Sumber Foto: Tribunnews.com |
Sejujurnya
saya dulu bukan pengagum berat Ibu Megawati Soekarnoputri.
Mungkin
alasan paling mendasar adalah karena saya menilai beliau agak-gimana gitu setelah
terkesan ‘ngambek’ pada Pak SBY saat beliau mengalahkannya dalam bursa pemilu
dan jadi Presiden, dua periode lagi. Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Pak
TK yang justru kerap menjadi ‘jembatan’ antara PDIP dan Pak SBY, Ibu Mega terkesan
sangat anti sekali dengan mantan-bawahannya tersebut.
Mana
lagi, Ibu Mega sangat sangat jarang mengekspos pemikiran dan permasalahannya di
media, jadi saya agak-agak kurang mengerti kenapa beliau se-ngambek itu dengan
Pak SBY. Sehingga kemudian sikap saya dengan beliau jadi kurang simpatik. Tapi
kemudian entah apa juga yang saya harapkan dari sikap Ibu Mega: haruskah beliau
bersikap fake dengan tetap wara-wiri
dengan SBY meskipun di hati memendam ketidaksetujuan, atau sebenarnya justru
bukankah lebih baik jika Ibu Mega jujur bersikap apa adanya meskipun beliau terkesan
ngambek?
Entah
juga. (Saya libra sih, rasanya semua-mua punya sisi benar dan salah. Wkwkwk)
Namun
sejak beliau ‘mensponsori’ kesuksesan Jokowi, saya sedikit banyak jadi mulai
mengerti apa yang dirasakan bu Mega, walau disisi lain juga mengerti ambisi dan
sakit hati yang dirasakan pak SBY (sekali lagi, saya Libra, jadi rasanya semua
sisi itu wajib dipertimbangkan).
Mosok
ya ndak ngamuk kalau pagar yang telah dibesarkan itu justru memporak-porandakan
tanaman-tanaman yang dijaga dengan sepenuh hati oleh Bu Mega? Pak SBY yang
dipercaya sebagai salah satu ‘pagar’ PDIP kala itu justru ‘menenggelamkan’ apa
yang dijaga dan dibesarkan Bu Mega dengan penuh cinta. Ya wajarlah ya kalau
ngamuk, sekalipun memang si pagar itu sebenarnya punya mimpi yang lebih tinggi
dari hanya menjadi pagar, dan satu-satunya cara agar dirinya meraih mimpi itu
adalah mengkhianati orang yang membesarkannya. Ya manusiawi juga, tho?
Tapi
terlepas dari segala masalah ngambek, pagar, dan tanaman itu, memang ada sisi
dari seorang Megawati yang sangatsangatsangat saya sukai. Apa itu? Kekekek,
tentu saja sikap garang Mega pada Amerika. Hohohoho.
Saat
Amerika menyatakan akan menginvasi Irak, hanya Megawati yang berani
mempertanyakan dan melayangkan sikap yang bersebrangan dengan Bush hingga
Presiden negara Adikuasa ini uring-uringan. Negara-negara lainpun mengangkat
alis melihat kerasnya sikap si Ibu ini. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan
Amerika terkait teroris, walaupun awalnya Megawati mendukung Amerika, namun
akhirnya secara tegas beliau menolak untuk mendukung Amerika mengobok-obok
Negara orang (termasuk Indonesia) dengan alasan ingin memerangi teroris.
“Kita
tidak anti Amerika. Tapi apakah kita tidak boleh berdaulat secara politik? Mandiri
secara ekonomi? Berkepribadian secara budaya? Jika Amerika menghalangi kita
mewujudkan tiga hal ini, maka kita lawan Amerika!”
Megawati, dalam buku ‘Megawati
Anak Putra Sang Fajar’, halaman 107.
Yah,
memang, tidak sepenuhnya garang sih, berhubung saat itu Indonesia masih
terbelenggu utang yang menjadikannya harus menunduk dan manut di depan sang
penagih hutang yakni Amerika. Amerika,
yang selalu dibuat kesal karena kegarangan Pak Soekarno, mulai mampu menancapkan
tentakel-tentakelnya di Indonesia sejak politik utang lewat berbagai program
seperti SAP (Structural Adjustment Program) dijalankan oleh Soeharto dan
Habibie.
Hutang
yang awalnya diberikan dengan topeng malaikat oleh Amerika inilah yang akhirnya
menenggelamkan Indonesia dalam ketergantungan. Berkat hutang-hutang inilah,
Indonesia yang dulu disegani dunia kini bagai selalu bercucuran keringat dingin
saat tempo pembayaran semakin dekat dan nyaris pingsan saat si penagih hutang
sudah mengetuk di pintu rumah sembari berkata: “Hayo, mau bayar hutang sekarang
atau situ terima syarat-syarat yang saya ajukan?”.
Ibu
Mega, sebagai anak yang tentunya menyaksikan kesakitan dan kekecewaan ayahnya
atas politik yang dijalankan oleh Soeharto, tentunya memiliki dendam tersendiri
dengan bangsa Adikuasa itu. Tak heran saat kemudian menjabat sebagai Presiden,
beliau gerahhhh dengan utang-utang ini hingga kalap menjuali aset-aset berharga
bangsa demi membayar uang jaminan yang membebaskan Indonesia dari belenggu IMF.
Kebijakan
ini kemudian dikecam karena dianggap merugikan bangsa. Bahkan saya pernah
berdebat dengan cukup hangat dengan salah satu teman twitter perihal ‘jual toko
dan isinya’ ini. Doi memandang bahwa seharusnya isi toko saja yang dipinjam dan
dijual, bukanya se-toko-tokonya yang dijual. Sementara, lepas dari analogi yang
agak membingungkan ini, saya sendiri memandang bahwa kebijakan itu adalah upaya
Bu Mega untuk menyelamatkan krisis ekonomi yang diwariskan Soeharto plus untuk
membebaskan Indonesia dari tentakel Amerika.
Walaupun
memang seharusnya beliau tidaklah sekalap itu hingga mengobral aset negara dengan
jumlah yang sebanyak itu dengan harga semurah itu pula (again, penyakit Libra). Tapi ya kalau mau
dibanding-bandingkan dengan kebijakan SAP dan penjualan aset era SBY saat ini,
saya menilai pilihan bu Mega tetaplah yang paling ‘mendingan’.
Aah,
terlepas dari itu semua, saya kini mengagumi Bu Mega (walau saya curiga saya
ini jadi suka bu Mega karena saya suka sama Pak Jokowi).
Beliau
adalah bukti nyata bahwa perempuan yang kerap dicap sebagai makhluk lemah itu
bisa jadi sekeras besi ketika melindungi keluarganya (baca: bangsa). Dan sebagai
pemimpin, seperti halnya Thatcher, Bu Mega justru menunjukkan sikap yang lebih
garang dan teguh dari sebagian pemimpin laki-laki kita.
Dan
alasan lainnya juga mungkin karena dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab yang
akhir-akhir ini marak ditanyangkan secara berulang-ulang oleh Metro TV, saya
jadi kagum karena upaya Najwa untuk memancing tangisan dari pemimpin Partai
Banteng ini dengan menghadirkan memori terkait mendiang suaminya justru gagal.
Ibu Mega secara tak disangka justru menangis saat berbicara perihal nasib
bangsa. Dan dang! Saat itulah saya entah mengapa teringat dengan Rasulullah SAW
yang saat akan meninggal justru menangisi dan mendoakan umatnya, bukannya
keluarga dan sahabat-sahabatnya yang jelas lebih mencintainya.
I
adore you, Ma’am!
Good Analysis and Think Bube
BalasHapusAh! gue liat mata najwa yang ada bu mega-nya pas nangis:(
BalasHapushhmm,, sama2 perempuan kali yaa.. jadi lebih ngerti psikologisnya
BalasHapushehe :D
Saya ikut tercekat ketika Bu Mega berucap "Inginnya saya INDONESIA RAYA"...
BalasHapusYang menyetujui ada anggaran pensiun buat presiden juga dia. Pas dia mau lengser jadi presiden. Pro rakyat? buat indonesia? Mau ngapusin utang? *ngikik*
BalasHapusKalau tindakan bu mega dianggap menyelamatkan dari krisis yang ditingalkan soeharto, ya bisa dianggap tindakan SBY karena aset buat pemasukan negara sudah dijual mega.
Baru tahu kalo SBY itu dulunya PDIP. emang gak terlalu suka ngurusin politik sih. Tapi pas baca ini sedikit lebih tahu apalagi pas liat di mata najwa kemarin, Ibu Meganya sampai nangis endingnya. INDONESIA RAYA.
BalasHapusAnaloginya keren, asli.