..sebelumnya di Sounds Good, Cheri (2)...
Hidup yang tenang, bukan berarti selalu mudah
untuk dijalani.
Hubungan kami seakan begitu sempurna. Tenang,
bahagia, tanpa adanya konflik yang berarti.
Setiap hari hanya tertawa, menikmati hari,
dan menutup hari dengan memadu cinta. Tidak ada lagi keresahan atau rasa
bersalah. Yang ada hanya bahagia dan.. ya, bahagia.
Memang harus kuakui, sempat terjadi beberapa
pertengkaran. Lea memang pribadi yang mudah tersulut, namun mas Adrian mengakui
bahwa sejak adanya aku, Lea menjadi lebih tenang dan terkontrol dari biasanya. Ia
bisa begitu marah pada mas Adrian, berteriak dan memukul, namun justru selalu
lembut padaku. Ia seakan menyayangiku seperti adik perempuannya sendiri. Sosok yang
ia tahu harus ia lindungi.
Karena itu, awalnya aku merasa seperti
manusia yang tidak tahu diuntung saat mendapati diriku tidak bahagia dengan
keadaan ini.
Apalagi yang kucari?
Pertanyaan itu terus-menerus kuulang dalam
benakku.
Namun semua ini terasa salah. Bukan seperti
ini yang kuinginkan. Seperti apapun
mas Adrian dan Lea mencintai atau menyayangiku, tapi aku tak pernah mampu masuk
ke ‘dunia’ yang terbentang diantara mereka berdua.
Aku selamanya tetap menjadi orang ketiga.
Dan kenyataan itu terlalu menyakitkan untuk
diterima.
* * *
“Mas, Mbak… Aku ingin pergi.”
Sore itu, Lea dan Mas Adrian tengah berbaring
tanpa sehelai benang-pun diatas kasur putih. Keduanya tampak letih dan
mengantuk, saat-saat yang aku tahu tidak tepat untuk menyampaikan keinginanku.
Tapi, rasanya hati ini sudah tak kuat menahan
lagi.
“Pergi kemana, cheri? Ke pantai lagi? Kemarin
memang belum puas sih ya mainnya…” sahut Lea tak jelas. Sebagian mukanya memang
masih terbenam di bantal.
“Bukan jalan-jalan, Mbak. Bukan bareng-bareng
juga. Aku ingin pergi. Aku sendiri. Aku sudah mengepak barang-barangku, mulai
saat ini aku tidak akan kembali lagi kesini.”
Keduanya kini menoleh. Wajahnya dipenuhi
keterkejutan. Dan sedikit ketidakpercayaan. Namun jelas keduanya kini
mendengarkanku dengan lebih serius.
“Kamu ngomong apa tho, Tiara?” mas Adrian
yang berbicara.
“Aku ingin pergi, Mas.” Dengan datar aku
mengulangi. “Aku tidak bisa hidup seperti ini terus.”
“Apa??” Lea memekik. Ia segera meloncat dari
atas kasur dan menyambar kedua bahuku. “Tiara lo ngomong apa sih?? Ini apa-apaan??”
“Aku ingin pergi, Mbak. Dan ini sudah
keputusanku.” Sahutku, lebih kuat.
“LO GILA!?” jerit Lea. Mas Adrian bertindak
cepat, menyambar Lea dan menyeretnya untuk menjauhiku. “Kenapa sih lo ini?? Kerasukan
apa??”
“Baby,
baby, please calm down…” Mas Adrian berusaha memeluk Lea, namun perempuan
itu dengan kuat terus meronta.
“Aku tetap akan pergi! Aku bisa gila kalau
terus seperti ini!” kini, aku mulai mendengar jeritanku mulai bercampur dengan
tangis.
“Apa sih yang salah?? Apa lagi yang kurang,
hah!? APA!!?” gerung Lea murka.
“Dear,
dear, sudah… oke? Everything gonna be
alright! Kita masih bisa mencari yang lain, oke?” Mas Adrian melakukan segala
usaha untuk menenangkan Lea.
“Setelah semua yang kami lakukan untuk lo,
dan sekarang lo bersikap nggak tahu diuntung kayak gini!?” jerit Lea lagi,
masih berusaha mencengkramku.
“Tapi
aku ngerasa, disini aku hanya dimanfaatkan!!” balasku.
“Dimanfaatkan?” desisnya. “Oh ya, tentu lo
dimanfaatkan! Saat lo sudah nggak berfungsi baik lagi sebagai engsel. Lo
terlalu banyak menuntut, terlalu banyak komplain tentang segalanya, itu berarti
lo sudah-tidak-dibutuhkan, Tiara!”
“Engsel! Engsel! Kamu gila!! Aku manusia,
Mbak!! Aku nggak bisa hidup cuma untuk pemanis hubungan kalian!!” jeritku. “AKU
NGGAK BUTUH JADI ORANG KETIGA!!”
“BANGSAT!! Perempuan bodoooh!!!” raung Lea. “Lo
seharusnya bahagia karena dicintai!!”
“Sayang, sayang. Hush! Sudah, oke?” suara mas
Adrian mulai meninggi.
“Tapi dia harusnya sempurna! Kamu tahu itu! Perfect!!” jerit Lea. “Profilnya… dia… harusnya..
perfect!!” suara indah itu mulai
terbata-bata, serak oleh air mata.
“Iya, baby… Tapi it’s doesn’t work, okay? And
you know what? I’m tired of this kind
of game! Aku nggak butuh ‘snack’ lagi, baby…
aku sadar, kamu sudah cukup. Kamu yang terbaik. Kita sudah nggak butuh siapapun
lagi untuk mewarnai hubungan ini, honey… okey? Just let her go… Sekarang, hanya ada aku dan kamu… Lagipula kita
sudah akan menikah, oke, baby?”
Menikah?
Ada bagian dari diriku yang mati saat
mendengar itu.
Ya, aku tahu, mereka berdua pasti suatu saat
akan menikah. Pasti. Hanya tinggal menunggu waktu. Dan dalam rencana terdahulu,
kemungkinan besar aku akan tetap bersama mereka. Entah sebagai apa.
Tapi, menikah?
Jauh di dalam hatiku, aku bersyukur karena
sudah memutuskan untuk pergi dari cinta segitiga ini.
“Gimana sih… kenapa gini…” Lea mulai
mengisak. Ia terhuyung dan terduduk di atas kasur.
Mas Adrian memanfaatkan ketenangan Lea untuk
menjalin kontak mata denganku. Ia memintaku untuk keluar dari kamar itu –
sesuatu yang segera aku turuti dengan senang hati. Aku segera mengumpulkan
barang-barangku dan menyusunnya di dekat pintu depan.
Ya. Semuanya sudah diputuskan. Dan kegilaan
ini berakhir. Harus berakhir.
Beberapa menit kemudian mas Adrian keluar. Tanpa
kata, ia mulai membantuku mengumpulkan barang dan mengangkatinya. Aku mengerti.
Berdua, kami turun ke lantai dasar dan memanggil taksi. Dalam hati, aku
bersyukur karena tidak begitu banyak membawa barang saat pindah kesini.
Mungkin, sebenarnya aku tahu. Bahwa semua ini
memang hanya sementara. Dan suatu saat, ketika ini semua akan berakhir, aku
harus kembali lagi ke awal kehidupanku.
“Aku minta maaf atas semua ini, Tiara.” Kata mas
Adrian pelan.
“Tidak mas, harusnya aku yang minta maaf…”
sahutku sembari tersenyum. Ya, ini salahku. Kesalahanku karena mau menerima
lelaki yang sudah jelas-jelas memiliki tunangan. Kesalahanku karena mau menjalin
cinta yang rumit.
“Berbahagialah, Tiara…” ia mengecup dahiku
pelan. Tanda perpisahan.
“Pasti, Mas…” aku menjawab, penuh senyuman.
Lalu pintu ditutup dan taksi itu melaju ke
kegelapan kota Yogyakarta. Melaju meninggalkan semua kebahagiaan yang pernah
kunikmati selama ini.
Sesungguhnya terasa sangat berat. Dalam 2
bulan ini, perasaan ini, pengalaman ini, entah dengan kata atau deskripsi
seperti apa yang harus aku gunakan untuk menjelaskan semuanya. Kegilaan Lea
meracuniku. Bagaimana aku bisa mencintai mas Adrian, namun juga mencintai Lea
setelahnya?
Tidak bisa.
Aku tidak cukup kuat untuk berpartisipasi
dalam dunia manipulasi yang diciptakan Lea.
Dunia itu sungguh memikat. Ya, cinta yang
terlalu banyak. Terlalu manis hingga membakar tenggorokan. Menimbulkan rasa
ketertagihan, namun meracuni.
Seseorang tidak akan mampu terlibat terlalu
lama dalam dunia seperti itu.
Cinta yang secukupnya. Manis yang secukupnya,
lebih rasional dan membahagiakan.
* * *
Aku menunggu.
Dan dalam penantian seperti ini, detak jarum
jam terasa sangat mengganggu.
Lama.
Seharusnya tidak selama ini.
Atau mungkin, rencaku memang kurang tepat?
Tok tok tok.
Ah! Itu dia!
Aku berlari menuju pintu kamar kos-kosanku. Sebelumnya,
aku menyambar botol parfum dan menyemprotkannya beberapa kali, serta merapikan
baju yang tengah kukenakan saat itu.
Lalu aku membuka pintu, dan menemukan sosok
perempuan bertubuh indah yang tengah mengigil dalam selendang tipisnya.
Kami berpandangan. Aku tersenyum. Wajahnya masih
dipenuhi kebingungan.
“Jadi, asal kamu tidak menjadi orang ketiga,
bukan?” ia bertanya dengan suara serak. Mungkin keterlambatannya akibat
tangisan dan teriakan.
Aku berhasil.
Kini panggilan lo-gue yang biasanya ia
alamatkan padaku, telah berganti menjadi aku-kamu. Kini, aku bukan lagi orang
ketiga baginya. Tapi sudah menjadi satu-satunya.
Aku tersenyum, lalu memeluknya. Erat. Seerat yang
aku inginkan.
“Aku selalu tahu kamu pasti akan memilihku.” Bisikku
di telinganya. Lalu aku mendongak, mencengkram rambut halusnya dan mengarahkan
wajah itu pada wajahku.
Ah… bibirnya memang selembut yang selalu kubayangkan
selama ini. Harum, beraroma cherry, dengan kelembutan sempurna. Tidak kasar
seperti milik mas Adrian.
Lea masih terdiam. Namun aku tahu dia
bahagia. Sekalipun ia baru saja meninggalkan semuanya, meninggalkan mas Adrian
dan segala yang dulu ia punya.
Tapi kini ia memilikiku.
Dan bersama, hanya berdua, aku yakin kami
bisa memiliki kehidupan yang sempurna. Karena aku memiliki semua yang tak
dimiliki mas Adrian. Dan cintaku pada Lea sempurna, karena aku tak membutuhkan
kehangatan orang lain untuk mampu setia padanya.
Aku. Lea. Selamanya berdua. Sounds good, cheri?
~ THE END ~
ah ternyataaa...
BalasHapussounds good ? ahahaaa ,, tidaaakk .... :D
Oke fix gue jadi penggemar lo, kak. Haha. Kata2 lo asik banget. Salam kenal kak :)
BalasHapusDeskripsinya detail banget... ada unsur kehidupan pribadi ne hehehe...
BalasHapusEndingnya gak terduga banget, Keren.
Sounds Good... very good ^^