, barulah aku mampu menemukan sisi lain dari cinta
yang lain.
Semoga.
pelik bnget nih postingannya ya mbak hehe
BalasHapusGila..dalem banget.
BalasHapusMungkin bener kata LO, cinta itu bodoh. Tapi anehnya, orang gak pernah kapok jatuh cinta.
Menurut gue satu yang pasti, yaitu sepahit-pahitnya cinta pasti ia terselip sisi keindahannya. Salam super
Cinta nggak bodoh tapi orangnya yang mau dibodohi cinta dan terus ketagihan meski sudah tersakiti.
BalasHapusBukan cinta nya yang bodoh, tetapi pelakonnya karena sudah kerasukan setan cinta... :D
BalasHapus@eysurbakti: hehehehe iyaa.. :')
BalasHapus@robianus: becul! itu dia yg ingin gue ungkapkan. bahwa oke mungkin sakit, tapi pasti ada bahagianya
@kiky: entahlah ki, gue ngerasa belum capable untuk memutuskan ayam atau telur yang keluar deluan #ifyouknowwhatimean ;p hehehehe
@sam: ih kayak apaan aja hahahaha