Realitas itu sesuatu yang direkonstruksi. Realitas,
terbentuk dari perspektif kita masing-masing. Karenanya, sulit untuk menentukan
kebenaran absolute. Karena dalam dunia yang penuh oleh perspektif dan
realitasnya masing-masing, dunia adalah abu-abu. Tidak ada yang putih atau
hitam mutlak.
Seperti itulah gue memandang lingkungan gue.
Setiap orang boleh berpendapat. Mengatakan apapun.
Melakukan apapun.
Tapi gue ga boleh menganggap itu sebagai
kebenaran atau kesalahan mutlak. Tidak boleh, karena tidak ada kebenaran
mutlak, kecuali lo Tuhan.
Otherwise, lo bisa menyebut itu sebagai realita. Realita
dari perspektif lo.
Realita akan selalu benar, tapi belum tentu
realita lo juga dianggap benar oleh orang lain. Karena orang lain memandang realita dari
perspektifnya sendiri.
Seperti gelas yang berisi setengah air di
atas meja. Mungkin orang lain bisa memandangnya sebagai meja yang
diatasnya ada gelas yang berisi setengah udara.
Itu benar. Sama-sama benar. Namun berbeda.
Dan berbeda bukan berarti salah. Berbeda hanya masalah perspektif.
Itu sebabnya sekali lagi, tidak ada yang
namanya kebenaran absolute.
Setiap orang membentuk perspektifnya melalui
motif, sikap, emosi, kebiasaan, keinginan, hingga mungkin hayalan yang ada
dalam dirinya.
Hingga mungkin, dia bukan ‘melihat’ apa yang
memang diterima inderanya, tapi ‘melihat’ sesuai yang diinginkan oleh benaknya.
Itulah manusia.
Tidak sama seperti mesin mekanik yang akan
menghasilkan output persis seperti apa input yang dimasukkan user. Manusia, adalah tubuh yang penuh ruh, jiwa,
emosi, dan sebagainya.
Doktrin di kriminologi ini yang ngebentuk gue
jadi gue yang sekarang.
Adil adalah mendengarkan semua pihak.
Adil adalah menghargai kebenaran dari setiap
perspektif pihak.
Maka, setelah mengadu berjam-jam pada Allah
dan memperoleh ketenangan, gue sadar.
Dalam permasalahan ribet yang dimulai dari
tengah tahun 2012 ini, gue rasa gue sudah mulai melihat ujung kisah ini.
Setelah mendengar semua pihak, setelah
menerima setiap ‘realitas’ sebagai suatu kebenaran dari pihak masing-masing. Gue memutuskan tidak boleh berkata ‘dia benar’
atau ‘dia salah’ siapapun dia.
Karena well, tidak ada satupun pihak dari pertarungan
ini yang bisa mengajukan bukti nyata yang otentik.
Satunya tidak mampu memberi bukti nyata kalau
memang peristiwa itu ‘ada’, satunya lagi tidak mau di-konfrontasi untuk
memberi bukti nyata bahwa peristiwa itu memang ‘tidak ada’.
Hanya kesaksian dan kesaksian. Hanya perspektif dan realita yang sama-sama benar - tentu, menurut masing-masing pihak.
Gue tidak bisa memberi kepercayaan
sepenuhnya, 100% pada satu pihak. Gue hanya nggak ingin menyesal. Karena dalam pengadilan-pun, jika hanya ada
saksi tanpa adanya bukti minimal 2, maka orang tersebut tidak dapat dibilang ‘bersalah’.
Bahkan dalam Al-Quran pun, manusia jelas-jelas disuruh mencari bukti otentik yang nyata. Al Hujuraat: 6 "..periksalah berita itu dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu."
Yaqub bukan hanya mendengarkan anak-anaknya, namun juga meneliti bukti baju penuh darah yang mereka bawa. Yusuf dibuktikan tidak bersalah bukan hanya dari kesaksiannya, namun bukti nyata posisi robeknya baju. lalu tuduhan perzinahan yang harus memiliki saksi dan memang ada bukti penetrasi.
Jadi score-nya masih 1-1 dalam ranah ilmiah, maupun secara agama. Karena tak ada satupun yang mampu membawa bukti yang mendukung kesaksian mereka.
“Kok lo bisa berpikir kayak gini sih, Ci? Ini
masalahnya GEDE lho.” Tanya seorang teman.
Well, gue juga nggak mengerti kenapa. Seakan-akan
dalam permasalahan ini gue membuang kemanusiaan gue dan berpikir seperti mesin.
Seakan-akan mental gue terbuat dari baja dalam jenis yang terkuat. Atau memang, begitulah gue, yang lebih nyaman mengutamakan logika diatas hati dan emosi.
Mungkin, karena gue makhluk Post-modern, gue nggak mampu memandang
permasalahan hanya dari satu sisi. Karena itu adalah sebuah KESALAHAN TERBESAR yang bisa
gue buat dalam hidup.
Untuk itulah gue memutuskan memandang dari
setiap sisi yang ada. Selama tidak ada yang mampu menyodorkan bukti nyata.
Tapi kemudian permasalahannya adalah “Sekarang
kamu harus memilih ikut siapa. Kamu harus memilih mau ada di sisi mana. Kamu nggak bisa terus ditengah-tengah. Dan kalau
sudah iya, ya jangan tanggung.” Kata teman yang lain. Ada juga tweet yang gue suka dari Anggi, "Senetral-netralnya orang, pasti harus memihak."
Maka itulah dia. Gue memilih.
Dan dalam pilihan gue, gue berserah diri pada
Allah.
Gue tahu ini berat. Gue tahu menjalankannya
tidak mudah. Bahkan untuk gue. gue bertanya-tanya sejauh apa gue mampu. Tapi gue
juga bertanya-tanya mana mungkin gue ada disini, di posisi ini, kalau gue dirasa
tidak mampu oleh Yang Diatas?
Tapi gue
yakin selalu saja ada hikmah yang bisa gue ambil.
Seumur hidup ditempa kesakitan, toh gue malah menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya.
Dan lagi, gue tahu, gue nggak akan pernah
jadi korban. Ya oke, walaupun gue merugi, tapi keuntungan yang bisa gue peroleh
jauh lebih besar sehingga mampu menutupi kerugian itu.
Karena tidak seperti manusia, Allah tidak
pernah mengingkari janji.
Gue pegang itu.
Suci, aku juga baru saja mendapat ilmu semacam ini.. Namun, konteksnya pada narasi, yaitu tidak ada fakta di luar fakta. Selebihnya adalah fakta yang terpostulasi. Menurutku sih sama dengan apa yang kamu paparkan di atas, karena fakta sama dengan realitas.
BalasHapusnice sharing mba
BalasHapusyang paling mutlak adalah kuasa Tuhan,dan manusia hanya bisa menikmati & sekaligus menghadapi apa yang terjadi didepan mata
BalasHapusBlognya cantiq, sis!
BalasHapusSalam kenal dan kalau sempat mampir sekalian mengundang untuk gabung dengan teman-teman lain yang sudah SUBMIT URL BLOG-nya di Direktori Weblog Indonesia :)
Menurut cara pandang interpretasi, hakikat suatu gejala ditentukan oleh bagaimana cara orang menafsirkan atau memberi makna terhadap suatu gejala. Sedangkan menurut cara pandang empiris, hakikat dari suatu gejala ditentukan oleh apa yang bisa ditangkap oleh pengalaman inderawi. Adapun pada suatu yang bersifat mendasar dan obyektif, hakikat suatu gejala hanya ada satu, tidak berbilang, dan tidak berubah-ubah. Kebenaran ada yang obyektif seperti 1 + 2 = 3. Kebenaran ada juga yang bersifat subyektif seperti cantik, manis, elok, baik.
BalasHapus