16 Jan 2014

Karena Dia Adalah Adik Saya

Add caption


Adik saya di dunia ini cuma satu, laki-laki.

Adik saya adalah anak laki-laki yang ditunggu-tunggu keluarga kami selama 18 tahun. Karena kakek dan bapak saya adalah anak lelaki tertua di keluarganya, dan tentunya mengharapkan anak laki-laki untuk meneruskan nama. Sehingga saat adik saya lahir melengkapi 3 kakak perempuannya, ia membawa kebahagiaan yang tak terperi di keluarga kami.

Adik saya sejak dulu kehidupannya sudah sulit. Ia bahkan pernah hampir meninggal saat masih bayi karena diare hebat, telat berbicara, nilai-nilai pelajarannya di sekolah tidak sebaik teman-temannya, menempuh fase-fase hidup penuh trauma karena berbagai permasalahan keluarga, serta melewati ketakutan akibat terror dari kalangan GAM di Aceh pada keluarga kami.

Adik saya juga kerap dijahati orang. Ia sering dipukul, ditendang, diejek, namun tak pernah membalas perlakuan itu. Ia hanya menangis sembari pulang ke rumah, melapor pada saya. Esoknya ia bahkan datang lagi ke perkumpulan anak-anak yang sama: seakan tanpa dendam, dan masih bermain dengan anak-anak yang sama. Tak sedikitpun kata-kata kasar pernah keluar darinya. Ya, memang, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang saya tahu memiliki pribadi yang begitu pemaaf.

Adik saya dulu juga tidak memiliki fisik yang menarik. Gendut, berkulit hitam, dan rambutnya tegak seperti durian. Sementara bapak saya tampan, ibu saya cantik, ditambah kakak-kakak saya juga terkenal cantiknya. 

Adik saya-pun dulu tidak memiliki otak secemerlang kakak-kakaknya. Kakak kedua saya sangat sangat pintar. Sementara saya dan kakak pertama, walau lemah di pelajaran eksak, gemilang di bidang lainnya. Tapi adik saya nyaris menduduki peringkat akhir di kelas dan tidak memiliki prestasi di bidang lainnya. Dulu, tak satupun piala yang bisa disumbangkan adik saya ke lemari di ruang keluarga kami yang sudah sesak oleh piala-piala 3 kakak perempuannya. Ia sering sekali menerima komentar menyedihkan, yang mempertanyakan kenapa dia berbeda dengan kami semua. Bapak dan ibu saya-pun terkadang tak mampu mengontrol emosi saat mengajarinya, karena tidak seperti kakak-kakaknya, adik saya begitu lambat memproses pelajaran. Ia memilih main game daripada belajar, dan lebih menyukai komik daripada menekuni buku pelajaran.

Dia selalu suka menyusup ke kamar saya.

Tapi adik saya adalah satu-satunya adik yang saya punya di dunia ini. Dia juga merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Jika ada penyambung harapan bapak dan ibu saya, dia-lah orangnya. 

Dia adalah adik saya. Dialah anak berumur 5 tahun yang saya peluk sembari gemetar kedinginan karena disiram dan dihukum bapak saya di kamar mandi semalaman. Dialah anak berumur 7 tahun yang saya peluk dan saya nyanyikan lagu selama berjam-jam saat menangis karena ketakutan saat dikurung di kandang ayam yang gelap. Dialah anak yang saya oleskan salap ke lukanya saat dipukul orang.


Karena dia adalah adik saya. Dia adalah satu-satunya adik yang saya punya di dunia ini. Untuk dia, apa yang tidak akan saya lakukan?

Tidak pernah saya tunjukkan air mata di depannya. Di depan dia, saya adalah kakak yang paling galak. Tidak pernah saya tunjukkan kelemahan hati saya di depannya saat mengajar. Di depan dia, saya adalah kakak yang paling tega. Karena dari umur 8 tahun saya sudah bertekad: saya-lah yang akan jadi sosok ‘abang’ bagi dirinya. Saya bertekad, saya-lah yang akan jadi sosok yang begitu tegas, keras, dan tega mengajarinya.

Dia tidak punya abang lelaki yang bisa membalas perlakuan jahat anak-anak itu padanya. Tiap adik saya pulang sembari menangis karena dijahati, saya marahi dia sampai tertidur. Saya paksa dia berjanji untuk membalas lain kali, namun saya tahu dia tak akan mau. Dia tak tega memukul anak lain sekalipun mereka memukulnya. Setelah ia tidur, barulah saya keluar rumah dan mencari anak-anak nakal itu; saya-lah yang membalas mereka hingga mereka menangis. Saya buat anak-anak kompleks ikut menjahati anak nakal itu. Dan adik saya tidak perlu tahu.

Dia tidak punya abang lelaki yang bisa mengajaknya bermain ala lelaki, atau menasehatinya dengan nasehat lelaki. Hingga sejak kecil saya-lah yang mengajarinya memanjat pohon dan lemari pakaian hingga kakinya patah, menemaninya main game, mengajaknya melakukan berbagai kenakalan, yang ganti mengajarinya pelajaran saat orangtua saya sudah emosi, hingga mendiktekan sms cinta pada anak perempuan yang sedang ia sukai.  

Dia tidak punya abang lelaki yang bisa menjadi mentor-nya. Hingga saya-lah yang menyeretnya dari kasur di kala subuh untuk berlatih beladiri. Saat dia salah menjawab soal di buku pelajarannya, saya-lah yang menyuruhnya push-up berkali-kali. Dan saat dia dia keliru melakukan gerakan paskibra, saya-lah yang memukul tangannya dan menyuruhnya mengulangi gerakan itu berkali-kali sekalipun dia sedang puasa. Saya jugalah yang menyuruhnya untuk menguruskan badan dengan diet dan olahraga keras.

Kenapa? Apa saya memang tidak punya hati?

Tidak. Kadang saya menangis karena merasa bersalah sudah jahat padanya. Kadang saya tak tega karena mengajarinya begitu keras. Kadang saya menyalahkan diri saat dia sakit akibat terlalu memforsir diri mengikuti suruhan saya. Tapi tak sedikitpun yang saya tunjukkan di depannya.

Lalu kenapa saya melakukan semua itu?

Karena dia adalah adik saya. Dia adalah satu-satunya adik saya di dunia ini. Saat dia diejek orang, saya yang sakit hati. Saat dia dipukul orang, saya yang dendam. Saat dia menerima raport jelek, saya yang gemas. Saat kehidupannya menjahatinya begitu rupa, saya-lah yang menangis pada Tuhan, memohon agar segala kemalangan ditimpakan pada saya saja, bukan dia.

Saya tidak mau menjadi sosok kakak yang ‘baik’ untuknya, karena dia tidak butuh itu agar menjadi ‘orang’. Toh dia punya 2 kakak perempuan lainnya, dan dia butuh yang lain. Saya mencermati apa yang dia butuhkan untuk menjadi sosok lelaki, dan saya ajari diri saya untuk bisa menjadi sosok seperti apapun agar dia bisa memiliki kehidupan yang lebih membahagiakan.

Saya tidak mau menyerah saat nyaris semua orang sudah me-labelnya sebagai anak bodoh yang cupu. Saya tidak mau menyerah mengetahui potensinya. Saya tidak mau percaya bahwa dia anak bodoh yang tidak punya harapan untuk membanggakan.

Saya bahkan tidak mau menangis di depannya saat ia sakit cukup keras. Alih-alih mengecilkan hatinya, saya cari artikel mengenai itu di internet, saya print, dan saya suruh ia baca sampai ia hafal sedetail-detailnya. Setelah itu saya nasehati dia berjam-jam, bukan dengan gaya melankolis, namun tetap setegas dan sekeras biasanya. Saya remehkan penyakitnya, saya buat dia melihat semua peluang kesembuhannya. Tangisan itu saya simpan, dan saya tumpahkan saat dia tak melihat.

Saya ini perempuan, tapi saya lakukan segala cara agar dia jadi lelaki. Saya tak pernah mengenal menyerah dalam mengajarinya; karena saya tahu pasti potensi adik saya yang luar biasa, dan perjuangan untuk meraihnya tidak akan semudah membalikkan tangan.

Dan lihatlah adik saya sekarang.



Masuk ke sekolah bergengsi di daerahnya, memiliki nilai pelajaran tertinggi, ketua OSIS, atlet di berbagai bidang olahraga, dan anggota paskibra. Fisiknya-pun sudah jauh berubah, ia kini tampan dengan tubuh tegap yang proporsional. Kini dia memiliki banyak sekali teman (dan tentunya ditaksir banyak anak perempuan), dan termasuk anak popular di lingkungannya. Dulu ia berjalan dengan membungkukkan tubuh dan wajah ke bawah, dan saat ini ia sudah bisa menenggakkan punggung dan mengangkat wajahnya; menunjukkan bahwa ia membanggakan dan memiliki kepercayaan diri untuk membuktikannya.



Yang selama ini orang tidak tahu adalah bahwa, adik saya itu memiliki potensi yang jauh lebih baik dari kakak-kakaknya. IQ-nya pun lebih tinggi dari kami bertiga. Ia mampu memainkan banyak alat musik, sementara tak satupun dari kakaknya yang bisa. Adik saya juga anak yang paling baik diantara 3 kakaknya. Dia begitu perhatian, memiliki empati yang besar, dan penuh kasih-sayang. Dialah yang merawat ibu saya saat sakit dengan begitu telaten hingga membuat tetangga iri akan kasih sayangnya. Dia bahkan tak segan ingin membelanjakan uang yang dia miliki hanya untuk menyenangkan saya. Adik saya juga ulet, pribadi yang sebenarnya keras, hingga saat ia sudah bertekad, ia mampu meraih apa yang dia inginkan. Dan yang adik saya butuhkan hanyalah waktu dan motivasi untuk bisa unjuk diri.

Dia yang saat ini bukanlah ‘hasil’ dari kerja siapapun termasuk saya. Dia yang saat ini adalah hasil dari perjuangannya sendiri selama ini. Dia yang saat ini adalah hasil dari kerasnya usaha dan keringat yang dia tempuh untuk meraih kesuksesannya sendiri.

Saya dan adik saya saat saya mengajarinya latihan PBB
Dan bukanlah dia yang saya tolong. Tapi dialah yang mengajari saya banyak pelajaran tentang hidup. Dialah yang mendidik saya menjadi seorang yang tangguh, yang mampu mengedepankan motivasi berlandaskan kasih sayang dibanding mengutuki kehidupan. Dialah yang melatih saya menjadi seorang calon-ibu untuk anak-anak saya nanti. Dan dialah yang menyadarkan saya bahwa tidak ada anak yang bodoh, jelek, atau tidak bisa membanggakan di dunia ini; setiap anak adalah tunas, dan ia akan tumbuh menjadi sesuatu yang sesuai dengan apa yang diberikan oleh lingkungannya.  

Yang saya lakukan hanya membuatnya tak pernah menyerah dengan dirinya sendiri. Yang saya lakukan hanya hal yang semestinya dilakukan oleh seorang saudara; melakukan apapun demi saudaranya yang lain.

Karena dia adalah adik saya, adik saya satu-satunya di dunia…


.

20 komentar:

  1. Ya Allah hebat sekali, kak :))
    Saya terharu, sama-sama punya 1 adik lelaki dengan kekurangan yang membuat ia dikenal buruk. Tapi saya bukan kakak sebaik kamu. Entah seperti apa adik saya kelak :"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak ada kata terlambat untuk berjuang, kok ;) ayo dukung adik km supaya dia bisa jdi anak yg lebih baik!

      Hapus
  2. Balasan
    1. lha kok sedih miii? hahahha. bangga dong mi, anak mami keren-keren kan? fufufu.

      Hapus
  3. sedih, nasib mbak sama banget sama saya, cuma saya sebaliknya, saya tidak memiliki adik laki-laki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok malah sediiih hahahaha :D semangat maas! Lho jadinya mas punya-nya adik perempuan?

      Hapus
  4. sini ndar...jangan ma ka abe..tar di suruh push up...hehehe...nice story kebeh...semangat ya buat andar...insyaalah kalian berdua bisa tumbuh jadi orang2 hebat....amieeeennn

    BalasHapus
    Balasan
    1. wohh sekarang dia mah kaga disuruh push up udh push up mulu kak. hahaha. amiiin amiiin ^^ makasi kak cihh

      Hapus
  5. Kagum pada Suci ketika memutuskan untuk menjadi sosok "abang" bagi adiknya, apalagi saat itu usia Suci masih delapan tahun. Salam untuk adiknya, semoga semakin dapat membanggakan keluarga :)

    BalasHapus
  6. foto lamanya unyu-unyu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahhaha. sayang ya, foto sekarangnya udah amit-amit ;p

      Hapus
  7. Kereenn ci..
    Ntah kenapa gue mewek waktu baca ini -___-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah Ci. Terharu T.T Yang foto udah gede mirippp kalian hihihi. Eh eh, Mbak Hana masak kapan itu cerita tentang Suci :P Trus mau minta diramal :P

      Hapus
  8. wow, menyentuh sekali tulisan suci :)

    BalasHapus
  9. Terharu bacanya kak Suci..
    Salam buat adiknya :)

    BalasHapus
  10. Mewek banget ciik cantik baca ini, sayang aku bacanya udah telat, nyesel kurang apdet blog kamu.. beruntungnya mama dan papa kamu ya cii :))))

    BalasHapus
  11. saya begitu terharu setelah membaca ini

    -dev

    BalasHapus
  12. pertama kali baca..mewek sejadi2 nya.. kedua kalinya baca..tetep mewek.. smpek tiga kli baca masih juga meweek..
    ternyata ini alasan..knpa andar begitu menyayangi kk be nya..

    BalasHapus

Daisypath Anniversary tickers