Foto diatas adalah tragedi Simpang KKA yang memakan banyak korban jiwa. Sumber disini. |
“Suci, kamu orang Aceh ya? Kok sudah
lama sekali nggak pulang? Jangan begitu dong, setidaknya setiap kali ada
kesempatan, kamu pulang.”
Kata seorang bapak di kantor saya sore
itu.
Kalimat yang sebenarnya biasa saja,
namun membuat saya terdiam.
Karena pertanyaannya kemudian, pulang kemana?
Ingatan saya melayang. Jika dipikir-pikir
sudah bertahun-tahun saya tidak pernah melihat bangunan yang saya sebut rumah itu. Ah, tapi entah juga bangunan
itu masih bisa disebut rumah saya atau bukan, karena kabar terakhir dari salah
seorang teman di kompleks perumahan yang sama, rumah saya di Kompleks Kertas
Kraft Aceh (KKA) di Nissam, Aceh Utara itu kini telah hancur dijarah. Entah juga
kepemilikannya kini atas nama siapa, karena rumah dinas itu ditinggal begitu
saja saat kami ‘kabur’ darisana.
Tapi bangunan itulah yang saya sebut ‘rumah’,
hingga detik ini, sekalipun kini orangtua saya nyatanya telah pindah tinggal di
Medan, menempati rumah lainnya.
Saya masih bisa mengingat jelas semua
lekuk rumah itu. Pintu ruang makan yang berderit, warna cokelat hangat ruang
tamu, kamar saya yang bewarna pink terang, kura-kura segede tutup WC yang
berenang dalam ember kamar mandi orangtua, dinding yang retak akibat gempa
hebat di tahun 2004, ruang makan dengan kaca besar yang menghadap kebun
singkong dan pohon kelapa, serta taman rumah yang lebih mirip Kebun Raya Bogor
ukuran mini… Semuanya akan terpapar dengan jelas bahkan jika saya membuka mata.
Ingatan akan rumah itu dan segala
kenangannya begitu jelas, termasuk saat saya dan keluarga harus melarikan diri berkali-kali
dari rumah itu dibawah ancaman GAM.
Kali pertama terjadi saat saya begitu
kecil dan baru belajar menulis. Umur yang belia membuat saya tak mengerti kala
beberapa pria bertampang seram masuk begitu saja ke rumah kami dan membawa 3-4
sepeda gunung milik keluarga saya. Saya ingat saya bertanya mengapa mereka
membawa sepeda gunung kami, namun orang dewasa di rumah itu hanya terdiam. Saya
ingat saya menatap wajah ketakutan Mama dengan kebingungan. Saya tak mengerti,
namun bukan berarti anak kecil itu tak mengingat tegangnya situasi yang
melingkupi rumah kami. Di ujung hari, akhirnya kami pindah ke rumah kami yang
lain di Medan, walaupun jauh setelahnya, kami kembali lagi ke Aceh untuk menempati rumah yang berbeda.
Kali kedua terjadi saat saya baru naik
ke kelas 2 SMP. Kala itu, saya baru saja dipilih menjadi Ketua OSIS. Namun kebanggaan
dan kebahagiaan itu lenyap saat saya pulang kerumah dan Mama berkata kami harus
segera pindah. Untuk kedua kalinya. Dengan alasan yang sama.
Saya menangis. Tak terima. Kecewa dan
kebingungan. Anak kecil itu tak mampu percaya bahwa dunia sebegitu tak adilnya.
Saya tak tahu harus berkata apa pada teman-teman yang pasti akan kecewa. Saya tak
tahu harus berkata apa pada diri saya sendiri yang begitu sedih karena saya
sesungguhnya telah merancang begitu banyak program untuk dijalankan. Saya menyesali,
karena situasi rawan di Aceh telah memutus harapan masa muda saya.
Tapi seperti apapun perasaan yang
mendera, saya tahu, ancaman GAM itu tidak pernah sekedar gertakan. Sudah beberapa
malam terakhir beberapa orang menyambangi rumah kami, menggeber motor pada jam
dini hari, untuk menakut-takuti. Saya ingat mama masuk ke kamar saya dalam
gelap dan diam-diam mengintip ke depan lewat jendela, mengawasi orang-orang itu.
Saya selalu terbangun, tercabik antara penasaran dan ketakutan. Biasanya saya
akan mencoba mengintip juga, namun segera kembali berbaring karena dimarahi
mama. Memang, selalu ada kemungkinan orang-orang itu akan menembakkan senjata
AK47 yang mereka tentang ke jendela kamar saya jika mereka melihat pergerakan. Tapi
anak kecil itu hanya tahu bahwa ia penasaran.
Papa dan Mama memang tak pernah
bercerita tentang bagaimana mereka harus menghadapi tekanan dari kelompok itu.
Namun kali ini, kami menyerah. Kami mengepak barang dalam waktu hanya dua hari,
lalu pindah ke rumah Nenek di Langsa, Aceh Timur yang berdekatan dengan Medan
dan relatif lebih aman.
Setelah situasinya reda, 7 bulan
kemudian orangtua saya-pun memutuskan untuk kembali ke rumah itu, meninggalkan
situasi yang bukannya tak bertambah pelik. Saya menjadi orang asing di sekolah
lama saya. Saya menghadapi rasa kesal dan heran teman-teman karena saya sudah ‘menghilang
begitu saja’ lalu ‘kembali lagi tiba-tiba’. Saya-pun harus berjuang, karena
sekolah berarti saya harus menempuh perjalanan sejauh 45 menit dari rumah. Dimana
jalan yang harus saya lewati adalah jalan yang membelah wilayah paling rawan di
Aceh. Setiap saya bersekolah, saya menghadapi kemungkinan diculik. Namun anak
remaja itu keras kepalanya. Saya tetap ngotot ikut bimbel dan les-les di Kota. Saya
ingin masuk ke sekolah yang saya minati, dan saya membutuhkan les-les itu. Sebuah
harga yang cukup mahal, karena setiap saya pulang, di rumah saya harus
menghadapi wajah Mama yang begitu cemas dan hampir menangis. Terlambat pulang
setengah jam saja, maka Papa akan bertaruh nyawa untuk mencari saya sendirian.
Kala terakhir saya melihat rumah itu
adalah saat saya kelas 2 SMA. Setelah bersekolah di SMA Taruna Nusantara di
Magelang, saya sangat jarang pulang. Alasannya selain tiket mahal dan
perusahaan swasta tempat orangtua bekerja sedang collapse, adalah karena Aceh
tengah rawan-rawannya. Begitu banyak kasus penculikan hingga pembunuhan. Belum lagi
seragam sekolah saya yang mana wajib dikenakan dalam perjalanan pulang itu
selalu menimbulkan tatapan luar biasa seram dari para pria yang duduk di
warung-warung kopi pinggir jalan. Kecemasan yang dilanda orangtua setiap kali
saya pulang seperti memperpendek umur mereka. Maka, saya-pun tak diijinkan
sering-sering kembali ke rumah.
Namun untuk pertama kalinya sekaligus
untuk terakhir kalinya, saya diijinkan ‘pulang’. Mama membutuhkan bantuan saya
untuk mengepak barang. Kami harus pindah lagi. Kabur lagi, dan kini tak mungkin
kembali. Ancaman yang kami hadapi kali ini lebih besar, dan mama tengah
sakit-sakitan. Saya pulang, menatap dan meratapi rumah itu untuk terakhir
kalinya. Tidak tahu kapan saya akan kembali, atau apakah saya bisa kembali.
Momen terakhir itu saya gunakan untuk
menyusuri setiap sudut rumah itu, merekam semuanya dalam ingatan, sembari
menahan tangis yang jelas akan memperburuk suasana tegang. Kepindahan kami itu
sangat beresiko, tidak boleh ada yang tahu, karena kami tidak mampu membayar ‘mahar’
yang harus disetorkan jika kami keluar dari kompleks itu. semuanya harus serba
rahasia dan dibantu oleh segelintir orang saja. Barang-barang kami yang hanya
sebagian itu akan berangkat lebih dahulu, barulah esoknya kami menyusul. Dalam situasi
itu, seperti apapun saya mencoba tertawa dan menjahili adik saya seperti biasa
sembari mengepak barang, jauh didalam hati saya ingin menangis
sekencang-kencangnya: bagaimana jika
besok saat kami berangkat, rencana ini ketahuan, mobil yang membawa kami
dihadang dan kami sekeluarga mungkin sudah tidak bernyawa?
Papa sendiri, entah sudah berapa diculik
ke Gunung Merah, sebutan untuk markas GAM yang terbesar di Aceh. Biasanya,
mereka yang dibawa kesana tak akan kembali dalam satu potongan. Tapi Papa selalu
kembali, dengan entah apa yang ditawarkan agar ia dilepaskan. Saya ingat satu momen
yang paling menegangkan dimana saya, mama, dan andar berangkat menjemput papa
yang baru pulang dari Medan. Namun sesampainya di pool bus, papa tidak ada.
kami berkeliling menyusuri kota untuk mencari papa. Tapi ia tak ada
dimana-mana. Kami menangis, berdoa dalam cemas
Namun sore harinya secara mendadak papa
muncul begitu saja di pinggir jalan. Ia tak tersenyum seperti biasa, pundaknya
tegang, ia berkeringat, serta tak banyak bicara. Papa bahkan tak mengatakan
pada Mama kenapa ia ‘menghilang’. Dan saya juga baru tahu beberapa tahun
kemudian, bahwa saat itu papa baru saja ‘diambil’.
Sementara Mama, ia sudah dekat sekali
dengan kematian. Tahun itu begitu sulit, karena mama divonis menderita kanker
ganas. Ia harus bolak-balik untuk berobat ke Bandung, namun untuk keluar dari
kompleks perumahan yang jaraknya begitu jauh dari peradaban dan dikepung oleh
komunitas GAM itu, adalah resiko yang terlalu besar untuk dibayar. Pernah suatu
ketika Ambulans yang mama tumpangi dihadang belasan orang bersenjata AK47. Mama gemetar, namun
Allah memutuskan itu belum waktunya. Seorang Petinggi datang dan
justru menyalami Mama, berpesan agar Mama tidak perlu takut keluar jika ingin
berobat. Bebas dari sana, dalam perjalanan ke Medan, bus yang mama tumpangi
kembali dihadang. Kini orang-orang itu membawa foto Mama, mengepaskannya ke
wajah penumpang satu demi satu. Mama tak kabur, tak menangis, namun hanya terus
mengulang-ulang potongan ayat Surah Al-Baqarah yang memenuhi pikirannya:
Shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun
(Mereka tuli, bisu, dan buta, maka
tidaklah mereka akan kembali kejalan yang benar).
Dan keajaiban terjadi, orang itu
seakan-akan tak mampu melihat Mama. Ia melewatinya begitu saja, malah mengecek
orang disebelah Mama, lalu turun sembari berseru bahwa “Bu Susi” tidak ada
didalam Bus itu.
Alhamdulillah, kedua orang yang saya
sayangi itu masih diselamatkan Allah dari segala malapetaka. Mereka masih
diberikan umur dan kesehatan hingga sekarang.
Namun tidak halnya dengan Bang Agam,
abang saya yang tewas saat saya masih duduk di bangku SD.
Abang saya yang seorang calon dokter,
yang di akhir hayatnya terbaring telanjang di parit sawah dengan tubuh yang tak
lagi jelas bentuknya karena disiksa.
Ia adalah bentuk nyata dari perjuangan.
Bang Agam terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Saat masih kecil ia begitu
berani mengetuk rumah kami untuk meminta disekolahkan. Mama mengiyakan, dan
bang Agam lulus dari sekolah kedokteran dengan prestasi yang cukup gemilang. Ia
berjuang begitu keras, sementara orang lain disekitarnya disibukkan dengan
kekolotan dan kekerasan. Bagiku, dia abang satu-satunya yang kupunya. Perawakannya
kecil kurus, dengan kulit sawo matang dan senyuman manis ala lelaki Aceh. Saat berbicara
suaranya lembut, dan ia begitu baik hati. Setiap ia gajian, ia akan datang dan
membawa saya dan adik saya berkeliling dengan vespanya. Kami tertawa-tawa, lalu
diperbolehkan jajan sesuka hati kami. Saya tahu pendapatannya mungkin tak
seberapa, tapi Bang Agam dengan senyuman lebar malah menyuruh kami tambah dan
tambah lagi. Setelah itu biasanya kami pulang, lalu Bang Agam akan membuatkan
tenda cantik dari seprai dan pintu lemari dan ikut bermain rumah-rumahan.
Namun suatu siang Mama menelfon saya. Ia
menangis histeris dan sesenggukan. Butuh waktu yang sangat lama sebelum
akhirnya mama mampu berkata “Be, bang Agam meninggal…”
Otak anak kecil itu tak mampu merespon.
Saya diam, kebingungan. Saya tak mengerti apa artinya kematian. Saya tidak tahu
apa artinya dibunuh karena dituduh menjadi cuak (mata-mata/informan) TNI. Saya tidak
tahu kenapa Bang Agam yang darahnya 100% Aceh itu harus ditumpahkan oleh orang
sesama Aceh.
Yang saya tahu, sejak itu ia
benar-benar tak pernah datang lagi…
Segala mimpi dan perjuangan kerasnya
berakhir di parit itu. kebanggaan dan harapan untuk membantu orangtua berakhir
hanya karena tuduhan yang belum tentu benar. Masa depan yang bisa saja ia
miliki, kini musnah. Orang boleh bilang itu sudah takdir Tuhan, tapi saya tetap
membenci setiap orang yang mengakhiri nyawa abang saya.
Setelah begitu lama, kami tak pernah
lagi membahas tentang Bang Agam. Saya berusaha melupakannya, menyimpannya
seperti foto dalam album kenangan.
Saya mencintai Aceh, dan begitu bangga
telah lahir dan besar disana. Saya menganggap diri saya orang Aceh (dengan
berbagai campuran lainnya) dan rumah saya adalah Aceh. Atas semua yang terjadi,
tidak pernah ada kebencian atasnya dalam hati saya.
Semua yang saya kenang begitu indah. Jika
seseorang bertanya atasnya, saya selalu mengungkapkan bagaimana orang-orang
Aceh itu loyal, dermawan, terus-terang dan terbuka, ramah, dan memiliki harga
diri begitu tinggi. Saya akan selalu merekomendasikan masakan Aceh yang bagi
saya paling enak sedunia, betapa kaya akan rempah-rempah, dan campuran bumbu
yang memikat. Saya akan selalu menggambarkan bagaimana indahnya alam disana.
Namun dalam sudut kecil ingatan yang
ingin saya lupakan, adalah bagaimana perang dan kebencian telah merenggut
hal-hal yang indah dalam masa kecil saya.
Saya ingin melupakan bagaimana dulu
saya harus memeluk adik kecil saya yang menangis gemetaran di bawah meja karena
rumah kami berada di tengah-tengah pertempuran TNI dan GAM. Mencoba melupakan suara
desing peluru serta getaran granat, atau kecemasan membludak yang terkadang hingga
membuat saya mimisan hebat karena perang terjadi justru saat orangtua atau adik
saya tengah diluar rumah. Mencoba melupakan bagaimana saya dan teman-teman
harus bersembunyi dan merunduk dalam parit untuk menghindari desing peluru. Dan
mencoba melupakan kematian Bang Agam, yang hingga saat ini belum bisa saya
pahami mengapa.
Hingga saat ini saya belum ‘pulang’.
Namun bukan berarti saya tak merindukannya. Saya tahu sekalipun saya kesana,
rumah itu bukanlah rumah saya seperti yang saya ingat. Mungkin saat melihatnya
saya justru akan menangis tersedu-sedu karena keadaannya.
Namun apapun itu, hingga sekarang, jika
seseorang bertanya dimana rumah saya, maka yang segera terbayang adalah rumah
bercat putih dan cokelat, dengan bangku rotan di terasnya yang dipenuhi bunga. Rumah yang dulu saat saya menempatinya, ada di tengah-tengah peperangan.
Like as usual .... You 'r good narrator ,good speaker..and you full of inspiration story....keep writing and motivating.
BalasHapuskak suci emang kece. tulisan-tulisannya juga. :) keep writing kakak cantik
BalasHapussebuah artikel yang bagus dan memotivasi
BalasHapus