DEFINISI KEBIJAKAN SOSIAL
Menurut Suharto, kebijakan
sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik yang merupakan ketetapan
pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni
mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, menunjuk
pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan,
pelayanan kemasyarakatan, dan program-program tunjangan sosial lainnya (Suharto, 2006).
Sementara menurut
Magill dalam Suharto, kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik
(public policy) yang meliputi semua bagian dari kebijakan yang berasal dari
pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan
keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik)
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Suharto, Materi Latihan: Analisis
Kebijakan Sosial).
Suharto juga
menjelaskan bahwa kebijakan sosial memiliki fungsi :
1.
Fungsi preventif (pencegahan) – mencegah terjadinya masalah sosial
2.
Fungsi kuratif ( penyembuhan) – mengatasi masalah sosial
3.
Fungsi developmental (pengembangan) – mempromosikan kesejahteraan
sebagai wujud kewajiban Negara dalam memenuhi hak-hak sosial warganya
Adapun tujuan
utama dari kebijakan sosial atau upaya non-penal menurut Ruth adalah
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung
merupakan upaya preventif terhada kejahatan. Upaya non-penal juga dapat
dilakuka oleh tim khusus melalui extra
punishment institution, yang melibatkan hakim pengawasan (Ruth, 2011).
ISU-ISU SOSIAL TERKAIT TERORIS
Sebelum merumuskan
kebijakan sosial yang tepat dalam menanggulangi terorisme, maka pemerintah
memerlukan gambaran yang jelas mengenai ancaman, permasalahan, atau isu-isu
sosial terkait teroris itu sendiri. Sehingga nantinya, kebijakan sosial yang
dirumuskan mampu menjawab secara tepat, sistematis, efektif, dan efisien.
Adapun menurut
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor Per/03/M/II/2008 tentang Buku Putih
Pertahanan Indonesia 2008, ancaman berdimensi sosial budaya dapat dibedakan
menjadi:
1. Ancaman dari
dalam: didorong oleh isu-isu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan
ketidakadilan.
2. Ancaman dari luar:
timbul bersamaan dengan dinamika yang terjadi dalam format globalisasi dengan
penetrasi nilai-nilai budaya darri luar negeri sulit dibendung yang
mempengaruhi nilai-nilai di Indonesia.
Menurut Golose,
salah satu alasan mengapa generasi muda tertarik bergabung pada organisasi
radikal adalah adanya rasa keterasingan
dan adanya jarak secara sosial dan budaya diantara masyarakat umum dengan
anggota organisasi tersebut sehingga teroris tidak merasa menjadi bagian dari
masyarakat, tidak merasa memiliki dan terikat dengan masyarakat tersebut (Golose, 2009).
Golose juga
menjelaskan bahwa isu sosial yang kental dengan SARA juga muncul pada
permasalahan terorisme. sentimen teroris terhadap kaum non muslim diakibatkan
anggapan tingkat pendidikan dan keadaan ekonomi kaum minoritas non-muslim yang
lebih tinggi sehingga mengakibatkan serangan pada tempat ibadah agama lain,
atau serangan dan pembunuhan pada pemuka agama lain (Golose, 2009).
BENTUK KEBIJAKAN SOSIAL
Dapat dilihat dari
berbagai isu sosial yang ada diatas, maka sudah seharusnya dalam kebijakan yang
merumuskan tindak penanggulangan teroris, penalisasi yang cenderung menitikberatkan
hukum pidana dijalankan seiring dengan upaya preventif yang diwujudkan dalam
program deradikalisasi. Pemerintah seharusnya memahami bahwa urgensitas dalam
isu terorisme lebih banyak terkait pada isu-isu sosial yang mana, yang mana dinilai
sebagai pokok permasalahan terorisme di Negeri ini.
Adapun menurut
saya, beberapa bentuk kebijakan sosial yang memiliki urgensitas tinggi adalah:
- Revisi (atau penambahan produk Undang-undang)
program deradikalisasi. Menurut Ruth, upaya legitimasi hukum atas
program deradikalisasi ini dapat dilakukan sebagai salah satu upaya
non-penal oleh institusi pemerintah dan civil society melalui program
re-orientasi motivasi, reedukasi, resosialisasi serta rehabilitasi (Ruth, 2011). Penerapan legitimasi hukum
atas program ini sangat penting, untuk menjamin pelaksanaan dan
pertanggungjawaban atas berjalannya program ini.
- Memperbaiki tingkat ekonomi masyarakat dengan
menanggulangi kemiskinan, yang menurut UU No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial berarti: kebijakan, program, dan kegiatan yang
dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat yang
tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
yang layak bagi kemanusiaan (PusdatinKesos,
2009).
- Memperbaiki tingkat pendidikan masyarakat: hal ini
merupakan bagian dari kebijakan sosial yang sangat penting, dimana
pendidikan merupakan tonggak utama dari masyarakat dalam menjembatani
adanya anggapan kesenjangan. Diadakannya upaya dakwah dan diskusi dengan
tema Islam rahmatan lil alamin misalnya,
atau dimasukkannya penjelasan mengenai indahnya multikulturalisme atau
bahaya terorisme dalam kurikulum pembelajaran juga merupakan tindakan yang
penting.
- Memperbaiki akses informasi dan komunikasi: keterbatasan
akses masyarakat bawah untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah,
kerap dikaitkan dengan munculnya rasa ketidakberdayaan dan ketidakpuasan
yang memicu terorisme. Begitu juga dengan miskomunikasi antara golongan
dalam masyarakat sendiri yang menimbulkan konflik dan perpecahan. Dengan
komunikasi yang lancer dalam berbagai pihak, maka diharapkan informasi
yang diterima oleh berbagai golongan tidak timpang, sehingga masyarakat
lebih sulit diradikalisasi. Maka, penanggulangannya dapat berwujud:
a.
Secara vertical: penyediaan
sarana terpadu bagi aspirasi dari masyarakat terhadap pemerintah. Terkait hal
ini, mungkin lebih baik jika pemerintah memanfaatkan berbagai sarana komunikasi
langsung melalui provider telfon genggam atau sarana internet sebagai sarana
pengumpulan aspirasi, juga sarana ‘laporan’ atas tindaklanjut dari pemerintah.
b.
Secara horizontal: penyediaan
sarana terpadu bagi diskusi-diskusi antar golongan, suku, ras dan agama.
- Memperbaiki keterikatan sosial antara anggota
organisasi radikal dengan masyarakat, salah satunya dengan program disengagement.
KEUNTUNGAN KEBIJAKAN SOSIAL
- Lebih mampu
menjawab permasalahan terorisme dengan memunculkan program-program yang
bersifat mencegah (preventif) dibandingkan dengan tindakan penalisasi
berupa hukuman pidana yang sudah terbukti kerap tidak tepat sasaran.
- Lebih mampu
mencegah penyebaran terorisme dan regenerasi organisasi teroris dengan
lebih humanis dibandingkan dengan program penanggulangan berdasarkan
berbagai Perpu ataupun Undang-undang yang lebih menitikberatkan pada hukuman
pidana yang kerap melanggar HAM.
- Dapat
diterapkan secara luas dan mendalam sehingga di sisi lain, selain
memberantas teroris, juga mampu menunjang pembangunan nasional.
MASALAH KEBIJAKAN SOSIAL
1. UU Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme hingga belum mengatur secara jelas mengenai program
deradikalisasi di Indonesia, walaupun deradikalisasi merupaan salah satu
program kebijakan sosial yang dilaksanakan oleh BNPT yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden No. 46 tahun 2010, sekalipun program deradikalissi merupakan
salah satu upaya non-penal untuk mengatasi permasalahan residivisme (Ruth, 2011).
2. Bentuk program
deradikalisasi dalam bidang sosial ini merupakan program penanggulangan dalam
jangka waktu panjang, sehingga efeknya pun hanya bisa dilihat dalam jangka waktu
tertentu. Yang mana, karena gerakan terorisme itu sendiri memiliki mobilitas
yang dinamis, belum terdapat jaminan bahwa program ini mampu menjawab
permasalahan yang terus berkembang seiring waktu.
3. Kebijakan sosial
bekerja secara preventif sehingga program yang diterapkan harus benar-benar
tepat sasaran dan melalui perencanaan yang benar-benar matang.
4. Aksi terorisme
kerap membutuhkan penanggulangan secara serta merta dan nyata, juga cepat.
Dalam situasi seperti inilah, kebijakan sosial kemudian tidak akan mampu
bekerja secara efisien.
5. Biaya yang
dibutuhkan untuk menerapkan kebijakan sosial jauh lebih besar daripada
kebijakan penal.
ALTERNATIF KEBIJAKAN SOSIAL
- Dirumuskannya
kebijakan yang dapat menjawab permasalahan multikompleks—bukan hanya
sosial—terkait teroris dan perumusan kerjasama yang sinergis pada
multipihak dalam upaya penanggulangannya.
- Perumusan
upaya non-penal (program deradikalisasi atau disengagement) yang berjalan sinergis dengan upaya penal
(hukuman pidana, dan sebagainya) bagi pelaku terorisme dan masyarakat
luas.
- Perumusan
kebijakan-kebijakan yang tetap menjunjung humanis (penghargaan terhadap
nilai kemanusiaan dan kesetaraan derajat termauk kepada tersangka atau
napi terorisme), soul approach
(pendekatan jiwa yaitu dengan tujuan reorientasi pemikiran lewat unsur
budaya Islam, tanpa paksaan dan tanpa kekerasan), dan menyentuh akar
rumput (Golose, 2009).
- Oleh karena
permasalahan terorisme sangat multikompleks, dan upaya deradikalisasi
dianggap sering gagal sehingga justru melahirkan residivisme, dibutuhkan
program disengagement—yaitu program
penanggulangan yang tidak lagi bekerja di tataran ideologi, namun di
tataran perilaku sehingga pelaku kemudian meradikalisasi dirinya sendiri—seperti
yang dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh Sarwono dalam program
Pemberdayaan Dakwah yang bertujuan melibatkan mantan pelaku terror untuk
berdakwah yang nuansa Islam rahmatan
lil alamin sehingga sedikit demi sedikit dapat diterima kembali di
masyarakat (Sarwono, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Golose, P. R.
(2009). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar
Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
PusdatinKesos.
(2009). Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Retrieved
November 1, 2012, from Kementrian Sosial Republik Indonesia:
http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=glosariumkesos
Ruth, D. M.
(2011). Terorisme: Kapankah Usai? Jakarta: Lazuardi Biru.
Sarwono, S. W.
(2012). Terorisme ddi Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. Ciputat: PT
Pustaka Alvabet.
Suharto, E.
(2006). Kebijakan Sosial. Retrieved November 1, 2012, from
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/KebijakanSosialLembang2006.pdf
Suharto, E.
(n.d.). Materi Latihan: Analisis Kebijakan Sosial. Retrieved November 1,
2012, from http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_17.htm
hmmm....
BalasHapusteroris,,hanya masalah kebencian/.....
:P
Teringat dengan pelajaran sosiologi sebelum libur panjang
BalasHapus