sumber disini |
Pada dasarnya, saya nggak yakin bahwa
ada manusia selain Rasulullah SAW yang 100% dan setiap waktu jujur. Setiap
manusia pastilah pernah berbohong, kecil atau besar, untuk kebaikan maupun
dengan alasan yang begitu egois seperti untuk menyelamatkan diri sendiri.
Intinya, kebohongan bukanlah hal baru maupun asing bagi humanitas.
Saya adalah orang yang sangat membenci
kebohongan, terutama karena sebagian besar waktu, saya bisa mendeteksi dan
melihat kebohongan dengan jelas, sejelas jidat orang tersebut. Dulu, saya akan
mutlak membenci dan marah jika dibohongi, namun seiring dengan semakin
bertambahnya umur dan pemahaman mengenai semesta, kini saya tahu bahwa banyak
opsi yang bisa saya ambil atau lakukan jika saya dibohongi.
Pertama, saya akan bertanya pada diri
saya sendiri;
1. Apakah
kebohongan itu memiliki dampak seriusitas yang besar bagi saya? Misalnya
seorang teman berbohong kalau dia lagi OTW ke tempat janjian padahal saya tahu
dia baru bangun, VS seorang teman berbohong pada sahabat saya bahwa saya telah
menjelek-jelekkannya.
2. Apakah
kebohongan itu dilandasi niat buruk? Misalnya pasangan anda berbohong dengan mengatakan
bahwa anda tambah kurus agar anda senang VS dia berbohong mengenai janjinya
untuk tidak pernah lagi berhubungan dengan mantannya karena sesungguhnya ia
masih merasa nyaman mengobrol dengan mantannya.
Dari dua pertanyaan diatas, dapat
dilihat bahwa ada dua hal yang jadi pertimbangan utama saya saat dibohongi oleh
seseorang. Pertama, seriusitas kebohongan itu dan kedua, niat orang tersebut.
Yang pertama tentu mudah. Karena toh,
tolak ukurnya adalah subyektifitas kita sendiri. Pastilah seriusitasnya lebih
tinggi saat seseorang berbohong dengan menjelek-jelekkan atau menyebar fitnah
tentang kita, dibandingkan dengan teman yang hobi ngomong “iya lagi OTW nih.”
Oleh sebab itulah saya selalu berupaya untuk tidak marah dan hanya mengingatkan
(atau seenggak-enggaknya nyinyir doang sikkk) pada orang yang kebohongannya
memiliki seriusitas rendah. Namun jika memang kebohongan itu merugikan saya
secara besar-besaran, tentu saya (merasa) bahwa saya berhak marah.
Yang kedua, di sisi lain, cukup sulit.
Yekali kan bisa tahu niat seseorang. Dia toh juga bisa ngeles dengan berpura-pura
memainkan peran Hero untuk menjustifikasi kebohongannya. Tapi menurut saya, niat
seseorang bisa dinilai dari kebohongan yang ia lakukan. Misalnya saat seorang
teman berbohong bahwa ia ‘tak tahu apapun’ tentang saya pada orang lain untuk
melindungi privasi saya. Hal ini tentunya baik. Sementara jika pasangan anda
berbohong mengenai chat mesra dan intensnya dengan lawan jenis, sudah hampir
bisa dipastikan alasannya buruk dan brengsek (ups, maaf).
Namun kenyataannya banyak juga
kebohongan yang terletak di wilayah abu-abu. Seperti misalnya saat kita
memutuskan untuk tidak memberitahu seorang teman bahwa suaminya berselingkuh.
Satu sisi, ini merugikannya karena sifatnya serius, namun juga menyakitkan bagi
dia. Pun lagipula itu memasuki ranah rumah tangga orang.
Atau jika pasangan anda menjawab “ga ada
apa-apa” padahal hari itu dia diajak karaoke bersama cewek-cewek panggilan
karena dipaksa oleh bos-nya. Ini suatu kebohongan yang menyakitkan, namun
disatu sisi toh doi nggak ngapa-ngapain, hanya duduk kaku di kursi
karaoke, menjaga dirinya sejauh mungkin dari cewek-cewek itu dan merasa bahwa
hal tersebut merupakan ranah pekerjaannya.
Namun, yang pasti, ada beberapa sikap
yang saya tahu bisa dilakukan jika dibohongi;
1. Tidak
mempersoalkan. Alias nggak marah atau nggak ngomong bahwa anda tahu anda lagi
dikibulin. Konsekuensinya? Ya anda bisa saja gedek sendiri dan bahkan mungkin
tidak akan pernah bisa mendengar penjelasan dari orang itu. Namun jika anda
memilih diam, maka saran saya adalah lupakan. Mengapa? Karena anda bisa saja
salah mengenai kebohongan itu. Jika anda terlanjur marah dan mengecap dia ‘buruk’,
bukankah itu berarti anda orang yang pemikirannya serba premature? Jika anda
terus mengingatnya, untungnya apa? Toh dia juga nggak tahu bahwa anda tahu kan.
Tidak akan ada yang berubah, kecuali anda yang tersiksa karena terus mengingat
hal yang begitu menyakitkan.
2. Menyatakan
bahwa anda tahu bahwa anda sedang dibohongi, lalu membuka peluang komunikasi.
Poin plusnya, anda bisa memastikan kebohongan tersebut langsung dari orang
tersebut. Bisa saja orang tersebut langsung mengaku. Kemungkinan lainnya? Dia
bisa saja berbohong lagi dan lagi untuk menutupi kebohongan pertama. Siap-siap
capek dan frustasi mendengar lapis demi lapis kebohongan. Namun at least, anda
memberi peluang baginya untuk menjelaskan.
3. Menyatakan
bahwa anda tahu anda dibohongi. Dan titik. Mboh mau doi ngomong apa, sakarepnya
dewe, anda emmmmoh, nggak mau dengar apapun lagi. Poin plusnya, bye-bye lapisan
kebohongan! Namun poin negatifnya banyak, pertama, kalau kebohongan ini nggak
tertangkap tangan (alias ketahuannya pakai bukti super kuat), anda bisa jadi
akan bertanya-tanya nantinya apakah ini hanya kecurigaan atau kenyataan. Kedua,
lah kalau ternyata anda salah, piye?
Setelah menentukan sikap tersebut, kita
juga bisa memilih untuk memaafkan atau tidak memaafkan. Pilihan mengenai
memaafkan ini sesungguhnya tersedia untuk opsi sikap manapun. Namun intinya,
jika kita telah berkata kita memaafkan seseorang, maka ada tanggungjawab yang
besar disana. Memaafkan berarti menyudahi konflik yang ada. Memang sakit
hatinya mungkin bisa last forever sakin brengseknya itu kebohongan. Namun jika
anda sudah mengatakan ‘ya, saya maafkan’ maka ada kewajiban disana untuk tidak
lagi mempersoalkan dan mengungkit kebohongan itu. Mengapa? Karena ini masalah
bisa terus jadi ‘masalah’ kalau selama 30 tahun setiap 2-3 bulan sekali anda
bahas sambil ngamuk-ngamuk. Pegel gak tuh? Gak ada habisnya.
Pun, dalam opsi memaafkan, atau lalu
menerima pasangan atau sahabat atau siapapun itu untuk kembali ke lingkaran
hidup anda, maka anda harus menyadari bahwa ada kemungkinan bahwa anda akan
dibohongi lagi. Anda harus sadar bahwa saat anda menerima orang itu kembali,
maka anda telah memilih untuk menghadapi potensi dibohongi lagi. Dan karena itu
adalah pilihan yang anda buat secara sadar, maka anda tidak boleh menye-menye
kalau dibohongi lagi. Wong sudah tahu kok!
Jika anda memaafkan namun menjauh dari
orang tersebut, kayaknya sih ini opsi yang paling sedikit ‘rugi’nya. Namun
disatu sisi, semua orang bisa berubah kok. Manusia adalah lempung yang serba
dinamik. Sama halnya dengan jika anda memutuskan untuk tidak memaafkan. Selain
mengambil jalan dimana masalah tersebut tak akan pernah usai, anda juga
bisa-bisa tersiksa karena ‘memikul’ amarah sekian lama. Walau disatu sisi anda
bisa saja terlepas dari si Tukang Bohong, namun disisi lain, bagaimana anda
bisa tahu bahwa orang tersebut tak akan berubah?
Sehingga pada akhirnya, semua kembali
ke diri anda masing-masing. Saya toh juga demikian, berpegangan pada penilaian
subyektif saya mengenai seseorang. Karena saya orangnya suka kelewat optimis,
saya sebagian besar waktu merasa yakin bahwa setiap pembohong dapat berubah
menjadi orang yang (relatif lebih) jujur jika ia mengetahui benefit dari jujur
itu sendiri. Makanya saya tak segan mencoba untuk menyadarkan Tukang Bohong di sekeliling
saya.
Dibohongi memang menyakitkan dan
mengecewakan. Apalagi kalau
dia ngeyel dan nggak ngaku, yes? Tapi kesal saja tidak akan mengubah atau
membantu apapun, kan?. Setidaknya, upaya untuk memahami dan menindak kebohongan
itu akan sedikit membantu kita untuk memutuskan itu orang lebih baik di maafkan
atau tidak. Keputusannya pastilah kembali pada anda.
keren ci....
BalasHapusgwe suka kalimat "kebohongan terletak di wilayah abu-abu" sesuatu yang sulit untuk mengungkap motif kebohongannya, apakah untuk suatu yang hitam atau sebaliknya untuk sisi si putih.
keren abisss
BalasHapusTrims atas sharingnya....sangat mencerahkan
BalasHapus