sumber disini |
Anya menelan makiannya dalam-dalam. Gadis berambut cokelat
panjang itu bahkan tidak mampu memutuskan mana situasi yang paling membuat urat
kesabarannya putus malam ini.
Situasi ‘neraka’ pertama, ia dipaksa keluar dari bathub yang penuh garam, rempah, dan
bunga serta mengakhiri sesi mandi jumat-malam kesukaannya karena panggilan emergency untuk menyelamatkan sahabatnya,
Leo, yang mabuk berat dan hampir menjadi sasaran tinju security club Blowfish.
Atau mungkin justru situasi kedua yang tak kalah ‘menyenangkan’, kenyataan
bahwa kini ia dapat dipastikan tak akan pernah lagi bisa menginjakkan kakinya
ke salah satu club paling hitz di
Jakarta Selatan itu setelah membuat kehebohan yang sedemikian rupa. Dan, ahh, tentu
saja yang ketiga, dimana ia mendapati dirinya tengah menyeret Leo yang 35
centimeter lebih tinggi darinya di sepanjang area parkir apartement Leo, dengan
bertelanjang kaki tentunya, karena ankle boot Christian Louboutin kesukaannya telah
ia gunakan sebagai senjata untuk memukul mundur security Blowfish yang
mengepung Leo.
Dan setelah mencampakkan alasan-kenapa-ia-harus-mengalami-ini-semua
(baca: Leo) ke sofa empuk berwarna khaki dalam apartement minimalis sahabatnya
itu, Anya membiarkan dirinya mengeluarkan sedikit gerungan emosi.
“Damn, boy! Are you losing
your mind or what?” jerit Anya sembari terengah-engah.
Namun toh, emosi itu hanya bertahan sepersekian detik.
Terutama setelah bisikan sorry
super-pelan keluar dari bibir pecah Leo yang menggeletak tak berdaya di sofa. Sekali
lagi, Anya menelan makiannya dalam-dalam dan menghela nafas panjang. Dadanya dibanjiri
simpati dan kesedihan hingga panas yang ia rasa akibat emosi tadi lenyap entah
kemana.
“Fasten your seatbelt,
crazy-head.” Desis Anya galak sembari menyodorkan sebotol besar air mineral
pada Leo untuk mengatasi mabuknya. “Jangan bikin ulah lagi. Gue ke dapur sebentar.”
Dapur Leo mungkin adalah salah satu dapur-cowok paling rapi yang
pernah Anya kunjungi. Sahabatnya itu memang tampilannya saja yang sepertinya
laki banget, padahal salah satu hobinya adalah memasak di dapur. Leo juga
peramu rasa yang cukup andal, dari blueberry cheesecake hingga bakwan mampu
disajikan Leo dengan tampilan dan rasa yang cukup menggoda. Lucunya, sekalipun
Leo menghabiskan sepertiga masa hidupnya di kota Oxford, rendang buatannya jauh
lebih enak dibanding masakan mendiang ibunda Anya.
Setelah menemukan rak yang penuh berisi kaleng teh Twinings
di sudut dapur, Anya mengeluarkan beberapa tea bag dengan label cinnamon. Sepertiga
masa hidup yang dihabiskan Leo di Inggris toh memang terlihat hasilnya; lelaki
Minang-Jawa-Italia itu kini menjadi penggemar berat teh. Lucunya lagi, walaupun
berperawakan macho, pilihan hati Leo justru jatuh pada Twinings Infusion, merk
teh asli inggris dengan aneka rasa buah. Semacam ndak cucok.
“Habisin, biar otak lo ga kebolak-balik lagi.” Dumel Anya
sembari menyorongkan cinnamon tea yang mengepul panas dan shortbread-nya
Oriyane ke hadapan Leo.
“Airnya kebanyakan, Nya.” Komentar Leo saat melihat
kekentalan teh yang disajikan.
“Oh, God The Almighty. Bro, kalau ada orang disini yang
kepingin ngomel dari matahari terbit sampai terbenam, itu GUE orangnya. Jadi mendingan
lo diem aja dan habisin teh-nya!” dumel Anya lagi. “Masih pusing? Pingin makan
apa?”
“Ada sisa cream soup
di panci. Boleh minta tolong dipanasin, Nya?” sebut Leo, malu-malu.
“Ergh. Sekarang aja baru deh kata tolong-nya keluar.” Cetus Anya
sembari berbalik ke dapur. Anya sengaja bersikap menyebalkan. Walaupun sebenarnya
sikap bitchy-nya itu lebih ia
tunjukkan karena tidak ingin menjebak Leo dalam drama melankolis lebih dalam
lagi.
Yup, kalau ada yang dari tadi bertanya-tanya atau justru
sudah bisa menebak kenapa lelaki rumahan seperti Leo mabok sebegitu parahnya;
alasannya sangat sederhana sekaligus klise…patah hati.
Perpisahan Leo dan Mila,
the ex-girlfriend, memang sarat drama. Padahal yang selingkuh disini adalah
Mila, si bitchy yang kabarnya nggak
pernah pakai celana dalam kemana-mana itu. Dan yang bodoh disini adalah Leo, si
bego yang bukan hanya memaafkan Mila berkali-kali, namun juga terus-menerus mempertahankan
perempuan itu seakan-akan dia sudah kehabisan stock perempuan baik di muka bumi. Dan yang kesal dan gemas disini
adalah Anya, yang merasa love-life
nya sebagai lesbian sebenarnya jauh lebih menyedihkan dari kisah Leo, namun
cukup waras untuk tidak merepotkan orang lain.
Tapi bagaimana-pun, Anya tidak bisa membenci Leo. Disini
dia-lah good guy-nya. Leo itu lelaki
lurus yang polos-nya ampun-ampunan. Orang yang tak mudah jatuh cinta, namun sekalinya
jatuh cinta, ya jatuh sejatuh-jatuhnya sampai nggak bisa dibedakan dengan orang
gila.
“Sudahlah… Kenapa
menangis? Bukannya kamu yang membiarkan kita hanya menjadi masa lalu?” Mendadak
suara sedih Leo memenuhi apartement. “Kamu yang memilih menyerah untuk berjuang
menjadikan ‘kita’ sebagai masa depan, La… Kamu juga yang mematahkan hatiku yang
sesungguhnya masih ingin berjuang untukmu saat itu.”
Anya, yang sebenarnya sudah di belakang Leo, menghentikan
langkahnya dan kembali menyusup ke dapur. Mangkok berisi cream soup panas yang mengepul
itu ia letakkan lagi disana. Jelas bahwa kehadirannya kini akan sangat
mengganggu Leo yang tengah terlibat pembicaraan via phone dengan seseorang yang
Anya yakini adalah Mila.
“Aku ini lelaki, La… Tidak mungkin aku menjilat kembali apa
yang sudah kuucapkan. Lebih baik terima saja, hadapi saja kenyataan bahwa kini
kamu tak lagi lebih dari kenangan pahit yang mengantarkanku menjadi lebih
bijaksana dengan segala perih yang kamu berikan.” Sahut Leo lagi, kali ini lebih
emosional. Ia sepertinya telah memutuskan telfon itu, karena handphone yang
digunakan Leo tadi kini tergeletak di dekat rak sepatu, retak dimana-mana
karena dilempar jauh dari seberang ruangan.
Anya menaikkan alisnya dan membisikkan kata ‘wow’ dengan
perlahan. Ternyata selain memiliki hobi masak dan penggemar teh rasa buah, Leo
juga bisa berpuisi sedemikian rupa. Kelihatannya darah Minang dalam tubuh
sahabatnya itu masih kental sekalipun diserbu budaya Inggris dan gaya hidup
Metropolitan.
Namun setelah sepersekian detik berpikir demikian, Anya
menggetok kepalanya sendiri keras-keras. Manusia macam apa dirinya,
bisa-bisanya mengomentari hal semacam itu sementara di ruang sebelah sahabatnya
tengah berjuang menahan air mata akibat hati yang patah?
“Dude, lo ga apa-apa?” bisik Anya sembari meringsut
pelan-pelan ke dekat Leo yang tengah duduk di tengah-tengah karpet sembari menatap
nanar keluar jendela, ke langit hitam Jakarta. “Makan dulu deh, Yo. Nih cream
soup lo…”
“Lo tau gak pikiran gila apa yang sekarang ada di otak gue?”
Desis Leo mendadak, penuh emosi. “Gue pingin nyamperin cowok baru Mila itu dan
nyodomi dia sampai menjerit!”
“Astaghfirullah!” Seru Anya yang sangkin kagetnya, kembali
ingat Tuhan. “Eh lo jangan main-main, Yo! Lo patah hati sama cewek sampai-sampai
ujung-ujungnya meng-homo?”
Leo tak langsung menjawab. Ia melirik sedih ke cream soup-nya sebelum berbisik, “Iya
ya, jadi homo sepertinya menarik juga. Seenggaknya gue gak lagi berurusan
dengan makhluk yang sistem kerja otaknya paling rumit se-alam semesta.”
Anya meraih bantal empuk di sofa dan melemparkannya
kencang-kencang ke kepala Leo, “Egilak, lo tadi habis ngembat sebotol whiskey
apa minum oplosan? Kok kayaknya otak lo rusak??” jerit Anya ngeri.
“…Atau sama orang kayak lo. Spesifikasinya aja yang cewek,
tapi otaknya cowok. Coba lo ga lesbi deh, Nya. Kita bakalan pacaran dari 4
tahun lalu, dan gue nggak perlu kenal Mila.” Sambung Leo, tak terpengaruh.
Ngantuk..haha
BalasHapusIh ini anak dari pagi udah nyebelin banget deh. Besok-besok kaga usah ke blog aku lagi kamu yaaaaaa! *tebar tebar garam*
Hapus