“Bukan. Ini mantan eh, selingkuhan kamu.”
Aku membatu. Sebenarnya kejadian ini tergolong wajar jika pacarmu seperti Reissya. Hanya saja satu tahun hubungan kami masih belum mampu membiasakanku akan kepribadiannya yang unik. Seperti tadi. Bukan hanya ‘kenapa dia bisa kenalan dengan perempuan itu? darimana kenalnya?’ atau ‘ngapain dia chatting seru dengan perempuan itu?’, tapi ‘bagaimana bisa dia tertawa seru saat tengah chatting dengan perempuan yang pernah melukai hatinya?’.
“Kok bisa?” hati-hati kuluncurkan tanyaku.
“Dia orangnya open. Lagian dia butuh aku. Eh bukan, dia butuh kamu. Jelas dia masih belum rela mengembalikan kamu ke aku. Mungkin dia ngerasa aku seperti bagian dari kamu. Makanya dia nyaman. Lagian aku bersikap seperti domba manis yang tidak berbahaya.” Rei menjawab sekenanya—tertawa lucu.
Buset.
Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran perempuan ini. Bukankah perempuan biasanya akan mengamuk, sedih, membenci saat tahu mereka diselingkuhi? Tapi Rei tidak. Bahkan saat tahu aku bermain hati dia bertanya dengan tegas ‘oke. Aku ngerti kok kenapa kamu begitu. Yang pasti aku ga bisa mentolerir kedua kali’.
Tapi aku tahu Rei sempat menangis setelah itu.
Harga dirinya terlukai. Aku mengerti. Ia wanita cantik yang pintar. Berprestasi, dikelilingi orang yang kagum padanya. Saat mendekatikupun ia begitu percaya diri. Tahu bahwa aku pasti ditaklukannya. Kenyataan bahwa aku bersama orang lain saat menjalin hubungan dengannya membuat ia mempertanyakan semua yang ia percayai selama ini.
Itu sebabnya aku tak mengerti kenapa dia malah mencari tahu tentang perempuan itu. terlebih lagi menjalin hubungan dengannya.
Yah, Rei memang sering dijadikan tong sampah curhat teman-temannya. Pola pikir uniknya membuat banyak orang mempercayakan cerita mereka padanya.
Tapi perempuan itu?
“Kan aku udah bilang baby, cara terampuh merebut kepercayaan hati orang lain adalah tahu pola pikirnya dan apa yang ia butuhkan.” Sahut Rei sambil menguap. “Setelah itu beri dia kenyamanan. Waktu dan ruang untuk bergerak. Sabar menunggu hatinya terbuka. Lalu biarkan dia mengeluarkan gunungan sesak yang ia tahan. Dia akan percaya karena dia membutuhkannya—didengarkan, diberi simpati. Setelah itu kamu akan mendapatkan kepercayaannya. Endingnya, terserah kamu dia mau ‘diberdayakan’ atau ‘dihancurkan’.”
Aku bengong.
Ini sudah kesekian kalinya Rei memamerkan kejeniusannya. Mampu membaca pribadi dan pola kepribadian orang lain hanya dari segelintir informasi. Mudah akrab dengan orang asing. Tapi ini? Aku menyaksikan sepak terjangnya yang sesungguhnya.
Tidak heran ia bisa tahu perselingkuhan yang kurendam rapi.
“Selingkuhanmu belum bisa melupakanmu. Sedih, ya. Sesering ia memikirkanmu, sesering itu pula aku memikirkannya. Dia kesakitan. Karena dia cuma korban dari kecuranganmu. Aku membayangkan malam-malam yang ia habiskan untuk menangisi kamu. Gila karena iri padaku yang bisa memelukmu. Mengenang setiap kata-kata manis penuh kebohongan yang kamu ucapkan. Memandangi kenangan itu.”
Kata-katanya jauh lebih menusuk daripada seandainya kesakitan itu miliknya.
“Moralku sih nggak sebaik itu. Aku cemburu dan begitu iri karena ia bisa membuatmu berpaling. Aku bertanya apakah karena dia lebih cantik? Lebih pintar? Lebih mengerti kamu? Kepercayaan diriku hancur karena perempuan ini. Dan aku punya alasan membencinya. Tapi memahami dirinya justru menyembuhkanku lebih cepat.”
Rei kini menatapku lurus-lurus.
“Aku tahu kamu kini sadar aku bukan perempuan yang biasa kamu permainkan. Kamu tahu aku bisa membalasmu. Aku tahu kamu juga tercabik antara rasa bangga-ego-lelaki dan juga sakit karena sudah menyakiti orang lain. Aku akan menghancurkan perempuan ini. Agar dia bisa berdiri sendiri lagi tanpa kamu lalu pergi selamanya dari hidup kita.”
Ah… Terkutuklah lidahku yang hanya kelu mendengar pengakuannya.
Perempuan yang bahkan membuat kesombongan dan sifat anehnya bisa terlihat begini lucu. Ia benar-benar menghabisiku kali ini. Namun anehnya terasa menyenangkan. Mungkin karena aku tahu dengan cara inilah ia menunjukkan rasa cintanya. Mungkin juga karena aku tahu aku tak akan menemukan perempuan lain sepertinya.
Atau karena dialah satu-satunya yang bisa membuat playboy ini bertekuk lutut kalah.
Atau mungkin—pikirku sembari tersenyum—hanya dialah yang bisa mengajarkan artinya cinta sejati pada satu perempuan; bahwa pada akhirnya aku menemukan seseorang yang tak bisa memberiku alasan untuk mencari orang lain.
Dia, perempuanku. satu-satunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar