sumber gambar disini |
Sebagai
Kriminolog, analisa hasil karya fiksi merupakan sesuatu yang krusial mengingat
efek yang dapat ditimbulkan media pada konsumennya. Media memang memiliki pengaruh
untuk menciptakan ‘realita’ melalui hasil karyanya. Namun sayangnya, ‘realita’
dalam media ini kadang justru menyalahi ‘realita’ yang nyata, dipenuhi mistifikasi, dan terminologis yang
sangat didramatisir sehingga melahirkan misinterpretasi di masyarakat.
Sacco
juga berpendapat bahwa media memainkan peranan penting dalam menciptakan
rekonstruksi atas permasalahan sosial yang lebih besar, bahkan menjadi alat
untuk mengekspresikan dan mempermasalahkan sesuatu yang pada dasarnya bukanlah
suatu masalah dan masih dapat diatasi. Media juga menyebarkan keyakinan bahwa
kejahatan telah meningkat dan menciptakan kepanikan walau pada kenyataannya,
tidak seperti itu (Sacco, 1995).
Oleh
karena itulah, kriminolog harus mampu melaksanakan penelitian mendalam demi
merumuskan upaya dekonstruksi maupun rekonstruksi agar stakeholders dalam media dapat memasarkan hasil karya yang dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak dipenuhi mistifikasi. Kriminolog harus mampu merumuskan
upaya yang sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak membaca hasil karya fiksi
sebagai bagian dari reduplikasi
imajinatif dari tulisan empiris, tempat mereka mengumpulkan pernyataan fakta
mengenai orang-orang dan peristiwa (Gibson,
2007).
Sekalipun
hasil karya fiksi kerap dianggap ‘tidak
nyata’ dan sekedar ‘hiburan’, kita tidak dapat memungkiri bahwa dengan memuat
konten yang nyata seperti cerita, tokoh, tempat, hingga peristiwa – hasil karya
fiksi kerap dianggap ‘pencerminan’ dari dunia nyata. Seperti yang diungkapkan
oleh Gibson dalam tulisannya, penghubung
diantara literature dan kehidupan pada dasarnya adalah persoalan mengenai fiksi
yang ‘mencerminkan’ kehidupan nyata (Gibson, 2007).
Novel
Entrok karya Okky Madasari, penulis anggap menjadi obyek penelitan yang sangat
menarik, mengingat bagaimana ‘nyata’nya novel ini dalam ‘mencerminkan’
kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Setting tempat yang digunakan dalam Novel
ini, contohnya, benar-benar ada di dunia ‘nyata’ – yaitu desa Singget yang
menjadi kampung halaman tokoh utamanya, memang terletak di Kulon Progo, Jawa Tengah. Begitu
juga kali Manggis, tempat dimana ‘aparat Negara membantai masyarakat’ di dalam
novel ini, secara nyata juga memang ada di Jawa Tengah.
Sama
hal-nya dengan setting waktu yang
digunakan, Okky Madasari meramu novelnya dalam keriuhan dan tekanan dominasi
politik pemilu tahun 1980-an. Pembaca tidak harus membuka buku sejarah untuk
mengetahui bagaimana proses berjalannya pemilu pada tahun-tahun ini dan siapa
partai pemenangnya. Karena dalam novelnya, Madasari telah memasukkan seluruh konten
untuk mendukung setting waktu dalam
ceritanya, lalu mendramatisir novelnya dengan menggambarkan bagaimana tokoh
utamanya, Marni, dipaksa dengan ancaman verbal untuk memilih ‘Partai Beringin’
dan harus membayar upeti pada aparat Negara karena berjualan di daerah sekitar
pemilu.
Hal
inilah yang kemudian semakin mendorong kriminolog untuk merumuskan upaya
rekonstruksi agar hasil karya fiksi bukan hanya dapat dinikmati pembaca, namun
memuat konten yang proporsional atas dunia nyata.
Namun
sayangnya, dalam usaha komersil, stakeholder
dalam media justru menyukai hasil karya fiksi yang memenuhi dahaga konsumen
dalam penggambaran viktimisasi kaum marjinal, dipenuhi konten kekerasan dan
kesadisan, hingga memuat kejahatan yang tidak masuk akal.
Pendefinisian
kejahatan hingga ‘penokohan’ korban maupun pelaku, misalnya. Dalam Entrok, Marni
digambarkan sebagai perempuan lugu dan polos yang berjuang keras demi
membahagiakan keluarganya, namun di sisi lain juga bekerja sebagai renternir
dan menjadi musuh masyarakat desa Singget. Inilah yang digolongkan Peach
sebagai inverse image, yaitu bentuk sindiran terhadap modernitas
dimana pencitraan tokoh kriminal digambarkan secara terbalik atau berbeda dari
kenyataan yang ada (Peach, 2006).
Lalu mengenai definisi
kejahatan pada kota dan desa, desa Singget digambarkan sebagai tempat yang jauh
lebih aman daripada kota Jogja tempat Rahayu, anak Marni, berkuliah. Namun, di
sisi lain, melalui perspektif Rahayu, pembaca juga diajak melabel kota sebagai tempat
yang “serbabenar dan masuk akal. Modern,
tidak bodoh. Ber-Tuhan, bukan pemuja setan” dibandingkan dengan desa.
Hal ini sejalan dengan
konsep a divided countryside oleh
Peach, yang menyatakan bahwa sindiran modernitas digambarkan dengan membedakan
karakteristik desa dan kota, menyembunyikan konsep intelektual di desa dengan
‘keindahan’nya agar ‘sisi gelap’ desa tidak terlihat, sementara kota (urban)
didefinisikan sebagai tempat yang penuh dengan kejahatan (Peach,
2006). Namun dalam konteks Indonesia, Kota juga kerap digambarkan sebagai
tempat yang indah dan menjanjikan karena menawarkan kemudahan hidup atas
bergelimangnya materi.
Konten dalam Novel Entrok
juga seharusnya bertanggungjawab dalam membentuk image di pembaca-nya mengenai tokoh ataupun peristiwa. Misalnya aparat
TNI yang digambarkan beringas, kerap memeras, namun di sisi lain dapat
dijadikan ‘teman’ dan ‘pendukung’ jika disuguhi uang. Kerap menghukum orang
kecil, bahkan membunuh hanya karena tahanan yang kentut lalu mengirimkan
penggalan kepalanya ke rumah penduduk. Padahal dalam kenyataannya, tidak
sedikit anggota TNI yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, mengemban
tugas mereka dengan professional.
Novel Entrok juga
mengekploitasi image anak dan
perempuan sebagai obyek dari kekerasan seksual. Sarah Dunant dalam Munt mengingatkan bagaimana perempuan diteror, digebuki,
disiksa secara seksual, dimutilasi, dipotong-potong, dimana bagian tubuh
perempuan telah menjadi bagian dari bentuk tatabahasa itu sendiri. Dunant
menjabarkan bagaimana tokoh protagonis feminis diijinkan menjadi subyek,
sebagaimana menjadi obyek dari kekerasan (Munt, 2005).
Marni yang digambarkan
dinikahkan pada usia belia dan kesakitan akibat aktivitas seksual di malam
pertamanya. Rahayu yang rela tubuhnya dijamah oleh Kyai Hasbi – pemimpin organisasinya
di tepi sawah. Lalu juga pemerkosaan salah satu tokoh yaitu Ndari, bocah yang
masih duduk di kelas 6 SD, yang adegan pemerkosaannya dideskripsikan secara bertahap
dan penuh sensualitas.
Menurut
Jewkes, media memang kerap menggambarkan perempuan sebagai pelaku kejahatan
sekaligus penjahat seksual, ibu yang tidak baik, dianalogikan sebagai monster,
hingga setan yang penuh manipulative (Jewkes, 2004). Persis seperti inilah
penggambaran Marni yaitu pelaku pemerasan, berzina dengan mandor kebun tebu,
ibu yang jahat, hingga disebut-sebut sebagai pemelihara tuyul.
Media
juga menggambarkan anak-anak sebagai ‘monster setan’, membesar-besarkan dan
mendramatisasi kejahatan yang dilakukan oleh anak – namun di pihak lain juga
menggambarkan mereka sebagai ‘korban yang tragis’ (Jewkes, 2004). Ndari misalnya, digambarkan sebagai korban
pemerkosaan oleh Pamannya sendiri, namun pada akhirnya justru menjadi pelacur
cilik yang menjual tubuhnya pada aparat agar desanya tidak ditenggelamkan.
Dalam
novel Entrok, perempuan memang tidak selalu digambarkan sebagai ‘korban’. Rahayu
misalnya, digambarkan sebagai ‘pahlawan’ yang berjuang demi keadilan. Namun tetap
saja, prinsip utama dari penggambaran ‘pahlawan’
adalah dia dapat menjadi model atau proyeksi ideal dari orang yang dikagumi
oleh penulis, yang kemudian menjadi ikon humanitas: laki-laki. Perempuan,
jikapun muncul, tidak melakukan apapun kecuali bereaksi terhadap karakter utamanya—seorang laki-laki (Munt, 2005). Dalam perjuangan organisasinya,
Rahayu tidak digambarkan sebagai tokoh sentral, namun pendukung dari Kyai Hasbi
– yang mana adalah seorang laki-laki.
Permasalahan dalam Novel Entrok inilah yang kemudian
menggugah penulis untuk mengkajinya secara kriminologis. Media memang kerap melupakan
peranannya untuk menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam mengedepankan
kepentingan terbaik bagi anak, dan justru kerap mengeksploitasi anak demi
keuntungan komersial (Jewkes, 2004). Begitupula dengan
perempuan, media seharusnya menyajikan gambaran yang sesuai, bukan menyajikan
stigma bagaimana perempuan ‘hanya’ menjadi obyek kekerasan dan korban di
masyarakat.
Stakeholder
dalam penerbit novel ini seharusnya mampu bertanggungjawab atas konten yang
disajikan dan bagaimana dampak yang dihasilkan oleh novel ini pada masyarakat. Penulis
sangat setuju dengan rekomendasi Jewkes mengenai hubungan simbiosis diantara
polisi dan media demi terciptanya gambaran mengenai kejahatan yang lebih
‘sesuai fakta’. Polisi diharapkan dapat mengawasi program-program reality show terkait kejahatan agar
tidak menyajikan drama yang justru menyesatkan. Karena media memiliki peranan
yang sangat penting dalam pembentukan kebudayaan dalam menayangkan jenis
kejahatan tertentu hingga menciptakan ketakutan akan kejahatan yang berlebihan
bagi pihak-pihak tertentu (Jewkes, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Gibson, J. (2007). Fiction
and The Weave of Life. New York: Oxford University Press.
Jewkes, Y. (2004). Media
& Crime. London: Sage Publication Ltd.
Munt, S. (2005). Murder
by the Book? Feminism and the Crime Novel. Taylor & Francis e-Library.
Peach, L. (2006). Masquerade,
Crime, and Fiction. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Sacco, V. (1995). Media
Construction of Crime. Annals of the American Academy of Political and
Social Science, Vol. 539 , 141-154.
politik emang kejam -___-
BalasHapus