Add caption |
“Dia itu monster!”
Alis Nay, sahabatku, melengkung dalam bentuk simetris tajam dengan ujung sedikit menekuk. Dalam ketergesaannya membuatku paham, suara Nay bergetar penuh emosi. Sesekali nada suara itu naik hingga terdengar berdecit. Kejelasan kata-kata itu sendiri mengabur dalam opini sayu. Sesekali tangannya menghantam sesuatu untuk menyalurkan emosi.
Hanya saja yang kurasakan hanya ketidakperdulian.
Memangnya apa yang salah dengan mencintai Tom? Ia memiliki rambut dan struktur tulang yang paling sempurna yang aku pernah ketahui. Ia begitu misterius hingga mengundang hasrat untuk sekedar melirik ekspresi samar-samar yang ia hembuskan ke angin yang lewat. Ia tak pernah bicara. Namun tindakan dan sikapnya melebihi penegasan kata. Mungkin ia memang pria paling dingin dan tak ramah di dunia. Mungkin ia bukan tipe pria gentleman yang mengagungkan perempuan.
Mungkin ia adalah agen tempur paling sadis dan efektif dalam organisasi ini.
Tapi ia Tom. Dan karena dia Tom, aku mencintainya.
“Dia hanya akan menyakiti kamu, Vee! Kamu tahu berapa orang yang telah ia bunuh? Dia bahkan tidak punya hati apalagi cinta untuk diberikan padamu! Kamu hanya akan sakit hati! Lebih parah lagi, ia bisa-bisa menyingkirkanmu jika dianggap menganggu, dan organisasi tentu akan setuju!”
Aku tahu, aku tahu semua itu, Nay. 5 tahun berperang dengan logika bukanlah waktu yang bisa dianggap remeh. Logika itu berulangkali dibias chaos, hingga yang berdiri sampai akhir hanyalah hati. Suara hati yang telanjang dan murni. Yang tak bisa aku pungkiri.
Aku mencintai Tom, Nay. Walau itu sama artinya dengan menggantungkan leher ke tali tambang yang menjulur.
Ironisnya aku juga tahu Tom mencintaiku, Nay. Mungkin lebih mudah jika ia benar-benar robot pembunuh milik organisasi yang tak punya hati dan emosi—persis seperti perkiraan orang-orang. Aku akan lebih mudah menyerah dan kisah ini tamat. Tapi ternyata ia masih memilikinya, Nay. Tersembunyi begitu dalam dan keluar ke permukaan dengan begitu waspada dan malu-malu hingga bisa dianggap keajaiban.
“Kamu berarti.”
Dua kata. Bukan tiga. Bukan empat. Bukan soal cinta. Bukan tentang membutuhkan. Tapi dua kata itu membuatku luruh padanya, Nay. Kata yang ia ucapkan saat menolongku yang nyaris tewas dalam operasi mengorbankan diri demi misi organisasi. Kata yang membuatku seakan lahir kembali. Kata yang membuatku seakan menemukan arti lain untuk terus menghirup dan menghembuskan nafas. Untuk tersenyum di pagi dan malam hari.
“Jangan membenci Tom, Vee. Mungkin ia memperlakukanmu lebih kejam dari orang lain. Bukan karena ia membencimu, Vee. Tapi baginya, kamu punya arti. Bukan karena kamu partnernya dalam banyak operasi. Tapi karena Tom menyadari ada alien asing yang singgah di dalam hatinya. Alien yang ia anggap tak nyata dan cuma khayalan orang. Namun ternyata nyata, dan kenyataan itu saja sudah sulit diterima. Dan itu mengganggunya karena ia tahu alien itu tengah menginvasi hatinya. Ia berperang dan menolak. Tapi ternyata alien itu menang. Sedikit demi sedikit hati itu jadi miliknya.”
Karl si pembaca-pikiran pernah berkata padaku seperti itu di suatu sore, Nay.
Jadi bolehkah aku berharap, Nay?
Sedikit saja. Walau aku tahu pasti aku hanya akan menderita. Tapi apalah arti penderitaan bila aku menemukan kebahagiaan yang setara dengannya, Nay? Kamu mungkin mencemaskan besarnya penderitaan itu, Nay. Tapi aku tahu penderitaan itu tak akan ada artinya jika dibandingkan dengan penolakanku pada suara hati itu sendiri.
Aduh, Nay, aku mencintai pria itu.
Mungkin suatu pagi aku akan bangun dan menyadari bahwa kamu benar. Aku hanya menderita dan sakit hati. Mungkin suatu malam aku akan mengingat nasihatmu di tengah perjuangan meniti nafas terakhir. Bahwa cinta ini menghantarkanku langsung ke depan pintu kematian.
Tapi bagaimana bila aku juga benar, Nay? Akan ada pagi dimana aku menemukan Tom di sisi bantalku, mungkin tak tersenyum karena ia tak pernah tersenyum, tapi setidaknya mata biru itu hanya terpancang padaku. Akan ada malam ia menggenggam tanganku saat aku berjuang meniti nafas terakhir. Akan ada dia mengucapkan kata cinta saat mengantarku ke pelukan kematian.
Imaji itu memang terlalu indah, Nay. Walaupun sudah berusaha aku kurangi dengan mengetahui betapa penderitaan yang bergandengan dengannya lebih nyata dan tegas, tetap saja indahnya terasa. Seperti kilau emas yang tak pudar ketika bersanding dengan bulir-bulir kotoran. Ia juga begitu, Nay.
Aku mencintai monster itu, Nay. Dan gilanya, tak akan kusesali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar