23 Des 2012

Sounds Good, Cheri? (1)



Seumur hidupku, aku tak pernah berencana untuk memiliki hubungan dengan lelaki yang sudah memiliki pasangan.

Namun cinta, adalah salah satu bentuk kegilaan yang paling indah sekaligus tidak masuk akal.

Ya, aku mengetahui dengan pasti bahwa lelaki itu, Mas Adrian, sudah memiliki tunangan di Jakarta sana.

Bagaimana tidak? Ia membawa foto perempuan itu kemana-mana. Ia bisa dengan gamblang mengangkat telfon perempuan itu disaat kami sedang makan bersama. Dan dia tidak penah menutupi kenyataan bahwa ia sudah memiliki tunangan – dan bagaimana dia juga menyayangiku dengan cara yang sama.


Entah kekuatan seperti apa yang ia punya sehingga aku mau menjadi ‘selingkuhannya’, bahkan mau diajak pindah untuk tinggal bersama di apartementnya yang terletak di tengah kota Yogyakarta.

“Tapi Mas kan sudah punya tunangan, Mas?”

“Sudah… Percayalah, oke? Kamu percaya kan, sama mas, Tiara? Jangan khawatir. Nggak ada yang perlu kamu pusingkan tentang apapun, oke?”

Ya. Hanya dengan satu percakapan itu. Dan Mas Adrian mampu membawaku bertekuk lutut mengikuti ketidak-masuk-akalan semua ini. Aku menyaksikan diriku mengepak barang-barangku dan meninggalkan kos-kosan yang aku sewa untuk setahun, dan pindah bersamanya di apartement itu.

Aku mencintai Mas Adrian.

Klise? Ya, memang. Tapi itu semua adalah fakta yang tak bisa kuhindari. Terlepas dari statusnya, atau kenyataan bahwa aku mungkin tengah menyakiti hati tunangannya, aku begitu mencintai mas Adrian.

Ya, begitu mencintainya, hingga tak keberatan tinggal di apartement yang dipenuhi oleh foto perempuan itu.

Aku selalu bertanya-tanya mengapa Mas Adrian tidak seperti lelaki lain yang menyembunyikan ‘pasangan resmi’nya saat mereka ingin berselingkuh. Dulu, saat aku bertanya apa dia punya pacar atau tidak, mas Adrian justru menjawab tegas “Ya, aku punya tunangan.” Dan seakan-akan itu bukan suatu masalah, ia terus mendekatiku.

Ia tak pernah keberatan menceritakan mengenai tunangannya padaku. Hingga aku bertanya-tanya, apakah rasa percayanya begitu tinggi hingga ia yakin, bahwa sekalipun aku tahu ia memiliki tunangan, aku akan tetap mau bersamanya?

Hingga suatu hari, semua pertanyaan itu terjawab.

Pagi itu kami dibangunkan oleh suara bel yang berulang-ulang. Aku terbangun dengan keterkejutan, karena kami tak pernah menerima tamu di apartement itu. Namun mas Adrian terbangun dengan wajah gembira, seperti anak kecil yang terbangun di pagi Natal dan sudah tak sabar membuka hadiahnya.

“Lea!” ia menyebut nama tunangannya, lalu berlari untuk membuka pintu.

Darahku berhenti berdesir. Apa? Apa itu tunangannya yang kini muncul di pintu?

Dengan ketergesaan, menyeret selimut yang nyaris membuatku tersandung dan jatuh, aku setengah-berlari ke arah pintu.

Dan benar. Disana, mas Adrian tengah memeluk perempuan yang fotonya memenuhi apartemen ini.

Lea.

Aku terpaku. Kakiku serasa beku dan tak mau menuruti otakku yang sedang berteriak, menyuruhku segera lari dari situasi itu.

Lalu Lea mengalihkan pandangannya dari mas Adrian ke arahku. Ya, padaku yang hanya mengenakan pakaian dalam berbalut selimut. Ia tersenyum, senyuman yang bagiku terlihat seperti seringai singa betina yang menemukan mangsa termudah. Lea melepaskan pelukannya dari mas Adrian, lalu berjalan ke arahku.

Aku nyaris menjerit. Aku mengira Lea akan menjambakku atau memakiku saat mendapati aku berapa di apartement itu.

Namun tidak. Dengan ajaib, ia justru tertawa dan berlari untuk memelukku.

Hey you, girly!” dan ia mendaratkan kecupan di kedua pipiku, meninggalkan bekas lipstick Perancis berbau harum.

Ia lebih cantik daripada di fotonya. Ia lebih tinggi dariku, dan apapun yang ia gunakan untuk disemprotkan ke tubuhnya, berbau begitu segar sekaligus lembut. Tawanya indah, seperti lonceng angin yang berderai. Warna rambutnya kecokelatan, alami dan bukan dicat, terlihat kemilau ditimpa sinar matahari pagi dari jendela. Tubuhnya sensual, pinggangnya terbentuk dengan curva yang indah. Namun yang kuingat betapa indah matanya yang tajam dan seakan mampu menembus benak.

Dalam semua hal, dalam sekejap, aku bisa benar-benar mengerti mengapa Mas Adrian mencintainya.

 “Well, Darling, dia jauh lebih manis daripada foto yang kamu kirimkan.” Lea melepaskan pelukannya dan mengerling mas Adrian, yang hanya tersenyum.

I told ya.” Sahut mas Adrian sembari mengangkat bahu.

Oooh, see that? Uuuu, kasihaan. Dia kebingungan!” Lea mengelus ringan garis rahangku. Ia membimbingku ke sofa terdekat dan mendudukanku disana. “Well, Tiara, gue Lea. Adrian tentu sudah banyak bercerita soal kami berdua.” Aku melirik mas Adrian yang dengan santai bersandar di dinding sembari mengawasi kami berdua.

“A… aku bukannya… nggak gitu, mbak.. aku sama mas…” dengan ketakutan aku berusaha berkata-kata.

“huuuush!” Lea menutup bibirku dengan jemari lentiknya. “Gue sudah tahu semuanya, Tiara. Everything, every little-tiny-detail tentang lo dan Adrian.”

Apa?? Aku menoleh dan memandang mas Adrian dengan ngeri. Gilanya, mas Adrian hanya membalas dengan senyuman setengah-tawa.

Lalu Lea menjelaskan segalanya.

Ternyata, selama ini mas Adrian selalu bercerita padanya mengenai kami. Dan gilanya, Lea juga setuju bahwa aku adalah ‘pasangan’ yang tepat bagi mas Adrian. Lea meyakinkanku bahwa tidak akan ada masalah, dan dia hanya akan tinggal di apartemen ini bersama kami selama masa cuti-nya, lalu ia akan kembali lagi ke kotanya, dan aku serta mas Adrian bisa meneruskan ‘hidup kami’ seperti biasanya.

Dalam keterkejutanku, aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.

Memahami shock yang ia timbulkan padaku, Lea meminta mas Adrian membuatkan kami semua teh hangat sementara ia mengeluarkan berbagai barang dari Jakarta. Ia bahkan membawakanku beberapa pasang baju yang anehnya, sesuai dengan seleraku dan begitu pas di tubuhku, seakan-akan Lea telah mengenalku begitu lama.

“Gampang kok, menerka gimana kesukaan lo, cheri…” katanya lembut.

Cheri

Ya, cheri. Lea adalah satu-satunya orang yang pernah memanggilku dengan panggilan sayang itu. Dan entah mengapa, aku justru menyukai caranya mendesiskan kata ‘cheri’ itu setiap kali memanggilku. 


...bersambung ke Sounds Good, Cheri? (2)

1 komentar:

  1. Ini cerpenmu ? Kenapa nggak dibukuin aja cerpennya ? :))
    Gue ada artwork nih, kalau berkenan silahkan mampir dan dikomentari ya mbak :))

    BalasHapus

Daisypath Anniversary tickers