Ada
yang menarik saat saya berselancar di internet saat subuh tadi. Dalam salah
satu artikel di situs-situs Islami yang saya baca sembari menunggu kantuk
datang setelah shalat Subuh, ada keterangan bahwa dalam Al-Quran, tak ada perintah untuk meminta maaf.
Lah
kok bisa? Saya juga baru tahu.
sumber disini |
Agak
aneh mengetahui bahwa tak ada perintah meminta maaf dalam Al-Quran yang
lengkapnya ampun-ampunan itu. Akhirnya dari satu artikel tersebut, saya
berselancar ke artikel-artikel lain demi memperdalam pengetahuan ini (maaf yah,
untuk sementara bergurunya di Internet hihihi).
Aksara
Arab memang memusingkan. Satu kata bisa
berarti banyak atau memiliki arti berganda yang bisa saja sama sekali
berbeda dalam kosa kata kita. Misalnya kata al-‘afw atau yang kemudian
diterjemahkan ‘maaf’ ini, pada dasarnya berarti ‘yang berlebih dari keperluan’.
Mulai
pusing? Iya, jadi intinya sesuatu yang berlebih tentu harus dikeluarkan agar
tak ada lagi. Maka kemudian al-‘afw ini berkembang menjadi menghilangkan, keterhapusan,
dimana memaafkan sendiri dimaknai sebagai menghapus
luka atau bekas luka di dalam hati dan menjadikannya tiada.
Ah,
mulai kebayang susahnya kuliah di Sastra Arab. Kelihatannya pelajaran Bahasa
Arab saya di SMP dulu juga sudah merembes entah kemana.
Kemudian
lagi kata ini dicantumkan sebanyak 34 kali dalam Al-Quran. Kebanyakan tercantum
dalam ayat yang dimaksudkan bahwa Allah memaafkan manusia dalam banyak kondisi.
Sementara memaafkan sesama manusia
justru tidak ada. Perintah yang tercantum justru untuk memberikan maaf.
Hendaklah mereka memberi maaf dan
melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24): 22)
Atau
“Maka
disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh.
Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali ‘Imron [3]: 159)
And
that’s it. Kita diperintahkan oleh Allah
untuk memberi maaf, tanpa menunggu orang meminta maaf. Karena bahkan Allah
bersabda bahwa kita saja manusia ingin
diberi maaf oleh Allah, masa’ kita nggak mau memberi maaf? Sombong beudh.
*diam-diam
malu karena suka ngamuk ke orang*
Okay,
jadi kenapa memberi maaf lebih
diutamakan dari meminta maaf? Saya pribadi memaknainya karena Allah tentu
Maha Tahu bahwa memberi maaf JAUH lebih
sulit dari meminta maaf.
Padahal
memberi maaf memiliki efek psikologis serta sosial (dan tentunya bisa merembet
juga kemana-mana) yang luar biasa. Andai semua manusia di muka bumi selalu
maafkan orang lain, bahkan jika orang itu tidak meminta maaf—kebayang nggak sih
damainya dunia ini? Andai Hitler gak
dendam dengan orang Yahudi yang merebut pekerjaannya, maka gak bakalan ada
deh holocaust dan Perang Dunia. Andai Bush
tidak berlebihan dalam memerangi Al-Qaeda hingga merugikan banyak penduduk
sipil, mungkin kelompok teroris itu nggak akan menerima simpati yang demikian
besarnya hingga akhirnya mampu membentuk sel-sel teroris di seluruh dunia. Atau
Andai Pak Prabowo memaafkan Bu Megawati dan
menjalin diskusi yang damai, mungkin sekarang Pak Prabowo yang bersanding
dengan Jokowi?
*tetep
ya, ga keluar dari isu pemilu*
Dari
artikel inilah kemudian saya nggak jadi tidur. Saya sibuk memikirkan list-list
manusia yang pernah saya amuk atau masih saya keselin.
Untung
saja list ini pendek. Kebanyakan sih sebenarnya karena saya lupa (jadi anggap
saja sudah dimaafkan). Walau sebenarnya saya nggak sependendam itu, kok. Ya,
oke, saya emang pendendam. Dikit. Tapi nggak sedikit loh, orang yang dulunya musuh saya kini justru jadi sahabat baik.
Jadi
ternyata saya mendendam ketika saya benar-benar marah dan sakit hati. Untungnya
ini jarang. Memang gampang bikin saya
emosi, tapi butuh kebejatan luar biasa agar saya bisa mengingat emosi negatif
itu selama berbulan-bulan.
Sebenarnya
saya gampang memaafkan, sekalipun itu kasus Bangsat-Sekali, asal ada momen
maaf-maafan yang baik, orangnya nyadar, atau saya menemukan alasan kenapa saya
harus memaafkan. Namun memang dalam kasus Bangsat-Sekali, saya butuh waktu untuk meredakan emosi. Enaknya,
dalam kasus Non-Bangsat-Sekali, saya paling lama keselnya Cuma dua hari, lalu
lupa.
Nah
masalahnya saya kikuk. Kebanyakan orang
nggak tahu saya sudah memaafkan dia karena orangnya keburu kabur sebelum saya
bisa bilang apa-apa. Atau mereka sudah terlanjur ketakutan sampai nggak bisa
meminta maaf dan berbaikan. Lalu untuk berkata ‘saya udah maafin kok’ tanpa
momen—yeah, saya memandang itu weird sekali. Bukannya sombong atau superego,
tapi saya bingung gimana bilangnya.
Aneh
kan? Bisa nulis dan ngomong dengan baik tapi saat situasi sosial begitu jadi awkward. Yep, Tuhan Maha Adil.
Lalu
bagaimana dengan meminta maaf? Alhamdulillah saya nggak terlalu kesulitan.
sumber disini |
Orangtua
saya dari dulu memang keras, terutama soal tanggung
jawab dan meminta maaf. Mereka memang bukan tipe orangtua yang membabi buta
membenarkan anaknya. Bahkan saat saya berantem dengan teman, saya-lah yang dinasehati untuk meminta maaf sekalipun
yang salah orang itu. Mama saya berpendapat bahwa situasi konflik hanya bisa didinginkan dengan sikap
lembut. Dan saat kita meminta maaf, maka orang tersebut juga akan lunak
hatinya sehingga menyadari kesalahannya.
Nasehat
Mama itu menjadikan saya aneh, karena hingga kini, dalam situasi dimana saya
disakiti orang-pun, saya masih berpikir dari dua sisi. Tidak ada yang hitam dan putih. Mungkin saya merasa disakiti, tapi
bisa jadi dia juga begitu. Saya salah, dia juga punya salah. Dan dari banyak
sisi, mungkin bisa jadi dua-duanya juga sama-sama benar.
Meminta
maaf akhirnya saya asosiasikan dengan tanggung jawab. Saat kita berbuat
sesuatu, maka seharusnya kita sadar akan konsekuensi perbuatan kita. Dan jika
kita sadar akan perbuatan itu, saat konsekuensinya menjadikan seseorang sakit
hati, itu ulah kita. Maka meminta maaf
adalah hal pertama yang harus dilakukan. Kalau saya salah dan nggak meminta
maaf, saya jadi ngerasa cupu sekali.
Namun
memang prosesnya tidak selalu semudah itu.
Ada
seorang sahabat yang keburu meninggal sebelum saya meminta maaf. Atau situasinya
terlalu pelik untuk berkomunikasi. Atau saya hanya takut saya dan dia masih
emosi sehingga saya menunggu. Dan nggak jarang ke-awkward-an itu juga mengambil
alih sehingga saya harus menyimpan beban moral yang amat berat untuk meminta
maaf.
Dan
saya nggak akan bisa melupakannya.
Aneh
loh, terutama untuk ukuran saya yang punya memori otak setara disket. Namun saat menyakiti orang lain, momen itu akan
terus saya ingat. Nama dan wajahnya tidak akan terlupa, bahkan jauh lebih
kuat dari saat saya mendendam.
Dan
ini menyiksa, seperti merasakan tikus bergeliat di badan tanpa bisa
disingkirkan.
Jadi
ya ternyata benar. Sebenarnya saat memaafkan atau meminta maaf kita tidak
melakukannya untuk orang lain. Diri kita-lah yang paling terselamatkan saat
kita memaafkan dan meminta maaf. Kita-lah yang kemudian bersih layaknya bak
kamar mandi kotor yang baru saja dikuras. Lewat dua tindakan yang terdengar
sederhana itulah tersimpan kekuatan besar untuk terlepas dari segala beban
negatif.
INI
sebabnya memberi maaf penting, namun bukan berarti meminta maaf tidak penting. Tentunya
semakin lengkap semakin baik, kan?
sumber disini |
Tapi pertanyaannya juga kemudian, bagaimana kalau orang tidak memaafkan kita? Menurut saya ya "ya udah". It's not a big deal. Sebagai manusia kita memang punya batasan dalam berikhtiar, karena sisanya memang kuasa Allah. Kita nggak akan mampu mengubah hati seseorang, jadi doakan saja semoga seperti hati kita, Allah juga memberinya hidayah. Gampang, kan?
Ah,
memang Allah itu keren banget. Ada saja caranya memberi hidayah, bahkan sekecil
artikel yang dibaca iseng sebelum tidur.
Inti dari memaafkan adalah meredam amarah dan dendam yang terkadang datang secara tiba2
BalasHapus