6 Mar 2013

Hidupku dalam Mencintaimu


Ini cerpen lama di blog lama gue. Kemarin saat googling, gue kembali menemukannya dan jadi sedikit rindu, soalnya yaaah, cerpen ini agak istimewa bagi gue. Cerpen ini aslinya gue tulis di pertengahan 2009, dan baru gue publish bulan Agustus 2010 di blog itu.  Semoga syukaaa (^^)

sumber gambar disini

Rasanya sinar matamu semakin meredup setiap kali engkau membukakan pintu bagiku yang kepulangannya bisa dihitung jari dalam enam bulan.

Tapi rutinitasmu selalu sama. Menyambutku dengan senyum dan mesra, mendudukanku di sofa ruang keluarga kita, membasuh kakiku dengan handuk panas, lalu menyediakan segelas the pahit yang kental. Kau akan duduk di sebelahku, memandangku seakan akulah makhluk paling berharga di dunia ini, lalu mengecup keningku dengan seluruh kerinduan yang kau pendam.

Melihatmu, terkadang aku berpikir… bukankah aku makhluk paling nista di dunia ini?

Menyia-nyiakan istri sebaik dan sesempurna dirimu… memberimu waktu dan perhatian yang nyaris tak akan pernah mencukupi… sedangkan kau masihlah wanita yang butuh disayangi. Aku tahu aku kejam karena tak membiarkanmu pergi dari sisiku untuk mencapai kebahagiaan yang lain. Akulah monster yang memerangkap dan menghabiskan hidupmu dalam penantian.

Akulah sumber penderitaanmu.


Sungguh ingin kunyatakan semua itu.

Tapi setiap kali kata-kata itu terlepas, aku bisa melihat kobar amarah dalam matamu, diantara tawa penuh tak percayamu. Kau akan menyipitkan mata besar yang lentik itu, dan aku bisa merasakan hawa dingin darimu menusuk hingga ke organ dalamku.

“Bahagia? Kamu tidak yakin aku bahagia denganmu selama ini, Mas?” kau tertawa getir dan pedih. “Bagaimana kau bisa membahagiakan aku sih, kalau kau sendiri tidak yakin, Mas?” kau tidak akan marah dan membentak, namun dingin itu memancar di setiap lekuk tubuhmu.

Kau istri yang tak pernah menuntut dan mengomel, tapi mungkin aku lebih memilih kau begitu daripada diam dan memunggungiku. Rasanya, seperti ditinggal mati oleh segala jenis suara tawa di dunia ini.

Entah bagaimana, seperti sebuah misteri yang selalu gagal kuungkap, kau selalu bisa memaafkanku dengan begitu mudah keesokan paginya. Seperti selalunya, kau akan mencium pipiku dengan hangat dan menyajikan secangkir kopi hitam yang mengepul di sisi tempat tidur kita. Kau akan bertanya jenis sarapan apa yang kuinginkan dalam balutan lingerie seksi berlapis celemek.

Kau memang selalu tahu bagaimana caranya membuatku bangun di pagi hari dan langsung berdebar lagi.

Itu sebabnya aku nyaris tak pernah bisa melepasmu dengan mudah setiap kali ‘telfon khusus’ itu berdering.

Karena artinya, tugas datang dan aku harus meninggalkanmu, lagi. Karena artinya, aka nada malam-malam dingin dan panjang saat kau menanti di rumah, memandangi lekukan kasur tempatku biasa berbaring, mungkin berlinang air mata dan bertanya-tanya apakah aku masih bernafas atau tidak.

Percayalah, sakit yang bergejolak itu juga aku rasakan dalam intensitas yang mungkin tak dapat kau bayangkan.

Itulah sebabnya kekasihku, pasangan hidupku, pengisi hatiku, dan istriku yang sempurna… bukanlah hal berat bagiku untuk memaafkan perselingkuhanmu.

Kita tahu apa arti kata ‘setia’ dan sejauh apa definisinya diantara kita berdua. Kamu tahu dalam sesuatu yang kusebut ‘kewajiban tugas’ aku telah meniduri banyak dari kaummu, dank au tetap percaya aku tak pernah melakukannya dengan hati.

Kau selalu menyambutku dengan terbuka, kehilangan sinar dalam bola mata saat mendengar pengakuanku, namun selalu menjadi dewi yang sempurna seakan-akan sakit hatimu tak pernah ada.

Dan aku mengerti pribadi seperti apa dirimu, sayangku.

Kamu adalah air dalam yang menikmati sensasi mengalir melawan hukum arus. Kamu melarutkan dan menerima semua unsur kealpaan manusia serta kekecewaaanmu dan menjadikannya seakan netral.

Kamu hidup karena kamu tahu di matamu dunia ini berbeda. Kamu bernafas karena masih menemukan ambisi dan adrenalin di darahmu.

Memilihku dengan alasan ‘hidup akan seru bersamamu’. Menyanggupi menyandang beban dengan alasan ‘aku tahu aku bisa’. Kesedihan dan pengalaman yang menurutmu sebagai cambuk pelajaran. Kau seperti pengidap schizophrenia yang kecanduan adrenalin, sayang.

Itulah sebabnya saat aku tak bisa lagi menyuntikkannya dalam kehidupanmu, kau harus mencari donor lain agar tetap bisa bertahan hidup.

Aku memandangi namun berpura-pura tak mengetahui saat kau dengan frustasi memandangi alat tes kehamilan yang belum juga menunjukkan perubahan. Aku mengetahui, namun bersembunyi saat kau menangis dengan handphone yang tak jadi digunakan di genggamanmu.

Keadaanku menjauhkanmu dari orang-orang terkasihmu. Sedikit jalur komunikasi dan nyawa kita terancam. Namun aku tahu kau sesungguhnya selalu butuh mendengar suara dan dukungan keluarga dan teman-temanmu yang tak bisa kau hubungi.

Aku tahu.

Aku sungguh mencintaimu hingga aku benar-benar tahu.

Itu sebabnya, aku bisa mengatakan bahwa ini semua sungguh melegakan, sayangku.

Aku memang mengatakan bahwa inilah saat yang kutunggu-tunggu sejak dulu.

Bahwa kaulah yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku, untuk pergi dariku, dan memintaku pergi. Karena sungguh, walaupun aku bisa berbohong begitu sempurna untuk banyak hal, namun kau adalah kealpaan terindahku. Aku tak akan bisa meninggalkanmu atau memintamu pergi.

Aku tak akan bisa. Aku akan hancur berkeping-keping.

Itu sebabnya, terima kasih.

Bukan karena aku tidak mencintaimu dan sungguh berharap kau akan pergi. Bukan karena aku bisa dengan mudah memilih wanita lain, karena sungguh tak ada wanita sesempurna dirimu di dunia ini, cinta sejatiku.

Aku ingin membahagiakanmu, sesederhana itu hingga bisa melepaskanmu, wanita yang tak tergantikan, dan setengah mati menahan diri untuk tidak menembak mati lelaki beruntung yang mendapatkanmu nanti.

Cintaku… kekasihku…

Biarlah kata-kata terakhirmu itu aku anggap sebagai peneguh diri. Biarlah kata-kata terakhir itu aku percayai dan aku simpan hingga mati. Aku tahu, sangat tahu, bahwa apa yang kau ucapkan adalah sebuah kejujuran,

“aku meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi mencintaimu, tapi karena hidup mulai terasa tak mudah bersamamu. Dan aku bersamanya bukan karena aku mencintainya melebihi dirimu, tapi karena hidup terasa lebih mudah bersamanya…”

4 komentar:

  1. Kok cerpennya malah tidak istimewah sih? setauku, kalau itu hasil kreativitas kita, itu akan punya keistimewaan tersendiri...

    Salam kenal yah :)

    BalasHapus
  2. @fadly: kan istimewa bagi gue, karena ada 'kisah' trsndiri bagi gue :) emg hasil kreativitas gw kok bro.

    @shakti: alhamdulillaaaaaaah, fiktiiiiiif hahahaha

    BalasHapus
  3. say, ini keren, seneng banget. lama ngga buka laptop, sekali buka, kangen blog kamu hehehe. adien tunggu karya selanjutnya :*

    BalasHapus

Daisypath Anniversary tickers