sumber gambar disini |
“Seharusnya memang tidak pernah disampaikan,
ya…”
“Itu lagi. Toh sudah terjadi. Mau kamu ulang
lagi juga nggak akan bisa, kan?”
“Iya…”
“Sudahlah. Pikir diri sendiri saja dulu. Muka
pucat begitu, magg kambuh, migraine kumat… Sudah tahu nggak bisa terlalu
stress. Sembuh dulu sana, gak usah mikir macam-macam! Kalau kamu mati memangnya
yang perduli siapa?”
“…”
“Kenapa lagi?”
“Aku merasa sedang dihukum… Dan pantas untuk
dihukum… Aku tahu saat itu aku sedang emosi, tapi aku seharusnya juga tidak
mencoba sesuatu yang belum aku tahu. Hasilnya akan jadi separah itu… aku tidak
menyangka… aku kira…”
“Semua orang di dunia pernah melakukan
hal-hal mengerikan saat mereka marah. Kamu manusia bukan? Kalau iya, ya wajar. Sekarang
yang penting bagaimana kamu menyadari itu salah dan tidak akan berbuat yang
sama nantinya.”
“….” “Apa aku manusia yang mengerikan?”
“Kutukan atau anugrah itu sebenarnya
beda-beda tipis, tergantung mau dilihat dari mana. Kamu sudah menyakiti orang
karena ketidaktahuan seberapa besar dampak anugrah-mu, ya itu bisa dibilang
kutukan. Tapi kamu masih punya banyak waktu untuk menggunakan itu sebagai
anugrah. Iya, tidak?”
“Hmm…”
“Toh permintaanmu ‘sakit yang sama’. Yang memutuskan
untuk menurunkan kesakitan kan Tuhan. Kalau Tuhan mengira permintaanmu itu
egois, dia tidak akan mengabulkannya. Tuhan kan hanya mengabulkan permintaan
orang yang di-dzalimi. Kalau Tuhan memutuskan dia ditimpa sesuatu yang seperti
itu ya, berarti Tuhan menganggap kesakitanmu sama dengan kesakitannya.”
“Aku tetap merasa bersalah…”
“Huuh… Lagipula kamu itu narsis! Kamu benar-benar
mengira itu semuaa.. 100% semuanyaa gitu, itu salahmu? Sombong, kalau begitu! Kekuatanmu
itu masih cetek, masih level bawah! Kamu itu belum bisa menghasilkan sesuatu
yang sehebat itu. Kamu meminta atau tidak kan, hasilnya sama. Karmanya akan
tetap turun tanpa diminta.”
“Tapi bukannya dia tidak akan sebegitu
sakitnya jika aku tidak meminta apapun?”
“Iya, itu benar. Yang membuatnya sakit ya
karena kamu—diantara semua orang—adalah yang paling disayangi, tapi bisa
semarah itu untuk mencelakai. Oleh karena itu, lain kali sucikan saja hatimu. Semarah
apapun, tetaplah meminta yang baik. Jangan mengotori hati dengan niat buruk. Kalau
memang seseorang bersalah, tanpa dimintapun azab akan turun. Nah, biarkan itu
turun sendiri! Jadi kamu, berjuanglah
memaafkan. Karena porsimu disitu. Saat kamu meminta kan, kamu ikut bersalah
sebenarnya. Oleh karena itu sekarang kamu menderita. Kamu merasa bersalah dan
menghukum diri sendiri sampai jadi seperti ini kan, karena Tuhan menilai kamu
juga sudah bersalah.”
“Iya… Setiap menatapnya… Membayangkan
orangtuanya… seperti ada yang berteriak ‘Lihat itu semua! Masih berani kamu,
menggunakan kutukan itu lagi??’. Dia mungkin bisa memaafkan dan melupakan, tapi
aku rasa seumur hidup aku tak akan bisa memaafkan diri sendiri, apalagi
melupakannya…”
“Tapi jangan sampai seperti kemarin lagi, ya…
Bisa-bisa perutmu yang hancur nanti. Jangan terlalu dibawa stress. Jangan
menghukum diri terlalu keras.”
“Iya…” “Hmm… Apa memang kemarin… Lebih baik
dibiarkan saja berjalan apa adanya? Aku merasa seperti sedang mencurangi takdir…”
“Kan Tuhan sendiri bilang, berdoa dan
berusahalah. Kalau kamu berusaha mengubah sesuatu yang buruk ya itu nggak
mencurangi dong?”
“Tapi… Kalau kemarin aku memutuskan untuk
membiarkan semua dan duduk jadi penonton saja?”
“Bisa. Dan boleh. Itu kan pilihanmu. Tapi
coba pikir, apa kamu akan lebih bahagia bila itu semua terjadi. 5 bulan waktu
yang ditentukan sebelum hari ‘pembuktian’ itu, kan banyak hal yang bisa terjadi.
Bisa saja dia benar-benar ‘kepleset’ dalam 5 bulan itu. Tapi dengan begini,
setidaknya dia yaaaah… kalau dia mau berpikir bijaksana sih, dia akan lebih berhati-hati
menghadapi perempuan itu.”
“Daripada seperti ini?”
“Kalau aku, jika ada dalam posisinya, tetap
mengharapkan kamu memberi tahu. Karena aku manusia. Aku bisa berbuat salah. Pilihanmu
sudah menghindarkan aku dari itu. Kalau sampai aku berbuat salah, menyakitimu
dan menyakiti aku (karena aku tentu akan ikut sakit karena sudah menyakiti
kamu), padahal itu semua bisa dicegah, tentu aku akan menyesal. Dan sebenarnya
dalam hati aku tahu kamu hanya ingin melindungi. Jadi ya, aku tetap berharap
kamu memberi tahu.”
“Iyakah?”
“Aduuh… mudahnya begini. Kalau ada cowo yang
mendekatimu dengan tampang baik, lalu kamu berteman. Kemudian dia tahu bahwa
cowo itu sebenarnya punya maksud jahat padamu, tapi dia tidak memberitahumu dan
kemudian kamu ‘jatuh’ ke cowo itu. Apa kamu nggak makin sakit hati pada dia
karena membiarkanmu?”
“Iya sih… Aku-pun tentu ingin diberi
peringatan…” “Tapi karena kemarin… Aku takut… Aku rasa aku tak akan punya
keberanian cukup lagi bahkan untuk ‘mengintip’ apapun…”
“Iya… itu wajar. Karena saat pertama kalinya
kamu mencoba untuk mengubah ‘aturan main’ dengan menginterupsi apa yang kamu
lihat, reaksi dia sekeras itu. Kamu terlanjur mengalami hal buruk dan terluka.
Kamu juga merasa, dia tidak bisa menerima bahwa untuk menyampaikannya saja
sudah hal yang terlalu berat untuk kamu tanggung. Kamu merasa ia tidak memahami
kamu. Kalau kemudian kamu butuh waktu untuk memulihkan luka-luka itu, aku rasa
itu hal paling wajar di dunia.”
“Tapi dia juga sakit….”
“Ya…
karena caramu menyampaikan telah menyakiti dia… Kamu tahu dia rapuh dan sensitif.
Kamu tahu dia butuh usaha kerasuntuk membuka dirinya padamu dan mempercayaimu. Dia
bukan orang yang mudah percaya, begitu juga menunjukkan kerentanan. Persis seperti
kamu, lah! Dia sudah berusaha, tapi kamu telah menyakiti dia. itu sebabnya jika
dia meminta waktu untuk menenangkan diri, itu wajar. Dia menyayangimu, kau akan
selalu tahu itu, karena kalau tidak, dia tak akan pernah sesakit itu.”
“Aku harus bagaimana?”
“Pertama, sembuhkan dulu perut itu. Makan
yang teratur! Tenangkan dulu mentalmu. Keluar dari kamar ini, jangan
menghindari orang terus. Kedua, pikirkan baik-baik, apa kamu sekuat itu untuk
menghadapi kekuatan itu? Kalau kamu begitu saja meng’iya’kan permintaannya, apa
itu tidak berarti membunuhmu pelan-pelan? Ketiga, bicaralah hanya kalau kamu
sudah siap.”
“Iya…”
“Kenapa lagi? Kok belum semangat?”
“Aku masih…takut… Aku takut suatu hari akan
begini lagi jadinya…”
“Hmm… Yah… Analoginya begini: kalau kamu
sebagai penderita magg, ngiler melihat ayam penyet super-pedes. Apa kamu akan
tetap memakannya walau tahu kamu akan menderita, menci-menci parah setelahnya—atau
kamu beralih memilih makan ayam goreng yang tidak pedas?”
“Selalunya sih tetap bandel milih ayam penyet
super-pedas. Toh tidak akan mati juga meski menci parah. Hehehe…”
“Nah, itu! Walau hidup bersama dia tidak
mudah, aku rasa kamu akan tetap bebal terus memperjuangkan dengan mentalitas ‘toh-tidak-akan-mati’mu
itu. Se-sakit dan semenderita apapun, kamu akan terus kembali lagi. Karena bagimu
ayam penyet itu lebih nikmat dari ayam goreng yang tidak pedas. Walau ayam
penyet itu menyiksa dan ayam goreng tidak, tapi bagimu justru disitu tantangan
dan daya tariknya. Itulah sensasi hidup yang kamu cari. Bener kan?”
“Wow. Itu analogi yang wow.”
“Nah itu sudah bisa tersenyum! Hahaha. Sudah,
sekarang keluar, cari makan, makan yang benar! Jangan mencoba ayam penyet dulu
kalau perut sedang tidak beres. Cobalah yang lebih lembut seperti bubur.”
“Itu masih analogi?”
“Bisa. Jauh-jauh dulu dari dia saat kalian
sama-sama sedang terluka dan sensitive. Waktu untuk merenung ini kan bisa
dibilang sebagai ‘bubur’ yang bisa mendinginkan luka. Kadang hati memang
membutuhkan jarak untuk menguji seberapa besar keinginan kembali satu.”
“Hehehe… Iya!”
"Nah, ayo keluar! sudah cukup kamu membuat banyak orang khawatir. Benar-benar berdosa deh, jadi orang. Makan yang benar, minum obat yang teratur."
"Iya... terima kasih, Diri..."
"Tentu, Diri..." :)
absurd. gmn ya mnguraiakannya. jd bingng harus berkata apa. :(
BalasHapusjujur, sampai sekrang arti kata absurd aku ngga tau :/
BalasHapus