sumber disini |
Kekerasan seksual atas perempuan bukanlah berita baru.
Nyaris setiap hari media massa kita mengabarkan nasib perempuan-perempuan yang
disakiti secara sadis dan brutal sebagai obyek pelampiasan nafsu birahi. Tidak sedikit perempuan-perempuan ini yang
kemudian depresi, hancur masa depannya, hingga yang terburuk, mati di tangan
pelaku.
Sebagian besar dari masyarakat, bahkan kemungkinan besar
anda yang tengah membaca ini, selalu menganggap
bahwa anda atau orang-orang terdekat anda aman dari kejahatan seksual, karena
anda cukup ‘pintar’ untuk bersikap baik
(alias tidak melakukan tindakan apapun yang memberikan kesempatan diri anda
menjadi korban) dan selalu bersikap waspada
(terutama pada orang asing).
Namun sayangnya, tidak
ada satupun orang yang aman dari kejahatan seksual, karena sesungguhnya,
setiap orang rentan menjadi korban, sekalipun anda berpakaian sopan, memiliki
pendidikan tinggi, tidak bersikap menggoda, berwajah tidak menarik (atau sudah
berumur), dan sebagainya. Benarkah demikian? Untuk lebih jelasnya, mungkin anda
bisa membaca artikel saya yang lain, yakni Apa yang Harus Saya Lakukan JikaSaya Diperkosa.
Dalam tulisan yang saya rangkai dengan hati yang panas ini,
saya ingin mengangkat kasus perkosaan
atas RW, mahasiswi FIB UI yang dimanipulasi, ditipu, mengalami kekerasan
seksual dan psikologi, hingga akhirnya hamil dan mencoba bunuh diri akibat
perbuatan bejat seorang seniman besar negeri ini, Sitok Srengenge.
Selain oleh karena RW merupakan ‘keluarga satu almamater’ saya di
Universitas Indonesia, saya melihat ketidakadilan
dan viktimisasi yang luar biasa atas RW pada kasus ini, sehingga saya memiliki
keinginan yang sangat besar untuk turut berpatisipasi, menggabungkan pemikiran
saya dengan tulisan-tulisan terdahulu mengenai kasus ini, dalam sudut pandang kriminologi, sesuai dengan yang saya pelajari
selama ini.
Belum lagi saat ini terdapat banyaknya tudingan miring dan komentar-komentar yang tidak simpatik
pada korban dan pendukungnya, serta lihainya
pelaku memainkan persepsi dan keberpihakan masyarakat dengan memanfaatkan
keluarga serta sahabat-sahabatnya yang saat ini bercokol di puncak pimpinan media.
Tulisan ini akan saya bagi dalam dua artikel, yakni
Kronologis Kasus Perkosaan oleh Sitok Srengenge: Jurang Besar antara Pengakuan
Korban dan Pelaku, serta artikel kedua yakni Sitok Srengenge: Lelaki yang
Tergoda atau Celebrity Rapist?
KRONOLOGIS KASUS
PERKOSAAN OLEH SITOK SRENGENGE: JURANG BESAR ANTARA PENGAKUAN KORBAN DAN PELAKU
Kronologis ini merupakan rangkuman saya atas banyak sumber,
dengan tiga sumber utama yakni pernyataan Sikap BEM FIB UI Terhadap Kasus
Mahasiswi FIB UI dan Sitok Srengenge, wawancara Iwan Pangka (pengacara korban)
oleh website kabar3.com di Iwan Pangka: Kita Semua Kalah, serta Surat Terbuka
putri kandung Sitok Srengenge. Kronologi ini juga saya rangkum dari
berita-berita di portal berita online lainnya.
Tragedi ini sendiri bermula dari perkenalan RW dengan Sitok
Srengenge dalam sebuah acara yang diadakan oleh BEM FIB UI pada Desember 2012.
Saat itu RW menjadi panitia yang bertugas untuk menghubungi dan mendampingi Sitok
yang didaulat menjadi Juri dalam acara itu.
Beberapa bulan kemudian, Sitok kembali menghubungi RW. Kali
ini, Sitok menawarkan bantuannya untuk
membantu korban yang tengah menyusun tugas akhir skripsi. Korban, yang seorang
mahasiswa, tentunya wajar jika merasa senang karena ditawari bantuan oleh
seniman besar negeri ini. Awalnya, Sitok mengatakan pertemuan untuk membahas
skripsi ini akan berlangsung di Salihara, namun entah bagaimana, akhirnya Sitok justru berhasil membuat korban
menghampirinya di kosan pelaku.
Pada kesempatan pertama ini, Sitok berupaya mencekoki RW dengan alkohol. RW yang tidak pernah
menyicip alkohol sebelumnya, berupaya menolak. Sitok bahkan melakukan pelecehan seksual dengan meraba-raba korban
secara paksa, hingga akhirnya RW yang dikenal sebagai perempuan baik-baik
serta polos dan lugu yang bahkan belum pernah berpacaran ini, menderita trauma
yang mendalam.
Menurut keterangan sahabat-sahabat RW sendiri, RW merupakan
pribadi yang mudah terpuruk saat mendapat tekanan. Hal ini diakibatkan karena korban di masa lalu juga pernah menderita
trauma yang mengguncang dirinya. Kelemahan
psikologis RW ini membuat Sitok dapat dengan leluasa memanipulasi dan
memperdaya korban. Sitok bahkan mengakui pada Saras Dewi (mediator
sekaligus pendamping korban), bahwa dirinya-lah yang mengejar-ngejar dan merayu RW.
Pengakuan Sitok ini terkesan ‘menghaluskan’ kenyataan bahwa
dirinya sebenarnya melakukan terror yang
luar biasa dengan terus menghubungi korban sekalipun korban tidak pernah
membalas. Bahkan, pelaku terus gencar
merayu RW, dan tidak segan melakukan
kekerasan psikologis saat rayuannya tidak ditanggapi. Iwan Pangka bahkan
mengisahkan, Sitok kerap bertindak kasar
pada korban, seperti membentak dan
mengancam secara halus, sehingga korban, saat mendengar suaranya saja sudah
gemetaran hebat. Iwan Pangka menyebutkan (sembari menangis) bahwa perlakuan Sitok pada RW sudah seperti
perlakuan Majikan pada Babu.
Setelah berhasil ‘memperkosa’ mental korban, Sitok kembali
memperdaya korban untuk ‘mengakhiri’ terror itu dengan bertemu langsung. Namun
kepercayaan korban itu malah kembali disalahgunakan oleh Pelaku yang bahkan,
pada kesempatan kali itu memperkosa korban. Perkosaan ini kemudian tidak terjadi hanya sekali, karena korban yang merasa harga dirinya sudah
hancur, dikotori, dan tidak berharga lagi, akhirnya seperti kerbau yang
dicucuk hidungnya oleh Sitok, dengan terpaksa mengikuti setiap omongan Sitok.
Dengan kondisi inilah perkosaan atas korban terjadi lebih dari 3 kali.
Fakta inilah yang kemudian banyak dipermasalahkan oleh
masyarakat yang masih menganut mitos bahwa jika perkosaan terjadi lebih dari
sekali, atau perempuanlah yang mendatangi tempat dimana perkosaan terjadi,
hal-hal tersebut berarti bahwa perempuan-lah
yang menginginkan perkosaan itu atas dirinya (suka sama suka).
Benarkah? Perihal inilah yang akan saya bahas dalam artikel
saya berikutnya: Sitok Srengenge: Korban Rayuan atau Celebrity Rapist?
Setelah perkosaan berulang ini, empat bulan kemudian, korban
baru mengetahui bahwa dirinya hamil 4
bulan. Ia berusaha menghubungi Sitok, namun pelaku terkesan ‘kabur’ dan menghindari usaha korban untuk
menghubunginya. Dalam kondisi kebingungan, ia akhirnya mampu bercerita pada
alumni yang juga teman dekatnya. Butuh 3
bulan bagi mereka untuk akhirnya mengetahui kejadian sebenarnya, karena korban yang berkali-kali mencoba bunuh diri
ini jelas menderita trauma yang sangat dalam hingga tak mampu bercerita.
Sehingga, jika kemudian ada pihak yang mempertanyakan mengapa kemudian pihak korban baru melapor
setelah sekian lama, rasanya ingin sekali saya bertanya balik, jika anda
yang di posisi korban (yang untuk berbicara saja sudah kesulitan), bagaimana bisa anda melapor pada polisi?
Tentunya saat mengetahui korban hamil dan berkali-kali mencoba bunuh diri, fokus utama keluarga dan teman-teman
korban adalah menenangkan korban. Dan kemudian, bagaimana bisa menyusun
laporan ke Kepolisian jika teman-teman dan keluarga korban saja baru
mendapatkan cerita utuh dari kejadian ini setelah 3 BULAN?
Mulai merasa heran bagaimana
seorang perempuan muda dengan otak cemerlang bisa hancur sedalam itu? Saya hanya
bisa membalikkan, kini anda tahu
bagaimana dahsyatnya efek perbuatan Sitok.
Saat kasus ini akhirnya diketahui oleh orangtua korban,
keluarganya langsung menghubungi Sitok pada 7 September, namun Sitok masih sangat sulit dihubungi.
Pun, saat kemudian akhirnya pelaku membalas sms RW, namun Sitok justru menjawab ‘Sudah dijaga ya, jangan sampai ada yang tahu.’
Ya, tidak ada satupun kalimat yang menunjukkan dia
mengkhawatirkan kondisi RW, atau kalimat apapun yang menunjukkan dukungannya
pada RW. Sitok sibuk berpesan agar perempuan muda ini menutup mulutnya rapat-rapat agar aib kebejatannya tak diketahui
khalayak. Sitok bahkan membentak-bentak
korban saat RW kembali meminta Sitok menemui orangtuanya.
Menyadari bahwa kondisi korban sudah sedemikian terpuruk, diperlakukan
sebegitu rendahnya hingga mengalami stress akut hingga mencoba bunuh diri,
serta perlakuan beringas Sitok yang tidak memiliki niatan baik, akhirnya
mahasiswa dan alumni FIB menemui Iwan
Pangka untuk meminta bantuan hukum. RW dan keluarganya memutuskan untuk
mantap menjalani penuntutan hukum. Tidak mudah, karena selain kondisi RW yang
begitu rentan, hukum di Indonesia masih
sangat mendiskriminasi perempuan. Terbukti, saat melapor, alih-alih
menunjukkan sikap simpatik, awalnya polisi
justru men-drop kasus ini begitu tahu bahwa pelaku-nya adalah ‘orang beken’
dengan alasan ‘itu perbuatan orang dewasa’. Salah seorang polisi wanita bahkan manyarankan RW ‘mengetuk pintu hati
Sitok agar mau menikahi’.
Lebih parah lagi kemudian pihak Kepolisian yakni Kompol
Paimin, Kanit Unit II Kamneg Polda Metro Jaya mengirimkan
SMS dan menelfon ibunda RW (tanpa menghubungi kuasa hukum korban). Kompol
Paimin mengatakan bahwa Sitok kangen kepada RW (mual rasanya saya mendengarnya.
Kangen apa? Kangen melampiaskan nafsu bejatnya?) dan mau bertanggung jawab atas
segala perbuatan yang telah dilakukannya. Tindakan Kompol Paimin ini jelas
mengecewakan keluarga korban dan menimbulkan ketakutan bahwa jika anggota
Kepolisian saja sudah menjadi kaki-tangan pengirim pesan bagi Sitok, adakah
garansi bahwa proses kasus ini bisa dilaksanakan secara adil dan bukannya
memihak Sitok?
Di lain sisi, keluarga
Sitok-pun telah mengetahui kehamilan korban sejak awal. Istri Sitok, Farah
Maulida, bahkan mengeluarkan statement
lewat akun FB-nya yang menyatakan bahwa dirinya sebenarnya sudah mengetahui
kasus tersebut dari sahabatnya. Ia kemudian menanyakan kebenaran kabar itu
kepada Sitok, yang mengakui bahwa dia memang menghamili RW, namun atas hubungan
suka sama suka. putri kandung Sitok-pun, lewat blog-nya juga mengeluarkan Surat
Terbuka yang isinya merupakan curhatan hatinya yang hancur akibat kasus ini.
Laire, putri Sitok itu juga mengklarifikasi bahwa ayahnya bukan memperkosa,
namun berhubungan tanpa paksaan dan memang ingin bertanggungjawab. Hanya saja, akses
ke RW seakan ditutupi. Laire juga menekankan bahwa fokus utama dirinya dan
ibunya saat ini adalah mendampingi ayahnya untuk bertanggungjawab, serta
mendukung RW dan bayi yang akan segera lahir.
Sikap yang ditunjukkan oleh istri dan anak Sitok ini meluluhkan hati masyarakat yang
menunjukkan sikap simpatik dan dukungan kepada keduanya. Istri dan anak Sitok
begitu legowo dan berhati luas untuk menerima kesalahan Sitok dan justru
memberikan dukungan penuh pada pelaku. Sesuatu yang saya anggap wajar, bahkan saya apresiasi, karena
bagaimana-pun, keduanya merupakan keluarga Sitok, yang memang tidak memiliki pilihan lain selain
mempercayai dan mendukung Sitok.
Sitok-pun tak tinggal diam. Didampingi keluarganya, ia gencar berbicara lewat media milik
sahabat-sahabatnya. Anehnya, keterangan Sitok berbeda jauh dari apa yang
disampaikan RW. Sitok bersikeras bahwa itu adalah perbuatan suka sama suka, buktinya,
kata Sitok, RW yang mendatanginya dan dia toh tak akan bisa memaksa seseorang
datang ke kosannya. Bahkan menurut Sitok lewat pengacaranya Dwi Ria Latifa,
Sitok sudah mengetahui kehamilan RW sejak usia 17 minggu (bulan September) dan
siap bertanggung jawab. Namun usaha untuk bertemu antar keluarga tidak
terealisasi hingga akhirnya pada 6 November, Sitok mengatakan bahwa RW mengirim
SMS yang berisi pemberitahuan bahwa komunikasi mereka selanjutnya akan
dilakukan lewat mediatornya, Saras Dewi, Dosen FIB yang juga sahabat Sitok dan
istrinya. Sitok bahkan menuduh Saras
mempersulit upayanya untuk bertanggungjawab atas RW, serta melakukan upaya character assassination (pembunuhan
karakter) atas dirinya.
Lebih lanjut, setelah kasus ini bergulir tajam di media, mulai bermunculan korban-korban lain yang memberanikan diri menyampaikan kisah serupa
dengan RW pada Saras Dewi, dosen FIB yang mendampingi RW. Dua korban
lainnya yang muncul sejauh ini, menceritakan kisah yang nyaris serupa, dimana
ternyata Sitok memang kerap melancarkan
aksi dengan modus yang sama yakni mencekoki korbannya dengan alkohol, serta
memanipulasi korban agar mendatangi kos-kosannya.
Seiring dengan perkembangan informasi atas kasus ini, keberpihakan publik-pun bagai kapal yang
tengah diombang-ambing badai, dapat begitu cepat berubah haluan: di satu
waktu membela Sitok, sementara pada waktu yang berlainan, bisa dengan begitu
cepat justru menghakimi RW. Menariknya, kasus ini bahkan juga dinaiki oleh penumpang-penumpang gelap
yang sebenarnya memiliki kepentingan lain selain membela keadilan bagi para
korban, yakni mereka yang membenci JIL serta komunitas Salihara (yang
direpresentasikan oleh Sitok).
Terlepas dari kontroversi yang luar biasa pada perbedaan
persepsi publik dan segala kepentingan yang mewarnai kasus ini, dalam artikel
saya selanjutnya yakni Sitok Srengenge: Lelaki yang Tergoda atau Celebrity
Rapist, saya ingin memberikan warna lain dalam pembahasan kasus ini, yakni dari
sisi kriminologis.
Akhir kata, besar harapan saya bahwa kasus ini dapat
berakhir baik: dimana para korban memperoleh keadilan mereka dan dapat
menjalani sisa hidupnya dengan kebahagiaan, serta pelaku dihukum sesuai dengan
kejahatan yang telah ia lakukan. Lebih luas lagi, saya berharap semoga hukum
dan personel penegak hukum di Negeri ini dapat diperbaiki sehingga mampu
memberikan keadilan yang mumpuni bagi para perempuan.
Semoga tidak ada lagi perempuan yang bernasib sama!
DAFTAR REFERENSI
BEM FIB UI. (2013). Sikap
BEM FIB UI Terhadap Kasus Mahasiswi FIB UI dan Sitok Srengenge. Retrieved
Januari 06, 2014, from
https://drive.google.com/file/d/0B10pN6EWNtN4MnhxVzAtamJ5a0E/preview?pli=1
Kabar3.com. (2013,
Desember 11). Iwan Pangka: Kita Semua Kalah. Retrieved Januari 06, 2014,
from http://kabar3.com/blog/2013/12/iwan-pangka-kita-semua-kalah#.Uspzm9IW3dh
Mentari, L. S. (2013,
November 30). Surat Terbuka. Retrieved Januari 06, 2014, from
http://lairesiwi.wordpress.com/2013/11/30/surat-terbuka/
Tribunnews.com. (2013,
Desember 12). Mahasiswi UI Sambangi Polda Metro. Retrieved Januari 06,
2014, from
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/12/mahasiswi-ui-sambangi-polda-metro
Tribunnews.com. (2013,
Desember 24). RW Secara Jelas Menceritakan Hubungannya dengan Sitok
Srengenge di Klinik. Retrieved Januari 06, 2014, from http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/24/rw-secara-jelas-menceritakan-hubungannya-dengan-sitok-srengenge-di-klinik
Saya kok jijik ya membaca tulisan yg informatif ini; jijik dgn pelaku, jijik dgn aparat, dan jijik dgn hukum.
BalasHapusSaya mengharapkan adanya kehebatan secara hukum, dan hati nurani, serta pemikiran, utk menghukum si pelaku dgn seberat-beratnya.
Hanya 1 kalimat. Indonesia jelek!
BalasHapusSaya masukkan ke tab bookmark :)
BalasHapusBner2 geram dan jijik luar bisa pas baca ini hanya ekspresi denfan kening mengerut dari awal sampe akhir luar biasa hukum dan penegak hukum di indonesia.. luar biasa jijik apalagi sama si pelaku eww
BalasHapusApalagi sama statement polisi yg bilang ' itu perbuatan org dewasa' perbutan dewasa kata dia?? seenak jidat aja ngomong kebegitu . Harusnya hukum di indo bisa lebih tegas lagi, apalagi soal soft rape, hak asasi harus lebih dilindungi dan dihormati.. enak aja mandang2 gender,status ato apala itu ,yg namanya melanggar hukum ya harus ditindaklanjuti dgn tegas dong !
BalasHapusAnalisa yang menarik sekali mbak. Izin membagikan artikel ini ke laman FB saya ya.. Makasih..
BalasHapusKarena diawal artikel sudah disebutkan jika korban adalah saudara penulis, maka saya yakin sudah jika penulisan ini akan sangat tidak netral dan tidak berimbang. Terbukti hingga selesainya paragraf terakhir
BalasHapusJd teringat dg baik, jagalah kemaluannya dg sangat berhati hati. Salam mbak utk keluarga
Selain oleh karena RW merupakan ‘keluarga’ saya di Universitas Indonesia, saya melihat ketidakadilan dan viktimisasi yang luar biasa atas RW pada kasus ini, sehingga saya memiliki keinginan yang sangat besar untuk turut berpatisipasi, menggabungkan pemikiran saya dengan tulisan-tulisan terdahulu mengenai kasus ini, dalam sudut pandang kriminologi, sesuai dengan yang saya pelajari selama ini.
Hapusdibaca lagi,mas. DIBACA.
Hapus