“Mbak, aku mau kawin.”
Mbak Titi bengong. Menatapku dalam. Lama. Tercengang habis-habisan. Ia terlihat kaget seperti habis melihat wewe gombel.
Lalu, tiba-tiba saja otot di wajah cokelat itu berubah. Mbak Titi seperti kesakitan, padahal tidak tertimpa lesung. Jadi seperti mau menangis, persis seperti saat bapak dan ibu meninggal. Alisnya bertaut seperti garis batik. Lalu, perlahan mbak Titi menangis, kenceeng sekali seperti geledek.
“Oalah, kenapa tho Mbak?”
Mbak Titi masih menjerit-jerit seperti orang gila. Merosot ke lantai tanah dan memukul-mukul tanah hingga pecah. Tak diperdulikannya masakannya yang mulai gosong di atas panci. Ia sibuk melolong seperti anjing hutan, memanggil bapak, ibu, hingga mbah uyut. Bingung aku dibuatnya.
Apa tho yang salah kalau ingin kawin? Umurku juga sudah 25 tahun. Sudah perawan tua kalau orang sini bilang. Sudah layu. Sudah susah dapat jodoh. Mana mungkin juga aku tak kawin-kawin. Lebih baik menjanda daripada dibilang perawan tua. Betul, tho?
“Mau kawin sama siapa kamu memangnya, Tiii?” lolong Mbak Titi. “Siapa yang mau sama kamuuu? Aduh cah ayu, nggak usahlah mikir yang muluk-muluk, mau kawin segala. Yang penting kamu sehat, sudah. Mbak dan Mas Anto sudah nggak punya duit untuk ngirim kamu ke rumah sakit…”
“Mbak bisa tho, carikan aku laki? Yang mau kawin sama aku, mbak?” rengekku kesal. “Mbok ya kita coba dulu aja tho mbak? Siapa tahu rezeki dari Gusti Allah? Aku serius ingin kawin, mbak.”
Suaraku tenggelam dalam-dalam diantara lolongan Mbak Titi. Tenggelam dan jatuh tanpa pernah didengar lagi. Tenggelam untuk dikubur dan tak pernah muncul lagi.
Jauh dalam hatiku, aku tahu mbak Titi benar. Permintaanku terlalu muluk. Terlalu maksa.
Benar. Mbak Titi benar. Mana ada laki yang mau kawin sama perempuan gila?
* * *
Terkadang aku tidur bertemankan Sarwo.
Sarwo diatasku, berbau, dan sibuk sendiri. Saat dia selesai melakukan urusannya, ia akan pergi lewat jendela, setelah mengingatkanku agar jangan lupa membereskan bajuku yang acak-kadul.
Selepas Sarwo pergi, aku kadang tak bisa tidur. Sakit di bagian bawah perutku terlalu menyiksa hingga pagi menjelang. Sarwo bohong saat ia bilang, sakit di bawah perut itu tak akan terlalu terasa jika kami sering melakukannya. Aku selalu kesakitan, sementara Sarwo selalu nampak puas.
Sejak dulu aku bingung dengan Sarwo. Kok dia mau ya, sama aku. Padahal banyak yang nggak sudi berteman denganku karena katanya aku ini bodoh. Agak terganggu mentalnya. Idiot. Aku sendiri nggak ngerti apa maksudnya. Emang idiot itu apa sih? Yang penting Mbak Titi masih mengunjungiku, masih ngasih aku makan. Tapi yang paling penting, Sarwo masih mau mengunjungi dan menemaniku tiap malam.
Lalu entah sejak kapan perutku besar. Mbak Titi mengejekku, katanya jangan terlalu banyak makan. Aku jadi gendut, sering muntah dan pusing. Duh Gusti, waktu itu aku takut sekali bakal mati.
Aku meminta untuk tinggal di rumah Mbak Titi. Agar dia lebih mudah mengurusiku. Aku takut tinggal sendirian di gubuk ini. Tapi kata Mbak Titi, Mas Anto nggak suka kalau aku di rumahnya. Bikin malu. Apalagi Mbak Titi dan Mas Anto baru menikah. Lagi asyik-asyiknya, katanya. Memangnya kenapa sih, aku nggak ngerti.
Saat perutku kian besar dan aku makin menggemuk, Sarwo sempat bertanya aku kenapa. Apa aku hamil, dia tanya. Lah aku bengong. Apa itu hamil, emangnya aku ngerti. Mbak-ku saja yang nggak idiot belum tentu tau maksudnya hamil. Lalu Sarwo bilang, kalau hamil, dalam perutku ada anak. Aku tertawa keras di mukanya.
“Piye caranya mas, anak masuk dalam perut?” gelakku senang. Mas Sarwo memang lucu.
“Aduh. susah memang, ngomong sama orang idiot.” Gerutu mas Sarwo kala itu.
Malam itu Sarwo kembali di atasku, berbau, dan sibuk sendiri.
Esoknya, aku bangun dengan kesakitan yang lebih dari yang biasanya. Aku merintih nggak jelas, lalu merangkak ke kamar mandi. Mungkin karena aku belum buang air dari kemarin, jadi sakit perut begini. Aku jongkok, berusaha buang air. Heran sekali kotoranku bisa susah keluar begini. Aku mengedan keras berkali-kali. Nggak nongol juga. Lalu setelah mengedan keras sekali, akhirnya ada juga yang keluar. Besar, lagi.
Hanya saja kali itu, yang keluar bukan kotoran yang biasanya.
Yang keluar anak. Ya, benar-benar anak. Bewarna merah dan berlumuran darah. Anak itu meluncur dari pahaku dan membentur kakus dengan keras. Lalu diam. Dia tak bergerak.
Lalu aku tak ingat apa-apa. Gelap dan dingin. Seperti tidur, hanya saja cepat dan tanpa mimpi.
* * *
Aku benci mengingat saat-saat itu. Tapi mimpi nggak bisa diatur. Bandel. Sudah dibilangin jangan muncul, malah makin sering muncul.
Aku benci mengingat, bahwa setelah ada anak keluar dari tubuhku, gubukku selalu ramai dengan orang-orang. ribut sekali mereka. Suaranya seperti dengungan lebah yang marah. Yang ibu-ibu mendelik padaku, mengomel panjang. Yang bapak-bapak seakan jijik tapi juga penasaran.
“Sudah idiot, melonte lagi. Sama siapa kamu tidur sampai bisa bunting?”
“Mana ngerti dia kalau ditanyain begini. Idiot ya kalo diajak ngomong nggak nyambung.”
“bisa-bisanya anak sendiri dibunuh! Gak waras! Hayo, kamu tidur sama siapa? Ayo jawab, Tia!”
Saat itu aku bilang kalau kadang Sarwo datang ke kamarku jika langit sudah gelap. Ia biasanya lewat jendela, nggak lewat pintu seperti Mbak Titi.
Kata-kataku makin membuat mereka marah. Semua menunjuk-nunjuk aku dan menyebutku pembohong. Nggak mungkin Sarwo, katanya. Dia tampan dan sudah punya istri cantik. Ia anak pak RT dan begitu kaya-raya. Mana mau dia tidur dengan perempuan gila, kata mereka. Nggak akan sudi.
Tapi memang benar, kok. Aku memang idiot, tapi aku kan bukan pembohong.
Akhirnya mereka memanggil Sarwo. Ia disuruh mengaku apa benar dia yang membuatku bunting apa tidak.
“Lah mana mungkin, tho? Dekat-dekatpun aku seram. Dia bukan hanya idiot tapi juga gila. Masa anak sendiri dibunuh. Ngapain aku tidur sama perempuan gila. Istriku di rumah cantik, kalaupun mau tidur sama yang lain, masih banyak perempuan waras di kampung ini. Mimpi kali si idiot ini, aku mau sama dia.” Ejek Sarwo sambil tertawa.
Orang-orang itu tertawa, setuju dengan Sarwo. Aku dituduh pembohong lagi, hanya saja kali ini lebih seram. Mereka mulai memukuliku untuk memaksaku jujur.
Apa lagi sih, lha aku sudah jujur.
“Situ benar, mas. Ternyata anak memang keluar dari bawah perut.” Kataku ke Sarwo yang tertegun.
Yang kuingat, Sarwo marah. Ia memukulku keras sekali hingga aku terbanting ke tanah. Kepalaku terbentur, sakit dan ngilu.
Yang jelas, habis itu aku dikirim ke rumah sakit.
Sarwo nggak pernah mengunjungiku lagi setelah kejadian itu. Aku merindukannya, tapi juga tak begitu kehilangan. Ia juga tak mengunjungiku saat aku keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumah. Ia seperti menghilang, nggak tau kemana.
Mbak Titi juga jadi lebih jarang mengunjungiku. Kalaupun datang, hanya memasak dan bebersih rumah. Nggak pernah lagi ia bercanda dan menggodaku, memainkan rambutku dan mencari kutu. Jika ia tinggal lebih lama, mbak Titi akan mulai menangis dan melolong. Aku tak tahan melihatnya, jadi cepat-cepat ia kusuruh pulang.
Kurasa mbak-ku lama-lama juga ikut gila seperti aku.
* * *
Aku ingin kawin, walau kata Mbak Titi itu nggak mungkin.
Aku ingin ada orang yang menemaniku di gubuk tua ini. Mengajakku mengobrol, aku buatkan teh. Mungkin aku nggak bisa masak dan bebersih. Tapi kalau nyari ubi saja aku bisa. Aku pasti bisa bantu laki-ku di ladang.
Aku ingin seperti mbak Titi. Yang sangat disayangi mas Anto. Yang kadang-kadang didekap mesra, dan tertawa bersama. Aku bosan tinggal di gubuk yang gelap, lembap, dan sepi. Yang bahkan kecoakpun tak mau datang bertamu. Aku iri dengan gadis-gadis yang lewat bergerombolan di depan gubukku sembari tertawa-tawa.
Apakah perempuan idiot juga tak berhak senang seperti mereka? Apakah karena anakku jatuh dan mati maka aku harus dibenci dan dirantai seperti sapi begini? Kenapa laki-laki hanya mau kawin dengan perempuan yang tidak idiot? Apa aku tak boleh menikah dan bahagia seperti mbak Titi?
Kenapa ya, orang-orang itu membenciku? Kenapa mereka selalu mengejek dan bahkan terkadang melempariku dengan batu? Aku orang, mereka orang. Aku makan nasi, mereka makan nasi. Aku buang air, mereka buang air. Lalu bedanya apa? Apa perbedaan isi kepala membuatku begitu jelek dan hina di hadapan mereka?
Duh, Gusti Allah.
Aku benar-benar nggak ngerti lho, ini.
Bagusss
BalasHapuskeren...
BalasHapuskamu kalo buat cerpen berapa jam??
trus pake sistem lanjutin bsk ato sekali duduk?
mihihihi :D kritik dong kaaak. apanya, gituuu~uu..
BalasHapus