26 Jan 2014

Megawati, Pagar, dan Amerika

Sumber Foto: Tribunnews.com

Sejujurnya saya dulu bukan pengagum berat Ibu Megawati Soekarnoputri.

Mungkin alasan paling mendasar adalah karena saya menilai beliau agak-gimana gitu setelah terkesan ‘ngambek’ pada Pak SBY saat beliau mengalahkannya dalam bursa pemilu dan jadi Presiden, dua periode lagi. Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Pak TK yang justru kerap menjadi ‘jembatan’ antara PDIP dan Pak SBY, Ibu Mega terkesan sangat anti sekali dengan mantan-bawahannya tersebut.

Mana lagi, Ibu Mega sangat sangat jarang mengekspos pemikiran dan permasalahannya di media, jadi saya agak-agak kurang mengerti kenapa beliau se-ngambek itu dengan Pak SBY. Sehingga kemudian sikap saya dengan beliau jadi kurang simpatik. Tapi kemudian entah apa juga yang saya harapkan dari sikap Ibu Mega: haruskah beliau bersikap fake dengan tetap wara-wiri dengan SBY meskipun di hati memendam ketidaksetujuan, atau sebenarnya justru bukankah lebih baik jika Ibu Mega jujur bersikap apa adanya meskipun beliau terkesan ngambek?


Entah juga. (Saya libra sih, rasanya semua-mua punya sisi benar dan salah. Wkwkwk)

Namun sejak beliau ‘mensponsori’ kesuksesan Jokowi, saya sedikit banyak jadi mulai mengerti apa yang dirasakan bu Mega, walau disisi lain juga mengerti ambisi dan sakit hati yang dirasakan pak SBY (sekali lagi, saya Libra, jadi rasanya semua sisi itu wajib dipertimbangkan).

Mosok ya ndak ngamuk kalau pagar yang telah dibesarkan itu justru memporak-porandakan tanaman-tanaman yang dijaga dengan sepenuh hati oleh Bu Mega? Pak SBY yang dipercaya sebagai salah satu ‘pagar’ PDIP kala itu justru ‘menenggelamkan’ apa yang dijaga dan dibesarkan Bu Mega dengan penuh cinta. Ya wajarlah ya kalau ngamuk, sekalipun memang si pagar itu sebenarnya punya mimpi yang lebih tinggi dari hanya menjadi pagar, dan satu-satunya cara agar dirinya meraih mimpi itu adalah mengkhianati orang yang membesarkannya. Ya manusiawi juga, tho?

Tapi terlepas dari segala masalah ngambek, pagar, dan tanaman itu, memang ada sisi dari seorang Megawati yang sangatsangatsangat saya sukai. Apa itu? Kekekek, tentu saja sikap garang Mega pada Amerika. Hohohoho.

Saat Amerika menyatakan akan menginvasi Irak, hanya Megawati yang berani mempertanyakan dan melayangkan sikap yang bersebrangan dengan Bush hingga Presiden negara Adikuasa ini uring-uringan. Negara-negara lainpun mengangkat alis melihat kerasnya sikap si Ibu ini. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan Amerika terkait teroris, walaupun awalnya Megawati mendukung Amerika, namun akhirnya secara tegas beliau menolak untuk mendukung Amerika mengobok-obok Negara orang (termasuk Indonesia) dengan alasan ingin memerangi teroris.

“Kita tidak anti Amerika. Tapi apakah kita tidak boleh berdaulat secara politik? Mandiri secara ekonomi? Berkepribadian secara budaya? Jika Amerika menghalangi kita mewujudkan tiga hal ini, maka kita lawan Amerika!”
Megawati, dalam buku ‘Megawati Anak Putra Sang Fajar’, halaman 107.

Yah, memang, tidak sepenuhnya garang sih, berhubung saat itu Indonesia masih terbelenggu utang yang menjadikannya harus menunduk dan manut di depan sang penagih hutang yakni Amerika.  Amerika, yang selalu dibuat kesal karena kegarangan Pak Soekarno, mulai mampu menancapkan tentakel-tentakelnya di Indonesia sejak politik utang lewat berbagai program seperti SAP (Structural Adjustment Program) dijalankan oleh Soeharto dan Habibie.

Hutang yang awalnya diberikan dengan topeng malaikat oleh Amerika inilah yang akhirnya menenggelamkan Indonesia dalam ketergantungan. Berkat hutang-hutang inilah, Indonesia yang dulu disegani dunia kini bagai selalu bercucuran keringat dingin saat tempo pembayaran semakin dekat dan nyaris pingsan saat si penagih hutang sudah mengetuk di pintu rumah sembari berkata: “Hayo, mau bayar hutang sekarang atau situ terima syarat-syarat yang saya ajukan?”.

Ibu Mega, sebagai anak yang tentunya menyaksikan kesakitan dan kekecewaan ayahnya atas politik yang dijalankan oleh Soeharto, tentunya memiliki dendam tersendiri dengan bangsa Adikuasa itu. Tak heran saat kemudian menjabat sebagai Presiden, beliau gerahhhh dengan utang-utang ini hingga kalap menjuali aset-aset berharga bangsa demi membayar uang jaminan yang membebaskan Indonesia dari belenggu IMF.

Kebijakan ini kemudian dikecam karena dianggap merugikan bangsa. Bahkan saya pernah berdebat dengan cukup hangat dengan salah satu teman twitter perihal ‘jual toko dan isinya’ ini. Doi memandang bahwa seharusnya isi toko saja yang dipinjam dan dijual, bukanya se-toko-tokonya yang dijual. Sementara, lepas dari analogi yang agak membingungkan ini, saya sendiri memandang bahwa kebijakan itu adalah upaya Bu Mega untuk menyelamatkan krisis ekonomi yang diwariskan Soeharto plus untuk membebaskan Indonesia dari tentakel Amerika.

Walaupun memang seharusnya beliau tidaklah sekalap itu hingga mengobral aset negara dengan jumlah yang sebanyak itu dengan harga semurah itu pula (again, penyakit Libra). Tapi ya kalau mau dibanding-bandingkan dengan kebijakan SAP dan penjualan aset era SBY saat ini, saya menilai pilihan bu Mega tetaplah yang paling ‘mendingan’.

Aah, terlepas dari itu semua, saya kini mengagumi Bu Mega (walau saya curiga saya ini jadi suka bu Mega karena saya suka sama Pak Jokowi).

Beliau adalah bukti nyata bahwa perempuan yang kerap dicap sebagai makhluk lemah itu bisa jadi sekeras besi ketika melindungi keluarganya (baca: bangsa). Dan sebagai pemimpin, seperti halnya Thatcher, Bu Mega justru menunjukkan sikap yang lebih garang dan teguh dari sebagian pemimpin laki-laki kita.

Dan alasan lainnya juga mungkin karena dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab yang akhir-akhir ini marak ditanyangkan secara berulang-ulang oleh Metro TV, saya jadi kagum karena upaya Najwa untuk memancing tangisan dari pemimpin Partai Banteng ini dengan menghadirkan memori terkait mendiang suaminya justru gagal. Ibu Mega secara tak disangka justru menangis saat berbicara perihal nasib bangsa. Dan dang! Saat itulah saya entah mengapa teringat dengan Rasulullah SAW yang saat akan meninggal justru menangisi dan mendoakan umatnya, bukannya keluarga dan sahabat-sahabatnya yang jelas lebih mencintainya.

I adore you, Ma’am!

6 komentar:

  1. Good Analysis and Think Bube

    BalasHapus
  2. Ah! gue liat mata najwa yang ada bu mega-nya pas nangis:(

    BalasHapus
  3. hhmm,, sama2 perempuan kali yaa.. jadi lebih ngerti psikologisnya
    hehe :D

    BalasHapus
  4. Saya ikut tercekat ketika Bu Mega berucap "Inginnya saya INDONESIA RAYA"...

    BalasHapus
  5. Yang menyetujui ada anggaran pensiun buat presiden juga dia. Pas dia mau lengser jadi presiden. Pro rakyat? buat indonesia? Mau ngapusin utang? *ngikik*

    Kalau tindakan bu mega dianggap menyelamatkan dari krisis yang ditingalkan soeharto, ya bisa dianggap tindakan SBY karena aset buat pemasukan negara sudah dijual mega.

    BalasHapus
  6. Baru tahu kalo SBY itu dulunya PDIP. emang gak terlalu suka ngurusin politik sih. Tapi pas baca ini sedikit lebih tahu apalagi pas liat di mata najwa kemarin, Ibu Meganya sampai nangis endingnya. INDONESIA RAYA.

    Analoginya keren, asli.

    BalasHapus

Daisypath Anniversary tickers