Saya saat penelitian di Lapas Klas I Tangerang. Pakai jilbap biar nyamaaaan. |
Beberapa hari yang lalu saya dan beberapa temen
cewek SMA reuni sambil buka bareng. Saat saling bertukar cerita tentang progress kehidupan masing-masing, salah
seorang teman bertanya:
“Lo sering ke penjara gitu-gitu ya ci? Kok berani? Serem
nggak sih?”
Dari pertanyaan ini saya jadi banyak berpikir
setelahnya, selama kuliah di kriminologi, saya memang telah banyak mengunjungi
dan meneliti di berbagai Lapas, baik dalam rangka kuliah atau pekerjaan. Dan saat
ditanya apakah Lapas-Lapas itu seram, jawaban saya adalah "ah, nggak seseram itu". Apalagi Lapas
Wanita, yang akan saya bahas di artikel ini (karena lebih asyik. Mungkin next time di artikel lain saya akan membahas tentang Lapas Pria, tapi memang lebih serem sih).
Orang-orang sering beranggapan bahwa Lapas adalah sarangnya penjahat. Kalau ngomongin penjara maka yang terbayang adalah cuplikan film Hollywood yang penjahatnya kebanyakan berasal dari geng mana gitu. Bertato, tubuhnya kekar, terus bawaannya pingin tusuk-tusukan. Yang saat kita lewat malah diteriakin, diancam, dan seakan-akan mau keluar tanpa meregang nyawa aja susah.
Sementara yang saya temui di Lapas-lapas itu malah berbeda lho. Boro-boro diteriakin atau diancam, digodain aja nggak (di Lapas Pria). Saya bahkan diajarin membatik sama bapak-bapaknya (sampai diajarin mana motif yang popular dan laku dijual jutaan rupiah!), diajarin ngejahit, dinasehatin supaya
banyak baca buku (sama bapak penjaga taman perpustakaan), ketawa-ketawa
sama mas-masnya, peluk-pelukan sama ibu-ibunya, makan bareng sama
dedek-dedeknya, ngedengerin curhatan, keluhan, dan melihat tetesan air mata
mereka.
Iya, citra penjara yang digambarkan di media dan
dalam kenyataannya memang berbeda sekali. Saat pertama saya turun lapangan
untuk meneliti di Lapas Anak Wanita Tangerang (memang Lapas anak, tapi isinya
kebanyakan perempuan dewasa karena anaknya bisa hanya 4 orang dan umurnya juga
17 mau 18 tahun), saya juga kaget karena image saya soal penjara itu terbanting keras. Lapas ini malah lebih bagus dari
asrama putri saya di SMA dulu! Kompleksnya rapi, warna bangunannya cerah,
bersih, dan isinya ibu-ibu yang lagi menjahit atau nyalon (iya, ada salon
dengan peralatan lengkap!) sambil ngegosip.
Salon dalam Lapas Anak Wanita Tangerang yang super lengkap |
Saat saya masuk, setiap napi atau WBP (warga binaan
pemasyarakatan) yang berpapasan dengan ibu petugasnya itu menyapa, cium tangan,
terus mengobrol dengan akrab. Kalau di luar negeri napi itu dipanggil dengan
nomor baju (misalnya “Hei kamu, 0072!”) disini ibu petugasnya kayaknya hafal
tuh semua nama panggilan warganya. Bahkan kadang ngegosip kayak ibu-ibu RT
sungguhan:
“Si ini udah sehatan tuh?”
“Belum bu, ah dia mah kangen suaminya aja bu,
makanya gitu.”
“Makanya diajak ngobrol dong, besarkan hatinya. Dia
itu takut suaminya nikah lagi.”
Whoaaa! Si ibu bahkan tahu permasalahan batin yang
tengah dihadapi warganya! Saat saya mengobrol dengan ibu petugasnya, dia juga
justru menyatakan bahwa sebagian besar narapidana yang ditahan itu sebenarnya
perempuan yang jika dipikir-pikir nih, sebenarnya juga merupakan korban. Jadi si
ibu petugas kasihan dan berupaya menganggap semua warga binaan itu
anak-anaknya, walau sebenarnya secara aturan tidak boleh demikian, namun sisi
manusiawi itu mustahil dikesampingkan.
BTW, kenapa korban?
Dalam salah satu jurnal yang saya baca, ada
penjelasan bahwa saat perempuan berbuat kekerasan seperti membunuh, secara
statistik korbannya biasanya adalah pasangannya. Jika ditarik ke belakang, maka
biasanya kita akan menemukan sejarah panjang kekerasan yang dilakukan oleh
suami/pasangannya tersebut. Perempuan ini dipukul, dipaksa bekerja, dipaksa
melayani, diselingkuhi, uang hasil kerjaannya dipakai suaminya untuk main
perempuan atau minum, dsb. Hingga pada satu titik ia tak tahan lagi atau
berusaha membela diri dan akhirnya balas memukul suaminya, misalnya. Trus
matilah ia (makanya ada peribahasa takutlah pada kemarahan orang yang diam).
Ada lagi kasus yang saya temui, seorang ibu-ibu,
sebut saja Ibu A. Ibu A ini dipenjara karena membunuh tetangganya. Kedengeran seram?
Nanti dulu. Ia meracuni tetangganya itu karena dorongan dari keluarga suaminya
yang tengah bersengketa dengan si korban. Jadi yang punya masalah dengan korban
bukan ibu A, tapi keluarga suaminya. Ibu A didorong, dipaksa, sehingga akhirnya
ia menurut. Keluarga suaminya berjanji akan menolong dan menjaganya, namun
sesampainya Ibu A di penjara, ia malah dicerai oleh suaminya, dijauhkan oleh
anak-anaknya dan keluarga suaminya berceloteh bahwa itu adalah ide Ibu A. Masih
seram? Saya sih nangis, apalagi ngeliat Ibu A yang nangis karena kangen
anaknya.
Ada juga dedek B, ia berumur 16 tahun. Dedek B ini
diperkosa oleh pacarnya, ia dibawa ke rumah teman pacarnya yang nun jauh disana
hingga listrik jalanpun tak ada sehingga mau kaburpun dia takut. Pasca diperkosa,
pacarnya malah memutuskan dia sekalipun dedek B kemudian hamil. Suatu malam,
pacar dedek B datang membawakan pil, mengaku bahwa pil itu obat untuk kandungan
dedek B. Karena anak ini memang dasarnya polos, dia meminum obat-obat yang
diberi itu. Lalu dedek B mulas dan mengira ia akan pup, maka ia ke WC. Namun saat
jongkok yang keluar bukan pup, namun bayinya yang sudah berbentuk dan
meninggal. Dedek B kemudian memandikan anak laki-lakinya sembari menangis.
Namun anak ini diambil oleh pacarnya, lalu dikuburkan. Sayangnya, saat tengah
dikuburkan, ada warga yang tahu dan melapor. Akhirnya dedek B dan pacarnya
dijatuhi hukuman. Dedek B dijatuhi 4
tahun penjara, sementara pacarnya 4 tahun 3 bulan. ADIL BANGET YA HUKUM
ENDONESAH!?
Dedek B sempat mengalami komplikasi setelah
pengguguran paksa itu. Ia bercerita, jika ia tidak ditangkap polisi lalu dibawa
ke rumah sakit oleh polisi, mungkin ia sudah mati karena komplikasi akibat
aborsi yang tidak baik. Dedek B, sekalipun sedih karena ia tak mendapat
pengacara seperti sebagaimana mestinya dan hakim tidak mau percaya ia diperkosa
dan diperdaya untuk aborsi oleh pacarnya, tetap merasa bahwa ada hikmah yang ia
dapatkan dari kejadian ini. Hebat ya?
Belum lagi kalau bicara tentang napi narkoba.
Banyaaaaaak banget lho, perempuan yang diperdaya suaminya untuk membawa narkoba
mereka. Banyak diantara perempuan ini yang nggak tahu bahwa suaminya ‘menyelundupkan’
narkoba di tasnya. Bahkan Ibu C bercerita, suaminya mengajak dia wisata ke luar
negeri. Kebayang dong senengnya diajak jalan-jalan ke luar negeri? Namun sesampainya
di Malaysia, ibu C disuruh pulang duluan dengan alasan suaminya masih ada
bisnis. Suami Ibu C menitipkan sebuah tas golf yang sudah dibungkus rapi,
katanya titipan dari temannya yaitu X (ibu C nggak kenal x). Namun sesampainya
di bandara, ketahuanlah tas golf ini isinya narkoba. Ibu C juga tidak mendapat
pengacara maupun bantuan hukum. Akhirnya apa? Iyaaa, ibu C dihukum mati. Suaminya
kemana? Iyaaa, kabur nggak ada jejak sama sekali.
Lapas ini asri banget, bahkan ada koleksi bunga anggrek Ibu Petugasnya. |
Penegakan hukum di Indonesia memang belum baik. Mau
tidak mau, hal ini terpaksa kita akui. Diluar negeri, pelanggaran-pelanggaran
ringan yang kira-kira tak menimbulkan bahaya akan diganjar dengan kerja sosial
atau hukuman tahanan kota, misalnya. Kurir Narkoba yang diperdaya seperti Ibu C
juga hukumannya nggak semengerikan itu. Namun di Indonesia mulai dari nenek
ngambil buah kakao 3 biji hingga emak-emak pejabat yang korupsi milyaran juga
hukumannya sama. Masuk ke penjara yang sama pula. Gila kan?
Sehingga kemudian Lapas perempuan itu kebanyakan ya
isinya perempuan-perempuan yang biasa saja, beda dengan luar negeri yang memang
sudah disaring sedemikian rupa. Sama seperti kehidupan di masyarakat normal,
dalam Lapas Wanita ada juga ibu-ibu galak, ibu-ibu bawel, ibu-ibu rempong, ibu
baik hati, ibu-ibu asyik, hingga ibu-ibu galau yang kerjanya nangis. Namun memang
kehidupan dalam Lapas tingkat stressnya lebih tinggi. Secara nggak ada hiburan,
ketemunya orang-orang yang itu aja, apa-apa serba dibatasi, kangen anak, kangen
suami, terus kadang suami malah nikah lagi jadi dia stress berat.
Petugas Lapas juga bukan manusia tangan besi yang serba galak. Nggak. Di Indonesia malah petugas Lapasnya berupaya mengayomi dan menganggap warganya itu patut dibantu. Memang, namanya hidup ya ada saja oknum petugas yang nakal. Tapi nggak semua kok. Tidak sedikit petugas Lapas yang baik, care, perhatian, dan mau membantu warganya. Bahkan seorang petugas di Tangerang pernah menasehati saya "Saya nggak perduli dulu dia jahatnya gimana, yang penting disini dia baik dan keluarnya nanti baik. Mereka itu sudah cukup menderita disini, jadi harus saya bantu sebisa saya."
Petugas Lapas juga bukan manusia tangan besi yang serba galak. Nggak. Di Indonesia malah petugas Lapasnya berupaya mengayomi dan menganggap warganya itu patut dibantu. Memang, namanya hidup ya ada saja oknum petugas yang nakal. Tapi nggak semua kok. Tidak sedikit petugas Lapas yang baik, care, perhatian, dan mau membantu warganya. Bahkan seorang petugas di Tangerang pernah menasehati saya "Saya nggak perduli dulu dia jahatnya gimana, yang penting disini dia baik dan keluarnya nanti baik. Mereka itu sudah cukup menderita disini, jadi harus saya bantu sebisa saya."
Sehingga, saya kemudian membayangkan Lapas di Indonesia itu
seperti desa atau kampung yang tertinggal (analoginya Pak Rahardi Ramelan), terasing dari masyarakat. Didalamnya,
ada jiwa-jiwa yang tertatih menyambung hari demi hari. Dalam kampung ini pastilah
ada konflik, saya aja di asrama putri konfliknya beragam banget. Ada yang memang udah dasarnya jahat dan ndablek jadi mau gimanapun tetap jahat. Namun juga ada
pancaran cahaya yang lahir dari jiwa-jiwa yang menolak dikalahkan nasib. Mereka
justru ada yang terlahir menjadi manusia yang lebih baik, lebih tangguh, dan
lebih dekat pada Tuhan.
Menurut saya, film yang lebih tepat menggambarkan
penjara perempuan itu adalah film Korea yang judulnya Harmony. Nonton deh,
siap-siapin tissue juga karena film ini sedih bingittt. Di film ini anda akan
tahu betapa mengerikannya label negatif yang diberikan masyarakat pada mereka. Ada
juga salah satu adegan di Serial TV Sense8, dimana tokohnya yakni Sun awalnya
takut masuk ke selnya, namun ternyata ia justru diajak minum teh bersama dan
diceritakan bahwa teman-teman sekamarnya awalnya adalah korban. Ada yang
dipukulin suaminya sampai mau mati, ada yang dilecehkan ayahnya, hingga di satu
titik mereka bangkit dan membalas kekerasan itu. Bahkan si tokoh nenek
mengeluarkan quote keren yakni: “Terkadang justru dalam penjara-lah kamu bisa
menemukan perempuan-perempuan paling berani di Negara ini.”
Di Lapas Klas I Medan, napi yang sedang menunggu kegiatan pramuka dimulai menonton rekannya yang sedang latihan nge-Band. Seru ya? |
Saya juga percaya bahwa di dalam kehidupan, pada
suatu titik kita mungkin saja tertimpa kemalangan karena bertemu orang jahat
atau berurusan dengan orang jahat. Atau kita bisa saja bikin kesel orang kaya
terus dituntut dengan pasal “sampah” yakni Pencemaran Nama Baik atau Perbuatan
Tidak Menyenangkan (yang mana kalau menurut pasal ini ya, anda ngupil terus ada
yang nggak suka juga bisa aja lho kena. Absurd ya?). Bahkan kita bisa saja
dipenjara walaupun tidak bersalah, mengingat penegakan hukum di Indonesia masih
begini adanya.
Jadi, jika saya bertemu dengan orang yang jahat di
situasi yang salah hingga mungkin saya masuk penjara (naudzubillah min dzalik),
saya berkeyakinan dan bertekad bahwa saya akan memanfaatkan moment itu sebagai
waktu penelitian observasi dan kesempatan untuk menimba ilmu. Karena saya ini
kriminolog, jadi saya akan mengisi waktu saya dengan berkeliling penjara,
mendengarkan curhat orang-orang, mencatat kisah-kisah yang luar biasa,
memberikan konseling psikologis sebisa saya, berupaya membangkitkan semangat
sesama rekan napi, bikin event-event keren kayak di penjara luar negeri
(misalnya nari flashmob tiap Jumat), sering-sering ke Masjid, plus nulis
puluhan buku inspiratif maupun ilmiah, terus tampil di Kick Andy! Wuhuuuu!
Saya bingung mau beli bantal lucu yang mana. Bantal ini dibuat oleh para ibu-ibu dalam Lapas. |
Saya percaya bahwa seperti halnya Pramoedya Ananta
Toer dan tokoh-tokoh lainnya yang justru menelorkan karya-karya tulisan yang
luar biasa selama masa pemenjaraannya, maka kita juga bisa memanfaatkan waktu
dalam Lapas sebagai masa untuk merenung, berkaca, memperbaiki kualitas diri,
bahkan melahirkan hal-hal yang produktif.
Kalau bisa malah jadi kayak almarhum Pak Kim, yang
beberapa saat lalu dihukum mati di Nusa Kambangan. Beliau mengabdikan sisa
hidupnya dengan membuat obat untuk orang-orang HIV, membuka pengobatan
alternatif untuk masyarakat umum, tak henti-henti meracik dan meneliti formula
obat dibantu oleh salah satu lembaga kedokteran indonesia, dan membuka bengkel
kerja untuk sesama rekan napi dengan omset luar biasa yang ia putar lagi untuk
kebaikan bersama. Beliau kewl banget! Bayangin saja waktu beliau meninggal,
ratusan orang berkumpul di LP Nusakambangan, menangisi beliau. Beliau memang
dikurung dalam Lapas, namun cahaya-nya tak mampu dibendung dinding-dinding
dingin Lapas.
Kereeennn ceritanya...kirim ke kompas online
BalasHapusHoooo bisa bisa bisa kak, ntar abe cobak
BalasHapusdi lapas ga seseram yang dibayangkan yaa :D
BalasHapushah parah, orang kena musibah di perkosa, apa lagi keguguran lagi, eh malah di tahan 4 tahun, parah banget itu mh, kasihan
BalasHapusItu lah hukuman di negara ini mangkanya hati2 banget
HapusItu lah hukuman di negara ini mangkanya hati2 banget
Hapusdiskripsnya bagus gan, sangat bermanfaat dan memberikan informasi wawasan lebih luas.. thx
BalasHapushalo suci, lama ih nggak mampir dimarih
BalasHapusanyway makasih postingannya, bikin aku mikir loh
thanks infonya
BalasHapuskeren abisss
BalasHapusberkunjung saja
BalasHapus