Dulu, kata-kata itu terdengar tak masuk
akal, karena toh, keduanya begitu bertolak belakang. Dan dulu, aku selalu
berpikir bagaimana bisa kita mencintai dan membenci seseorang di saat yang
sama?
Ya, aku tak pernah percaya bahwa cinta
dan benci berbatas tiada, hingga aku terjerat dalam Dunia-Cahaya-Freeya.
Ia gadis yang kutemui saat pipiku
tengah berlinangan air mata karena kehilangan sejumlah barang berharga dalam
kerumunan mahasiswa yang tengah mendaftar ulang ke kampus ini. Saat itu, aku
hanya mampu tertunduk, kebingungan, dan menangis diam-diam dalam keacuhan
orang-orang disekitar yang lebih sibuk mencari-cari sekutu sesama-mahasiswa
baru daripada memerhatikan sosok suram yang nyaris tak terlihat. Namun berbeda halnya
dengan ribuan orang itu, ia mendekat, gadis bertubuh padat dengan tinggi
sedikit diatas rata-rata yang dengan cueknya mengenakan jeans pudar-kotor, kaos
putih, dan scarf abu-abu. Ia berjongkok di sebelahku dan secara praktis menjadi
satu-satunya orang yang perduli sejak 37 menit berlalu sejak aku meringkuk di
sudut lapangan.
Tutur katanya memikat. Bukan tipe
memikat yang dipenuhi sensualitas, bukan. Namun tipe memikat yang kharismatik
dan begitu kuat sehingga seakan-akan mampu membius lawan bicaranya hingga
terpaksa menyetujui apa saja yang keluar dari bibir tebalnya. Selain itu,
menurutku, yang mana argumentasi ini kemudian juga didukung oleh berbagai komentar
sambil-lalu teman-teman yang lain, bagian paling menarik dari Freeya adalah
matanya yang tajam dan sangat ekspresif. Sorot mata yang tak ingin kau tatap
balik saat ia tengah marah padamu, ataupun kala dia tengah menginterogasi
dirimu mengenai sesuatu. Karena sorot mata itu seperti mampu membaca isi hati
yang dengan sulit kau sembunyikan dalam-dalam ke lipatan-lipatan serabut
otakmu.
Dan diujung dunia lain yang mungkin
terpisah begitu jauh dari Dunia-Cahaya-Freeya, aku meringkuk dalam nestapa. Berbeda
dengan dirinya, tutur kataku kerap kacau, tak fokus, dan dipoles lagi dengan
volume suara yang mungkin hanya sekitar level 4-5 skala volume TV. Aku tak pernah
berani bertatapan mata lama-lama, dan memilih menelan bulat-bulat semua yang
ingin kukatakan, karena bahkan, dalam pemikiranku-pun argumentasi itu terdengar
bodoh dan konyol, serta berpotensi besar menguburku hidup-hidup dalam rasa
malu.
Itulah sebabnya, aku tak pernah sakit
hati jika orang kerap bergurau dengan menyebut aku hidup dalam bayangan Freeya.
Dia-lah mataharinya, sementara aku ini… apa? Bulan? Ha! Bahkan sebutan
bulan-pun terlalu tinggi. Setidak-tidaknya bulan bersinar walau dengan pantulan
Matahari.
Aku ini bunga matahari kualitas rendah.
Ya, bunga matahari yang BERKUALITAS RENDAH. Yang bahkan tak mampu memantulkan
sinar, serta hanya berani mengadahkan wajahnya saat Matahari ada di dekatku,
dan kembali layu serta mengekeriput saat Matahari-ku tak lagi ada. Cocok,
analogi yang sempurna untuk menggambarkan perempuan berumur 20 yang hanya
mengkeriput diam bagai arwah penunggu kelas saat Freeya absen kuliah, dan baru
berani tertawa, tersenyum, dan sesekali bersuara saat Freeya ada.
Freeya, dalam segala jenis definisi,
menjadi orang yang paling kucintai di dunia ini. Eh, ya tentu saja tanpa
embel-embel kebirahian, karena toh, sampai sekarang aku masih ‘lurus’. Setiap
Freeya muncul dengan tas ransel dan sepatu boots-nya, rasanya kebahagiaanku
memuncak. Gairah hidupku kembali menggeliat, bagai lampu yang dialiri listrik.
Itu awalnya. Sampai akhirnya aku
mengenal hal se-absurd cinta dalam sosok Anggara.
Lelaki itu bukan lelaki yang paling
tampan se-kampus. Namun tinggi badan dan otot yang melekat akibat hobi futsal
menjadikan sosoknya sebagai sosok yang cukup menarik mata. garis rahangnya
tegas, dengan sorot mata tajam dan rambut yang secara alamiah tak bisa rebah. Selain
itu, kepintaran dan kecerdasannya-lah yang paling memikatku, diluar
kepribadiannya yang easy going dan berkharisma. Ah… Singkatnya, Anggara adalah
Freeya versi lelaki.
Iya, lagi-lagi aku jatuh cinta pada
sosok Matahari.
Layaknya roman picisan yang ditokohi
seseorang yang culun dan suram kepada seseorang yang bersinar bak mega bintang,
kisah cintaku tentu saja tidak membahagiakan. Setiap kali Anggara mendekat (dan
membuat jantungku menggelinding bebas ke perut), ia pasti menatap dan tersenyum
padaku, sebelum akhirnya berpaling pada orang yang sebenarnya sejak awal ingin
dia ajak bicara—Freeya.
Dan yang paling menyedihkannya, awalnya
aku tak mampu membenci Matahari-ku itu. Bukan Freeya yang mencintai orang yang
kucintai. Aku tahu betul hati Freeya masih dikuasai seseorang yang telah berada
di alam lain. Ya, bukan Freeya yang merebut perhatian Anggara dariku. Namun lelaki
yang kudamba itulah yang jatuh hati pada sahabatku sendiri. Lelaki itu memang
sejak awal tak pernah melihatku selain karena alasan sopan dan santun, sebagai sahabat
dari perempuan yang tengah ia coba pikat hatinya.
Namun kemudian, hatiku semakin lama
terasa semakin perih saat bersama-nya. Kusadari, ternyata selain menyedihkan,
aku ini juga manusia paling picik yang pernah ada. Tak satupun kata-kata yang
mampu kucetuskan keluar agar Freeya mengerti atau membantu. Mulutku terkunci
sementara aku semakin larut dalam keputusasaan dan kedengkian yang kupendam
sendiri.
Sejak saat itulah Matahari yang selama
bertahun-tahun menjadi pusat duniaku, sumber inspirasi dan semangat hidupku,
menjadi terasa terlalu terik dan menghujamkan rasa perih yang membakar di mata.
Sejak saat itulah, aku menghabiskan
hari-hariku dalam penderitaan yang bahkan lebih hebat dari masa-masa
menyedihkan sebelum aku mengenal Freeya. Aku menghabiskan waktuku dengan duduk
di sebelah orang yang begitu kudambakan, yang wajahnya diam-diam selalu aku
panggil saat aku memejamkan mata, hanya untuk menyaksikan betapa berbinar bola
matanya, betapa mencinta setiap lekuk wajahnya, pada orang yang bukan aku. Namun
pada perempuan yang jelas bukan aku, namun perempuan yang duduk di sebelahku,
orang yang sedetikpun tak pernah dengan lancang kubandingkan dengan
keberadaanku.
Anggara begitu dekat, hingga wangi
cologne-nya bisa kuhirup dalam-dalam. Tangannya hanya berjarak 30 centimeter,
dan bahunya yang dalam anganku kerap kujadikan tempat bersandar itu, begitu
dekat hingga rasanya bisa saja tanpa sadar kuletakkan kepalaku disana. Di depanku,
ia tertawa, bercerita, dan membisikkan rahasia-rahasianya.
Tapi semua itu bukan untukku. Seberapapun
kerasnya aku berjuang untuk menganggap dia ‘ada’ untukku, namun kenyataan pahit
bahwa hati dan seluruh inderanya hanya untuk Freeya, terlalu nyata untuk bisa
ku-acuhkan.
Ahh.. Aku kira cinta adalah sesuatu
yang membahagiakan. Sesuatu yang membuatmu merasa dimabuk eleksir dari nirwana.
Namun semua puisi picisan itu salah. Cinta yang kukenal ini begitu menyakitkan…
Freeya bukan perempuan bodoh, pun ia
bukan sahabat yang tak peka. Berulangkali ia bertanya mengapa aku bersikap
aneh, menarik diri, dan menatapnya dengan sorot yang berbeda. Berulangkali ia
membujuk, bertanya, dan lalu kesal karena aku tak kunjung membuka kebisuanku. Dan
setiap usaha-nya itu, justru menorehkan luka-luka lain pada luka-ku yang sudah
kadung besar dan bernanah.
Aku mengutuki diriku karena begitu
menyedihkan. Memiliki cinta, tapi tak mampu bicara. Jangankan merebut perhatian
lelaki yang kudamba, membuatnya menatapku alih-alih Freeya selama 1 menit saja
aku tak bisa. Dan dalam waktu yang sama, aku membenci sahabatku sendiri karena
ia menerima semua yang aku inginkan. Dalam waktu yang sama pula, aku membenci
diriku sendiri karena membenci dia.
Dan ku-kutuki diriku habis-habisan
karena memiliki hati yang begitu buruk. Membenci dan merasa iri pada teman yang
memiliki apa yang tak kupunya, dan menyalahkannya saat ia tak tahu bahwa aku
diam-diam merasa sakit hati olehnya.
Duniaku yang sempat mencicip fajar
sejak adanya Freeya, kini kembali dirubung kabut dingin dan muramnya awan hujan…
Aku menolak tinggal lebih lama di sisi
Freeya. Aku tak lagi berusaha duduk di sebelahnya atau mengikutinya kemana-mana
seperti biasanya. Aku memilih sendiri, memilih mengasingkan diriku dalam
gelembung besar yang tak bisa dimasuki siapa-siapa. Aku memilih berhenti
mencintai dan mengikuti Matahari, yang kini aku sadari mampu membakar dan
membuatku layu saat intensitasku dengannya begitu tinggi.
Menyerah dan pergi, menjadi pilihanku
yang tak punya sepucuk keberanian macam apapun.
Memang tak semudah itu, karena Freeya
terus merongrongkan berbagai pertanyaan. Berbagai rangkaian kata berisi maaf
terus ia kirimkan lewat berpuluh-puluh pesan singkat. Aku menyadari bahwa
semakin aku menjauh, semakin Freeya frustasi karena mengira aku marah padanya,
dan bersikeras mendekatiku. Dan iya, akupun tahu, makin besar pula rasa sakit
yang kutorehkan dalam hatinya.
Dear, Hesti… Mereka bilang aku Matahari, dan kau Bunga Matahari kecil. Kaulah yang mekar dan mengikuti setiap kali aku lewat. Kaulah yang membutuhkan dan menggantungkan segalanya padaku, sementara aku bersinar mandiri, jauh darimu. Yang mereka tak tahu, bahwa Matahari ini menyayangimu. Ia menyapamu dan menyaksikan kau mekar tiap ia lewat. Ia menyadari bahwa ia menyukai keindahan yang kau tebarkan dalam perjalanannya yang singkat. Bahwa Matahari ini mengagumi dirimu yang tetap tegar dalam kesendirianmu. Pada akhirnya bukan Bunga Matahari saja yang mengikuti arah Matahari pergi, namun Matahari-lah yang sengaja lewat disana untuk menemani si Bunga Matahari.
Kata-kata itu, ia torehkan dalam
sepucuk surat yang ia selipkan dalam tasku. Sungguh tradisional, membuatku
terkekeh dalam air mata. Mungkin Freeya khawatir pesan singkat dan email-nya
kuhapus tanpa kubaca hingga ia bertindak se-romantis ini.
Sayangnya, bukan aku tak tahu kasih
sayangnya yang tulus sejak awal. Dan bukannya aku tak sadar bahwa mungkin,
seumur hidupku, hanya dialah yang bisa kusebut sahabat. Dia begitu baik hati,
hanya dia yang menghampiriku saat yang lain memutuskan untuk tidak perduli.
Namun aku menyadari bahwa aku tak mampu
lagi menatap ke arahnya. Aku tak bisa lagi menahan panas yang menguar darinya
tanpa membunuh diri sendiri. Bukan salahnya-lah hingga ia begitu bersinar,
begitu luar biasa. Aku-lah yang menemukan bahwa aku bukanlah makhluk yang cocok
untuk tinggal di Dunia-Cahaya-Freeya.
Aku hanya tak mampu tinggal lebih lama di
sisinya. Tak bisa lagi mekar saat ia ada karena digerogoti kenestapaanku
sendiri. Aku hanya menyadari, bahwa semakin lama aku berada di sisinya, semakin
aku menyadari betapa buruk dan menyedihkannya diriku ini. Semakin pula
kedengkian dan iri hati menggerogoti hati ini.
Kami hanya begitu jauh berbeda, namun
sayangnya dalam jarak yang tadinya begitu dekat. Dan seperti apapun aku
berjuang untuk menjadi orang yang berbesar hati dan menjadikan semua ini
sebagai batu loncatan, kusadari bahwa tak semua orang memiliki cukup energi positif
untuk bangkit, terutama aku. Bahkan kasih sayang nyata dari Freeya tak mampu
mengangkatku kembali untuk berdiri. Tak mampu mendewasakanku. Karena aku tahu,
aku yang memilih untuk tetap terpuruk dalam zona amanku. Aku yang memilih
meninggalkan Freeya, dan kembali ke Dunia-Kelam-Hesti.
Pada akhirnya surat itu hanya kuremukan
dan kulemparkan ke tempat sampah dengan sebelah tangan. Aku kembali meringkuk
suram di atas kursi di pojok ruangan kelas yang sepi itu, menangis diam-diam tanpa
berharap akan dihampiri siapapun.
Ya, aku menyayanginya. Namun ternyata
rasa sayang itu tak mampu melindungiku dari membenci dan disakiti oleh
keberadaannya.
Aku menyerah, dan membiarkan diriku
tetap berada di tempat yang semestinya, dunia tanpa Matahari.
wah keren banget ceritanya, saya jadi ikut terhanyut kedalam ceritanya. :D
BalasHapusTerimakasiiiih ^^
Hapus