Add caption |
Adik saya di dunia ini cuma satu,
laki-laki.
Adik saya adalah anak laki-laki yang
ditunggu-tunggu keluarga kami selama 18 tahun. Karena kakek dan bapak saya
adalah anak lelaki tertua di keluarganya, dan tentunya mengharapkan anak
laki-laki untuk meneruskan nama. Sehingga saat adik saya lahir melengkapi 3
kakak perempuannya, ia membawa kebahagiaan yang tak terperi di keluarga kami.
Adik saya sejak dulu kehidupannya sudah
sulit. Ia bahkan pernah hampir meninggal saat masih bayi karena diare hebat,
telat berbicara, nilai-nilai pelajarannya di sekolah tidak sebaik
teman-temannya, menempuh fase-fase hidup penuh trauma karena berbagai
permasalahan keluarga, serta melewati ketakutan akibat terror dari kalangan GAM
di Aceh pada keluarga kami.
Adik saya juga kerap dijahati orang. Ia sering dipukul, ditendang, diejek, namun tak pernah membalas perlakuan itu. Ia hanya menangis sembari pulang ke rumah, melapor pada saya. Esoknya ia bahkan datang lagi ke perkumpulan anak-anak yang sama: seakan tanpa dendam, dan masih bermain dengan anak-anak yang sama. Tak sedikitpun kata-kata kasar pernah keluar darinya. Ya, memang, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang saya tahu memiliki pribadi yang begitu pemaaf.
Adik saya dulu juga tidak memiliki
fisik yang menarik. Gendut, berkulit hitam, dan rambutnya tegak seperti durian.
Sementara bapak saya tampan, ibu saya cantik, ditambah kakak-kakak saya juga
terkenal cantiknya.
Adik saya-pun dulu tidak memiliki otak
secemerlang kakak-kakaknya. Kakak kedua saya sangat sangat pintar. Sementara saya
dan kakak pertama, walau lemah di pelajaran eksak, gemilang di bidang lainnya. Tapi
adik saya nyaris menduduki peringkat akhir di kelas dan tidak memiliki prestasi
di bidang lainnya. Dulu, tak satupun piala yang bisa disumbangkan adik saya ke
lemari di ruang keluarga kami yang sudah sesak oleh piala-piala 3 kakak
perempuannya. Ia sering sekali menerima komentar menyedihkan, yang
mempertanyakan kenapa dia berbeda dengan kami semua. Bapak dan ibu saya-pun
terkadang tak mampu mengontrol emosi saat mengajarinya, karena tidak seperti
kakak-kakaknya, adik saya begitu lambat memproses pelajaran. Ia memilih main
game daripada belajar, dan lebih menyukai komik daripada menekuni buku
pelajaran.
Dia selalu suka menyusup ke kamar saya. |
Tapi adik saya adalah satu-satunya adik
yang saya punya di dunia ini. Dia juga merupakan anak laki-laki satu-satunya di
keluarga kami. Jika ada penyambung harapan bapak dan ibu saya, dia-lah
orangnya.
Dia adalah adik saya. Dialah anak berumur
5 tahun yang saya peluk sembari gemetar kedinginan karena disiram dan dihukum
bapak saya di kamar mandi semalaman. Dialah anak berumur 7 tahun yang saya
peluk dan saya nyanyikan lagu selama berjam-jam saat menangis karena ketakutan
saat dikurung di kandang ayam yang gelap. Dialah anak yang saya oleskan salap
ke lukanya saat dipukul orang.
Karena dia adalah adik saya. Dia adalah
satu-satunya adik yang saya punya di dunia ini. Untuk dia, apa yang tidak akan
saya lakukan?
Tidak pernah saya tunjukkan air mata di
depannya. Di depan dia, saya adalah kakak yang paling galak. Tidak pernah saya
tunjukkan kelemahan hati saya di depannya saat mengajar. Di depan dia, saya
adalah kakak yang paling tega. Karena dari umur 8 tahun saya sudah bertekad:
saya-lah yang akan jadi sosok ‘abang’ bagi dirinya. Saya bertekad, saya-lah
yang akan jadi sosok yang begitu tegas, keras, dan tega mengajarinya.
Dia tidak punya abang lelaki yang bisa
membalas perlakuan jahat anak-anak itu padanya. Tiap adik saya pulang sembari
menangis karena dijahati, saya marahi dia sampai tertidur. Saya paksa dia
berjanji untuk membalas lain kali, namun saya tahu dia tak akan mau. Dia tak
tega memukul anak lain sekalipun mereka memukulnya. Setelah ia tidur, barulah
saya keluar rumah dan mencari anak-anak nakal itu; saya-lah yang membalas
mereka hingga mereka menangis. Saya buat anak-anak kompleks ikut menjahati anak
nakal itu. Dan adik saya tidak perlu tahu.
Dia tidak punya abang lelaki yang bisa
mengajaknya bermain ala lelaki, atau menasehatinya dengan nasehat lelaki. Hingga
sejak kecil saya-lah yang mengajarinya memanjat pohon dan lemari pakaian hingga
kakinya patah, menemaninya main game, mengajaknya melakukan berbagai kenakalan,
yang ganti mengajarinya pelajaran saat orangtua saya sudah emosi, hingga
mendiktekan sms cinta pada anak perempuan yang sedang ia sukai.
Dia tidak punya abang lelaki yang bisa
menjadi mentor-nya. Hingga saya-lah yang menyeretnya dari kasur di kala subuh untuk
berlatih beladiri. Saat dia salah menjawab soal di buku pelajarannya, saya-lah
yang menyuruhnya push-up berkali-kali. Dan saat dia dia keliru melakukan
gerakan paskibra, saya-lah yang memukul tangannya dan menyuruhnya mengulangi
gerakan itu berkali-kali sekalipun dia sedang puasa. Saya jugalah yang
menyuruhnya untuk menguruskan badan dengan diet dan olahraga keras.
Kenapa? Apa saya memang tidak punya
hati?
Tidak. Kadang saya menangis karena
merasa bersalah sudah jahat padanya. Kadang saya tak tega karena mengajarinya
begitu keras. Kadang saya menyalahkan diri saat dia sakit akibat terlalu
memforsir diri mengikuti suruhan saya. Tapi tak sedikitpun yang saya tunjukkan
di depannya.
Lalu kenapa saya melakukan semua itu?
Karena dia adalah adik saya. Dia adalah
satu-satunya adik saya di dunia ini. Saat dia diejek orang, saya yang sakit
hati. Saat dia dipukul orang, saya yang dendam. Saat dia menerima raport jelek,
saya yang gemas. Saat kehidupannya menjahatinya begitu rupa, saya-lah yang
menangis pada Tuhan, memohon agar segala kemalangan ditimpakan pada saya saja,
bukan dia.
Saya tidak mau menjadi sosok kakak yang
‘baik’ untuknya, karena dia tidak butuh itu agar menjadi ‘orang’. Toh dia punya
2 kakak perempuan lainnya, dan dia butuh yang lain. Saya mencermati apa yang
dia butuhkan untuk menjadi sosok lelaki, dan saya ajari diri saya untuk bisa
menjadi sosok seperti apapun agar dia bisa memiliki kehidupan yang lebih
membahagiakan.
Saya tidak mau menyerah saat nyaris
semua orang sudah me-labelnya sebagai anak bodoh yang cupu. Saya tidak mau
menyerah mengetahui potensinya. Saya tidak mau percaya bahwa dia anak bodoh
yang tidak punya harapan untuk membanggakan.
Saya bahkan tidak mau menangis di
depannya saat ia sakit cukup keras. Alih-alih mengecilkan hatinya, saya cari
artikel mengenai itu di internet, saya print, dan saya suruh ia baca sampai ia
hafal sedetail-detailnya. Setelah itu saya nasehati dia berjam-jam, bukan dengan
gaya melankolis, namun tetap setegas dan sekeras biasanya. Saya remehkan
penyakitnya, saya buat dia melihat semua peluang kesembuhannya. Tangisan itu
saya simpan, dan saya tumpahkan saat dia tak melihat.
Saya ini perempuan, tapi saya lakukan
segala cara agar dia jadi lelaki. Saya tak pernah mengenal menyerah dalam
mengajarinya; karena saya tahu pasti potensi adik saya yang luar biasa, dan
perjuangan untuk meraihnya tidak akan semudah membalikkan tangan.
Dan lihatlah adik saya sekarang.
Masuk ke sekolah bergengsi di
daerahnya, memiliki nilai pelajaran tertinggi, ketua OSIS, atlet di berbagai
bidang olahraga, dan anggota paskibra. Fisiknya-pun sudah jauh berubah, ia kini
tampan dengan tubuh tegap yang proporsional. Kini dia memiliki banyak sekali
teman (dan tentunya ditaksir banyak anak perempuan), dan termasuk anak popular di
lingkungannya. Dulu ia berjalan dengan membungkukkan tubuh dan wajah ke bawah,
dan saat ini ia sudah bisa menenggakkan punggung dan mengangkat wajahnya;
menunjukkan bahwa ia membanggakan dan memiliki kepercayaan diri untuk
membuktikannya.
Yang selama ini orang tidak tahu adalah
bahwa, adik saya itu memiliki potensi yang jauh lebih baik dari kakak-kakaknya.
IQ-nya pun lebih tinggi dari kami bertiga. Ia mampu memainkan banyak alat
musik, sementara tak satupun dari kakaknya yang bisa. Adik saya juga anak yang paling baik diantara 3 kakaknya. Dia begitu perhatian, memiliki empati yang besar, dan penuh kasih-sayang. Dialah yang merawat ibu saya saat sakit dengan begitu telaten hingga membuat tetangga iri akan kasih sayangnya. Dia bahkan tak segan ingin membelanjakan uang yang dia miliki hanya untuk menyenangkan saya. Adik saya juga ulet, pribadi yang sebenarnya keras, hingga saat ia sudah bertekad, ia mampu meraih apa yang dia inginkan. Dan yang adik saya butuhkan
hanyalah waktu dan motivasi untuk bisa unjuk diri.
Dia yang saat ini bukanlah ‘hasil’ dari
kerja siapapun termasuk saya. Dia yang saat ini adalah hasil dari perjuangannya
sendiri selama ini. Dia yang saat ini adalah hasil dari kerasnya usaha dan
keringat yang dia tempuh untuk meraih kesuksesannya sendiri.
Saya dan adik saya saat saya mengajarinya latihan PBB |
Dan bukanlah dia yang saya tolong. Tapi
dialah yang mengajari saya banyak pelajaran tentang hidup. Dialah yang mendidik
saya menjadi seorang yang tangguh, yang mampu mengedepankan motivasi
berlandaskan kasih sayang dibanding mengutuki kehidupan. Dialah yang melatih saya menjadi seorang calon-ibu untuk anak-anak saya nanti. Dan dialah yang menyadarkan saya bahwa tidak ada anak yang bodoh, jelek, atau tidak bisa membanggakan di dunia ini; setiap anak adalah tunas, dan ia akan tumbuh menjadi sesuatu yang sesuai dengan apa yang diberikan oleh lingkungannya.
Yang saya lakukan hanya membuatnya tak
pernah menyerah dengan dirinya sendiri. Yang saya lakukan hanya hal yang
semestinya dilakukan oleh seorang saudara; melakukan apapun demi saudaranya yang
lain.
Karena dia adalah adik saya, adik saya satu-satunya
di dunia…
.
Ya Allah hebat sekali, kak :))
BalasHapusSaya terharu, sama-sama punya 1 adik lelaki dengan kekurangan yang membuat ia dikenal buruk. Tapi saya bukan kakak sebaik kamu. Entah seperti apa adik saya kelak :"
Tidak ada kata terlambat untuk berjuang, kok ;) ayo dukung adik km supaya dia bisa jdi anak yg lebih baik!
Hapusmama jadi sedih.........
BalasHapuslha kok sedih miii? hahahha. bangga dong mi, anak mami keren-keren kan? fufufu.
Hapussedih, nasib mbak sama banget sama saya, cuma saya sebaliknya, saya tidak memiliki adik laki-laki
BalasHapusKok malah sediiih hahahaha :D semangat maas! Lho jadinya mas punya-nya adik perempuan?
Hapussini ndar...jangan ma ka abe..tar di suruh push up...hehehe...nice story kebeh...semangat ya buat andar...insyaalah kalian berdua bisa tumbuh jadi orang2 hebat....amieeeennn
BalasHapuswohh sekarang dia mah kaga disuruh push up udh push up mulu kak. hahaha. amiiin amiiin ^^ makasi kak cihh
Hapusaminnnn kak ci!
HapusKagum pada Suci ketika memutuskan untuk menjadi sosok "abang" bagi adiknya, apalagi saat itu usia Suci masih delapan tahun. Salam untuk adiknya, semoga semakin dapat membanggakan keluarga :)
BalasHapus^^ terimakasiih.. aminamin..
Hapusfoto lamanya unyu-unyu...
BalasHapushahhaha. sayang ya, foto sekarangnya udah amit-amit ;p
HapusKereenn ci..
BalasHapusNtah kenapa gue mewek waktu baca ini -___-
Iyah Ci. Terharu T.T Yang foto udah gede mirippp kalian hihihi. Eh eh, Mbak Hana masak kapan itu cerita tentang Suci :P Trus mau minta diramal :P
Hapuswow, menyentuh sekali tulisan suci :)
BalasHapusTerharu bacanya kak Suci..
BalasHapusSalam buat adiknya :)
Mewek banget ciik cantik baca ini, sayang aku bacanya udah telat, nyesel kurang apdet blog kamu.. beruntungnya mama dan papa kamu ya cii :))))
BalasHapussaya begitu terharu setelah membaca ini
BalasHapus-dev
pertama kali baca..mewek sejadi2 nya.. kedua kalinya baca..tetep mewek.. smpek tiga kli baca masih juga meweek..
BalasHapusternyata ini alasan..knpa andar begitu menyayangi kk be nya..