“Hey ganteng,
bangunlah. Ini ada cake dengan banyak lilin di dekat pintu kamarmu. Hari ini
kamu ulang tahun, ya?”
Suara itu
membangunkannya. Rangga berguling di atas tempat tidur dan meringis saat sakit
di kepalanya menyerang. Ia membuka mata dan menyadari bahwa seperti halnya
kesadarannya—kedua matanya belum berfungsi sepenuhnya. Seluruh tubuhnya terasa
sakit dan rasa mual di perutnya begitu menyiksa. Bahkan usaha untuk menggapai
jam beker di samping tempat tidurnya pun menjadi perjuangan yang begitu berat.
Bagaimana
bisa ia baru saja terbangun saat waktu sudah melesat senja dan mataharipun
bahkan sudah akan turun lagi?
Rangga
mencoba duduk dan mendapati seorang perempuan tengah santai merokok di dekat
pintu kamarnya, dan memakai sesuatu yang mirip sekali dengan t-shirt
kesayangannya.
“Siapa lo??”
bentak Rangga kaget.
“Aduh aduh…
Tadi malam kamu minum berapa banyak sih sampai nggak ingat apa yang sudah kita
lakukan?” kekeh perempuan itu sembari tersenyum menggoda. Ia kembali menghisap
rokoknya dengan acuh.
Ya, Rangga
tak bisa mengingatnya.
Dan sekeras
apapun ia mencoba mengingat, Rangga hanya mampu mengingat pesta gila yang
dibuat teman-temannya untuk merayakan ulang tahunnya. Mereka memang memesan
begitu banyak minuman keras, dan mungkin sedikit ganja. Ia juga bisa mengingat
bahwa dirinya sendiri minum begitu banyak.
Tapi, benarkah
ia begitu hilang kesadaran hingga membawa pelacur ke kamarnya?
“Apa-apaan??”
Rangga
merasa punggungnya bagai diguyur dengan air dingin saat menyadari bahwa dirinya
sendiri nudis tanpa busana. Sembari mengutuki impulsnya yang begitu lamban,
Rangga melompat dari tempat tidur dan memakai pakaiannya yang bertebaran
dimana-mana dengan terburu-buru. Ia meringis jijik saat menyingkirkan sebuah
celana dalam sutra bewarna hitam dari celana jeans-nya.
“Kamu kenapa
sih? Hahahaha.” Kekeh si perempuan geli.
“KELUAR LO!
PERGI!!” gerung Rangga murka. Pandangannya menjadi kabur saat efek alcohol masih
berkuasa dalam tubuhnya. Rangga membiarkan tubuhnya jatuh ke kasur dalam posisi
duduk.
Bagaimana bisa
ia tidur dengan pelacur itu? Bagaimana bisa ini terjadi padanya? Kulit Rangga
meremang karena jijik. Ia begitu panik sekaligus kebingungan. Ia begitu marah
hingga ingin rasanya melenyapkan pelacur itu dari muka bumi. Namun yang paling
ia inginkan adalah andai ia bisa memutar waktu agar ia tak perlu melakukan hal
sebodoh ini.
“Oke, oke.
Santai saja, tampan… Ya ampun, segitunya… Kamu seperti cewek yang marah karena
perawannya direbut orang deh. Hahaha. Eh? Atau jangan-jangan kamu masih
perjaka, ya? Ya ampuuun, aku nggak sadar lho. Soalnya tadi malam…”
“…PERGI LO,
ANJING!!”
Jam beker
yang ia lemparkan itu melesat hanya beberapa centimeter dari kepala perempuan
itu. Bersamaan dengan bunyi benturan keras saat jam itu membentur dinding, jeritan
si pelacur memenuhi kamar. Lalu tanpa mengatakan
apapun kecuali rintihan ketakutan, perempuan itu memunguti seluruh barangnya
dan kabur secepat yang ia bisa.
Rangga terduduk
lemas. Andai ia bisa menangis agar semua sesak di dada ini bisa sedikit
dikurangi.
Bagaimana bisa
ia tidur dengan seseorang yang bahkan tak ia kenal? Bukan, sebenarnya,
bagaimana bisa ia tidur dengan perempuan lain selain Artika—orang yang begitu
ia cintai? Bagaimana jika Artika mengetahui apa yang sudah ia perbuat?
Sedetik
kemudian Rangga merasa darahnya bagai tersirap keluar.
Artika!
Rangga
berlari ke arah pintu kamarnya, nyaris jatuh menimpa sebuah rak buku, menuju
sebuah kotak yang terletak di dekat pintu kamarnya. Ia menyambar kotak itu dan
membukanya seperti orang gila, sembari mengacuhkan pandangan menuduh
tetangga-tetangga apartemen-nya.
Cheese cake
dengan saus blueberry.
Rangga
terduduk lemas. Hanya ada satu orang yang akan memberi cheese cake dengan saus
blueberry sebagai kue ulang tahun. Hanya ada satu orang yang begitu egois
sekaligus menggemaskan karena selalu memberi kue kesukaannya pada orang yang
berulang tahun dengan asumsi ia yang akan menghabiskan semuanya.
Satu orang
itu adalah Artika.
“Aku mau bikin surprise lho, di ultah kamu
nanti! Eh, tapi jangan nanya ya, kan namanya surprise. Jadi tunggu saja ya,
sayang!”
kata-kata terakhir Artika menggema di dalam kepala Rangga.
Rangga
kembali menghambur ke dalam kamar, mencari handphonenya yang entah dimana
dengan terburu-buru. Saat ia menemukannya, Rangga mendapati ada sekitar 7
misscall dan 9 sms dari Artika—dimana sms terakhirnya berbunyi “sayang, kamu
dimana? Aku kedinginan nih, udah 3 jam aku nunggu di depan kamar kamu. Aku masuk
aja ya, kayaknya kamar kamu nggak dikunci.”
“Tidak…”
rintih Rangga pelan.
Artika disini.
Ia terbang jauh-jauh dari Jakarta ke Batam hanya untuk memberi Rangga surprise.
Ia membawa cake dan menunggu di teras kamar Rangga sepanjang malam hanya untuk
menyaksikan…
Rangga
meraung pedih. Dengan nafas tak beraturan, ia berulangkali berusaha menelfon
Artika, namun nomor yang dia hubungi tak pernah aktif.
Ia mencoba
menolak percaya—namun di sudut hatinya Rangga tahu, ia telah seluruh belahan
hatinya—Artika.
* * *
“Jadi, mbak
mau ke Jakarta atau kemana nih, mbak?”
Kelihatannya
penjual tiketnya nyaris kesal. Tentu saja, pikir Artika muram. Ia sudah 15
menit berdiri di sini, di depan antrian orang-orang yang tak sabar menunggunya
pergi dari antrian, dihadapan seorang penjual tiket yang sudah mulai kehabisan
kesabaran menunggu keputusannya.
Ya, tapi ia
harus kemana?
Ia hanya
ingin berlari. Sejauh mungkin, kalau bisa, dari semuanya. Artika sadar ia hanya
belum bisa menerima apa yang sudah terjadi padanya—atau ia saksikan. Ia hanya
ingin kabur dari kenyataan. Ia hanya ingin lupa. Ingin melepaskan diri dari
kesakitan yang sejak tadi membelenggunya.
Hanya saja
bagaimana caranya?
“Ya sudah,
ke Jakarta saja mbak.” Artika berkata pelan.
Ia mungkin
bisa kembali ke rumahnya. Ia mungkin bisa berakting seakan-akan ia membatalkan
liburan yang ia siapkan untuk bersama Rangga. Ia mungkin akan menemukan alasan yang
masuk akal untuk membatalkan cutinya, lalu kembali bekerja.
Tapi…
Artika
nyaris menangis lagi. Ia begitu rapuh kini, ia begitu lemah. Adalah sesuatu
yang tak mungkin jika ia kembali ke Jakarta, lalu menghadapi pertanyaan semua
orang yang ingin tahu.
Kalimat “gue akan menghabiskan cuti 3 bulan bersama si
yayang lhooo~oo.” telah ia ucapkan nyaris kepada semua orang. Betapa bodohnya. Kini,
setelah rencana indah itu gagal, tentu mereka akan bertanya-tanya. Semua orang
pasti akan mencecarnya dengan tuduhan dan tebakan.
Dan itu
hanya akan membuatnya semakin terluka.
Ia hanya
butuh sendiri. Ia hanya butuh mencerna semuanya sendiri. Ia hanya ingin
memikirkan semuanya dengan baik, dengan tenang. Ia butuh tempat dimana ia bisa
berteriak sepuasnya dan sekencangnya hanya untuk melegakan dirinya.
Ya, Artika
tahu ia harus pergi sejauh mungkin. Sendirian.
“Mbak,
jangan ke Jakarta, deh. Ambil tiket yang menuju Jogjakarta saja.”
Jogjakarta! Sejak
dulu ia ingin kesana. Eksotisme daerah itu telah memenjara hatinya sejak lama. Dan
kini Artika akan mengandalkan kota itu untuk menyembuhkan hatinya. Disana ia akan sendirian, tanpa seseorangpun yang ia kenal. Ia akan berpetualang kemana saja kakinya melangkah, menyibukkan diri dan pikirannya mengenai hal-hal baru agar mampu 'melupakan'. Ia akan bertemu dengan sebanyak mungkin orang untuk menenggelamkan diri di cerita mereka. Petualangan baru! Pencarian baru!
Ya! Ia akan
pergi dan mencari penyembuh hatinya di Jogjakarta selama 92 hari ke depan!
(bersambung)
aku tunggu sambungan-nya ^^
BalasHapusmales deh tapi, ceritanya ga ada kelam-kelamnya, ga asyiiii~ik :( jadi ga semangat lanjutin deh hahaha..
BalasHapussemangat dong!!!
BalasHapustp kok dari semua cerpen yang km buat rata2 ending-nya diserahin pembaca. Gak ada yang happy ending??
coba aja kali ini g usah kelam, yang happy-happy aja hehehehe....
Semangat dong!!!
BalasHapusDari sekian banyak cerpen yang kamu tulis kebanyakan endingnya diserahin pembaca dan gak pernah happy ending kenapa???
coba kali ini happy ending dan gak kelam-kelam trus hehehe ^^