Sumber Gambar Disini |
“Kamu mau
datang ke pernikahannya Gavin?”
Perempuan
itu mendengus dan melirikkan ujung matanya. “Itu pertanyaan atau ejekan?”
Ares tidak
melanjutkan, namun terus menatap Helena—perempuan itu—dengan pandangan yang
sulit ditebak artinya. Helena menunggu, lalu kembali mengalihkan pandangannya
melampaui jendela, menatap pemandangan
Jakarta ketinggian lantai 27, dan menghisap rokok Malioboro merahnya
pelan-pelan.
“Dia membatalkan
pernikahan kami untuk perempuan lain.” Perlahan, Helena berucap dengan bola
mata yang tetap menatap jalanan sibuk di bawah mereka. “Dan aku tidak perlu
datang ke tempat itu untuk sok menunjukkan kebesaran hati karena sudah
dicampakkan tepat sebulan sebelum pernikahan.”
“Tapi, Na…
Kamu tahu dia tidak punya pilihan…” Ares nyaris berbisik.
Helena
berputar, kini menatap Ares dan nyaris memelototinya. “Hah? Tidak punya
pilihan? Tidak pernah akan jadi soal apa dia punya pilihan atau tidak! Kalau
dia memang benar-benar mencintaiku, dia tidak akan menciptakan pilihan lain!”
Ares tak
melanjutkan atau bahkan membalas tatapan galak Helena. Seakan kalah dan sudah
ingin mengakhiri percakapan, Ares meraih cangkir tehnya dan menenggelamkan
dirinya lebih dalam ke sofa. Sementara itu di hadapannya, Helena terus
memelototinya, terlihat kesal karena Ares mengalah begitu saja pada perdebatan
mereka. Perempuan itu lalu mematikan rokoknya ke asbak di sebelahnya, lalu
beranjak mendekati Ares, dan mengambil cangkir teh Ares dari genggamannya.
“Kau
menyebalkan!” desisnya. perempuan itu meletakkan cangkir itu sejauh mungkin
dari jangkauan Ares, lalu duduk di pangkuan lelaki itu. “Cium aku!”
Ares
menatapnya, lagi-lagi dengan pandangan yang tak bisa ditebak apa artinya. “Aku
tidak mau melakukan ini lagi. Aku sahabatmu.” Bisik Ares.
“Lalu
kenapa? Kita sudah melakukan lebih dari ini sebelumnya, lalu apa bedanya?”
tantang Helena dengan wajah terangkat. “Cium aku, Ares!”
“Aku bukan
pengganti Gavin, Helena. Aku bukan pelarianmu.”
“Kau memang
bukan pengganti!” bentak Helena sembari menghentak bahu Ares. “Dan aku tahu kau
tak akan menolakku!” lanjutnya dengan angkuh.
Tekad di
mata Ares meluntur, digantikan raut kekalahan. Raut yang sesungguhnya sangat
dibenci Helena dan sayangnya, hampir selalu ia tunjukkan saat bersama Helena. Lelaki
itu menghela nafas berat dan menggelengkan kepalanya, seakan berusaha mengusir
kesedihan yang memenuhi dirinya.
“Ares?”
desak Helena.
Ares
melingkarkan lengannya ke pinggang ramping perempuan itu, dan menariknya lebih
dekat ke arahnya. Lalu, menuruti seluruh keinginan egois perempuan yang tengah hancur
lebur itu, Ares mulai memagutkan bibirnya ke bibir merah itu perlahan.
* * *
Haruskah ia bahagia dengan keadaan ini? adalah
pertanyaan yang selalu Ares ajukan pada dirinya sendiri—nyaris setiap malam.
Ia mencintai
Helena. Tentu. Selama sembilan tahun ia di sisinya, menyaksikan perempuan itu
bermetamorfosis dari gadis lugu menjadi sosok perempuan dewasa yang keras
kepala dan dipenuhi kesedihan. Selama sembilan tahun Ares ada di sana,
menyaksikan cinta perempuan itu berganti-ganti pada obyek yang berbeda,
sementara cintanya sendiri harus ia telan bulat-bulat.
Sembilan
tahun ia menjadi dada yang menanggung sesak setiap kali melihat perempuan yang
dicintainya dipeluk oleh lengan berbeda. Sembilan tahun ia menjadi bahu yang
kerap kali basah karena menjadi sandaran setiap kali perempuan itu ditinggalkan
dan dihancurkan. Sembilan tahun ia menjadi lidah yang kerap berucap mengenai
bahagianya masa depan dan motivasi penyemangat dikala dalam dirinya sendiri
tengah menghancur.
Sembilan
tahun ia menjadi seorang pendamba, pengharap, yang hanya mampu membisikkan
angannya ke dalam mimpi yang paling dalam.
Ares nyaris
saja menyerah sepenuhnya saat Helena terlihat serius menjalin hubungan dengan
Gavin, seorang Bankir yang dalam berbagai sisi, merupakan seorang gentleman sejati. Ares nyaris menyerah,
karena ia tahu Gavin merupakan sosok yang ideal bagi Helena. Lelaki itu kuat,
namun juga dipenuhi welas asih. Paling tidak seperti itulah penilaian Ares
terhadap Gavin sebelum akhirnya ia mengetahui bahwa Gavin bukan hanya menyelingkuhi
Helena, namun juga akhirnya memutuskan hubungan mereka karena selingkuhannya
itu hamil.
Dan kini,
harusnya ia menyambut gembira kesempatannya untuk merebut Helena.
Ares memang
tak pernah mampu menjadi sosok yang kuat. Ia tak pernah bisa menjadi sosok yang
mampu berjuang. Namanya, bahkan, melahirkan sebuah ironi karena Ares (Mars)
merupakan dewa perang dalam mitos Yunani—seorang lelaki yang menggilai
pertarungan, sementara ia hanyalah lelaki lemah hati yang hanya mampu menarik
diri setiap kali ketidakberuntungan datang padanya. Ares tak pernah memiliki
kepercayaan diri untuk mengatakan tidak, apalagi merebut Helena dari
lelaki-lelaki yang datang padanya untuk menikmati tubuhnya yang sempurna.
Dan kini,
tubuh itu menyodorkan dirinya kepada Ares begitu saja. Meminta dipuaskan,
meminta dituntaskan.
Namun Ares
tak bahagia. Karena ia tahu setiap ia memeluknya, hati Helena tak berada
disana. Hati itu entah beterbangan kemana saat Gavin meninggalkan perempuan itu
untuk menikahi selingkuhannya yang hamil. Hati itu terluka sangat parah, dan
Ares tak tahu bagaimana caranya mengumpulkan serpihan ataupun memperbaiki hati
yang patah.
Padahal hati
yang utuh itulah satu-satunya yang Ares inginkan.
* * *
Sebelumnya,
The Edge merupakan tempat favorit Helena. Restaurant ini sebenarnya tidak
terlalu istimewa dibandingkan dengan café-café elit lainnya di Jakarta. Hanya saja
Helena selalu menyukai suasananya. Karena terletak di lantai 5 Kemang Icon,
angin yang sejuk selalu bisa mondar-mandir dengan mudah. Ditambah interior kayu,
pepohonan, tirai putih besar, pencahayaan yang lembut, serta jendela dengan
kaca yang besar, tempat ini adalah representasi nyata dari imajinasi Helena
akan rumah yang sedang ia rancang bersama Gavin. Disinilah Gavin dan Helena
kerap mendiskusikan masa depan mereka. Tempat ini begitu istimewa dulunya, apalagi
meja tertinggi yang menghadap ke luar gedung sekaligus kolam renang ini, karena
disinilah Gavin pertama kali menyatakan cintanya pada Helena.
Dan kini,
tempat ini menjadi ironi tersendiri karena kenangan-kenangan indah itu justru memilit
perutnya dan membuat Helena ingin muntah saat ia tengah duduk di meja
favoritnya itu bersama Teresa—calon istri Gavin.
Helena
berusaha tak memandang perempuan dengan penampilan sederhana itu. Ia benci saat
mendapati dirinya tanpa sadar lagi dan lagi memandangi perut Teresa yang jelas
membusung bangga ke depan. Ia benci blus murahan yang dipakai Teresa, celana
hamil kedodoran bewarna cokelat bermotif yang ia gunakan, ia benci alis
cokelat-terang Teresa yang digambar dengan konyol hingga nyaris membentuk
setengah lingkaran diatas matanya, atau warna lipstick pink-terang norak yang
membuat penampilan kampungan Teresa lengkap sudah, bahkan ia benci wedges murah
yang warnanya nggak match dengan baju yang Teresa gunakan. Ah, Helena belum
lagi menyinggung tas tangan KW entah-berapa yang digunakan perempuan itu.
Helena
membencinya. Bahkan kenyataan perempuan itu masih bernafas di depannya saja membuatnya
begitu membencinya. Butuh tenaga luarbiasa baginya untuk menahan diri tidak
melemparkan piring berisi Grilled Atlantic Salmon di hadapannya ke kepala
Teresa.
Lalu hanya
Tuhan-lah yang tahu mengapa ia bersedia datang kesini menemui Teresa.
“Kamu cuma
mesan itu?” Tanya Helena akhirnya, menunjuk Mushroom Cannelloni dan Lychee
Fruit Tea yang dipesan Teresa. Menurut Helena pasta yang bentuknya seperti
martabak telor itu sama sekali tidak menarik. Ironisnya lagi, Gavin dulu
biasanya juga memesan makanan yang sama dalam 3-4 porsi untuk dirinya sendiri.
“Kalau takut duit kamu kurang, aku saja yang traktir.”
Helena
sengaja mengatakannya. Sengaja menyinggung kondisi keuangan Teresa yang jelas
tak mapan jika dibandingkan dengan dirinya yang menjabat sebagai creative director di salah satu advertising agency paling berjaya di
Indonesia saat ini. Perempuan yang bekerja di lembaga Bantuan Hukum pro bono seperti Teresa mana mungkin
sih, punya duit untuk makan di tempat seperti The Edge ini tanpa harus
kelaparan selama sebulan?
“Iya Mbak.
Ehm, tidak apa-apa kok mbak, saya memang lagi nggak bisa makan yang
berat-berat.” Jawab Teresa gugup, penuh kerendahan hati, sembari mengusap
perutnya tanpa sadar.
Menyaksikan
Teresa yang entah tak menyadari sindiran yang Helena berikan, atau memang
terlalu baik dan rendah hati untuk bereaksi, Helena terpaksa menelan seonggok
besar emosinya lagi. Ia ingin perempuan itu mengamuk, memaki, bahkan mungkin
mencakarnya sedikit—hanya agar Helena memiliki alasan untuk berbuat sama.
Sayang sekali ia masih memiliki nurani untuk meneriaki dan mencakar perempuan
hamil yang terlihat lemah seperti seonggok jaket bulu basah ini.
“Terus? Mau
ngomong apa kamu?” sembur Helena galak sembari menusuk apricot di piringnya
dengan ganas, berharap bahwa apricot-apricot itu mewakili Gavin dan
penderitaannya.
Teresa
tampak ragu, atau hanya ketakutan menghadapi Helena yang jelas terlihat tidak
senang. Ia menyeruput Lychee Tea-nya dengan sedikit sembrono hingga memercik
kemana-mana. Hal ini membuat Helena semakin kesal, ia merasa dirinya seperti
balon udara yang sudah tak sanggup menahan udara panas yang dihembuskan dari
bawah—siap meledak kapan saja.
Kenapa Gavin
lebih memilih Teresa dibanding dirinya? Bagian mana dari perempuan murah dan
kampungan ini sih, yang lebih menarik Gavin? Teresa sama sekali tidak terlihat
pintar, cantik memesona, atau memiliki kualitas kepribadian yang memikat. Lalu
kenapa si bodoh itu mengkhianati dan meninggalkan Helena demi si buluk ini?
Kenapa!?
Sungguh,
Helena tidak tahu mana sebenarnya yang lebih terluka—hatinya, atau harga
dirinya.
“Aku mau
minta maaf sama mbak…” akhirnya Teresan berhasil mengeluarkan bisikan dari
mulutnya.
Helena
hampir saja menyemburkan Shirley Temple Mocktail-nya. Permintaan maaf jelas
jelas bukanlah hal yang Helena kira akan dia dengar dari Teresa. Bukannya
perempuan ini mengajaknya kesini untuk berantem, ya?
“Aku
pastilah sudah menyakiti Mbak… Hubungan mbak dan mas Gavin yang telah berjalan
hampir 5 tahun, bahkan rencana pernikahan Mbak berakhir dengan seperti ini,
sesungguhnya aku malu sekali, Mbak… Aku benar-benar mencintai mas Gavin, tapi
menyakiti mbak seperti ini, aku terus menerus memikirkannya… Aku ingin meminta
maaf mbak…” kini perempuan itu mulai terisak-isak ke tissue murahan yang ia
bawa.
Helena
bengong. Adegan ini jelas-jelas menarik perhatian orang-orang yang tengah
menikmati makanannya di The Edge. Salah besar ternyata duduk di meja ini,
karena ini ternyata menjadi panggung sandiwara yang mudah dilihat dari segala
sisi. Dan tentunya, Helena jelas terlihat seperti tengah membully Teresa.
“Terserahlah,
aku mau pulang.” sembur Helena sembari mengumpulkan barang-barangnya.
“Selesaikan saja makan kamu, aku yang bay…” dan kata-kata Helena terpotong saat
Teresa tiba-tiba saja bangkit dari kursinya dan menghambur kedepan untuk
memeluk Helena.
“Mbak! Aku
minta maaf mbak… aku nggak akan bisa hidup dengan tenang kalau mbak tidak
memaafkanku! Aku sungguh-sungguh minta maaf mbak! Aku menyesal sekali telah
melakukan ini semua ke mbak. Tolong maafkan aku mbak…” isak Teresa tak
terkendali.
Dan saat
itulah, Helena mendengar urat kesabarannya putus dengan suara yang cukup keras.
“Menyesal?”
desis Helena sembari mendorong kasar Teresa. “MEMANGNYA KALAU KAMU MENYESAL,
TERUS KENAPA!?”
Jauh didalam
hatinya, sesungguhnya Helena sadar bahwa ia harusnya berhenti. Ia sadar bahwa
ia tak boleh melakukan ini, terutama di muka umum seperti ini. Ia tahu ia lebih
baik melangkah anggun, keluar dari tempat ini, seperti merak yang masih
memiliki harga diri sekalipun bulunya dicerabuti. Ia tahu, saat ia kehilangan
diri, maka sesungguhnya dialah yang kalah. Dan dipermalukan.
Namun
ternyata semuanya tak tertahankan, dan kini Helena mendapati dirinya tengah
berteriak-teriak kepada Teresa seperti orang gila.
“Kalau kamu menyesal, aku minta kamu
kembalikan Gavin ke aku, emang bisa!? Kalau kamu menyesal, aku minta kamu
gugurin anak itu, memangnya bisa? Kamu menyesal, apa lalu pengkhianatan kalian
menjadi tidak ada? Sakit hatiku jadi hilang? NGGAK! Kamu nggak bisa menyesal
dan minta maaf, sama seperti sakit hatiku yang nggak akan pernah bisa hilang!!”
jerit Helena, terisak-isak.
“Aku sangat
ingin kamu merasakan sakit yang sama! Bahkan kalau bisa lebih! Aku ingin
melihatmu menderita, ah… tapi bahkan melihatmupun terasa menyakitkan. Aku ingin
membuatmu merasa sakit, tapi sesakit apapun dirimu, Gavin tetap ada di
sampingmu untuk menghiburmu kan? Menguatkanmu? Lalu aku punya apa? Kenapa kau
punya segalanya dan aku tak memiliki apa-apa? Kenapa kau merebut segalanya yang
aku punya dan aku bahkan tak mampu merebut apapun yang kau punya?” raung Helena
lagi.
Ia jatuh
terduduk di lantai, menangis tak terkendali. Ia sadar Teresa tak membalas,
hanya mendengarkan dengan wajah pucat dan tubuh lemas di kursinya. Ia sadar
bahwa orang-orang disana kini memerhatikan mereka sepenuhnya, bertanya-tanya,
serta merasa tidak nyaman akan drama itu.
“Kamu tahu
apa yang membuatku paling gila?” desis Helena penuh dendam. “Aku terus menerus
berpikir, kesenangan dan kebahagiaan yang kulalui bersama Gavin, kini kaupun
akan melalui yang sama. Semua kenangan, semua hal yang berharga, itu semua akan
menjadi milikmu setelah aku kehilangan. Seberapa besar kebahagiaan yang kau
rasakan, sebesar itu pula kesakitan yang aku terima! Aku benci kau! Aku tidak
suka melihatmu bahagia! Aku benci melihatmu tertawa!”
Teresa
meledak dalam tangisannya. Perempuan hamil itu terguncang-guncang malu, kini
tak lagi berdaya membalas tatapan sengit Helena. Melihatnya, entah mengapa ada
sebersit rasa bersalah yang menyakitkan di dada Helena. Bukankah yang bersalah
itu Gavin? Bisakah perempuan ini menggoda seorang lelaki jika lelaki itu
memiliki hati yang tetap dan setia? Pengkhianatan itu toh tak akan terjadi jika
Gavin mencintai Helena sepenuhnya, tanpa menyisakan lubang untuk diisi orang
lain.
“Kenapa?
Kenapa jadi aku yang jahat? Aku tidak sejahat ini. Aku dulu tidak sejahat ini.”
isak Helena. “Kenapa? Bukankah aku juga korban? Aku tidak melakukan kesalahan
apapun, bukan? Aku begitu mencintainya dan selalu setia, aku berusaha
sungguh-sungguh untuk memenuhi semua permintaannya, tapi kenapa dia
meninggalkanku untuk bersamamu?”
Dan iapun menangis.
Untuk pertamakalinya menumpahkan segala kesedihan dan belitan kencang di
hatinya sepuas hati. Ledakan emosi itu membuat tubuh Helena gemetar hebat
seperti gelas kaca yang tak tahan menerima resonansi dari kekecewaan,
kepedihan, dan segala sakit hati yang ia rasakan.
Helena merasakan
airmatanya mulai mengalir tanpa bisa ia kuasai. Ia sepenuhnya ditelan oleh
kebencian dan kemarahannya sendiri.
(bersambung...)
Luapan emosinya merasuk ke dada, keren.
BalasHapusfokusnya sama ilustrasinya, jadi ... ah sudahlah :(
BalasHapus