Hyperborea, di atas sisa-sisa reruntuhan strapies Rossiyskaya
(Negeri Lampau Rusia)
Nroa 14th 525
Hersten
Awalnya ia
tidak yakin ia masih hidup atau sudah mati. Karena rasa sakit yang begitu luar
biasa telah membutakan sekaligus meringankan dirinya. Kesan pertama adalah
kehampaan yang gelap, lalu badai warna permainan cahaya. Kesan keduanya adalah
aroma darah yang sangat menusuk. Duet maut yang menjijikan dari aroma darah
manusia yang amis dan darah ghawren yang
busuk.
Homer Du
Terrha membuka matanya dan menemukan tangan kanannya hancur menjadi
serpih-serpih daging bewarna putih kemerahan, bertebaran di atas salju. Bangkai
seekor ghawren menimpa kaki kirinya
sebatas lutut, meneteskan darah hitam yang bersifat korosif dan nyaris
menggerus armor Homer, melarutkan campuran logam besinya yang mengilap. Ia
sekarat karena kehilangan banyak darah dan kerongkongannya yang sekering pasir
gurun.
Jadi, batinnya muram. Sekali lagi kematian menolak untuk menyambutku.
Homer
menatap ceruk tempat ia terjatuh bersama monster keparat itu. MindTrans-nya
memberitahu Homer bahwa ia telah berada di kuburan itu lebih dari dua hari.
Benda itu masih berfungsi dan memancarkan gelombang pertolongan. Namun Homer
tidak yakin sinyalnya diterima dengan baik berhubung stasiun penerima terdekat
telah terbenam di reruntuhan. Tapi, seharusnya bantuan dari Kerajaan sudah
berada di tempat ini sejak dua hari yang lalu. Mungkin, duganya geli, aku
terlalu terlihat ingin mati sehingga pertolongan yang seharusnya sudah tiba itu
membiarkanku membusuk disini.
Dengan kasar
Homer mendesak bangkai yang menimpa kakinya. Dengan tangan kirinya yang juga
terluka parah, ia meraba bagian depan armornya dan mengeluarkan beberapa pil
bewarna biru muda. Benda itu nyaris tersangkut di kerongkongan Homer yang
sangat kering, sebelum akhirnya berhasil tertelan. Efek semu yang menguatkan
membantu memberikan energi tambahan pada lelaki itu.
Butuh waktu
agak lama bagi Homer untuk memanjat keluar dari ceruk sedalam sepuluh kaki itu.
Dan saat tiba di permukaan, luka menganga di tangan kanannya kembali
mengeluarkan darah segar. Homer mengutuk saat menggabungkan kemalangan itu
dengan informasi posisinya saat ini. Ia berada sangat jauh dari bekas
reruntuhan Rossiyskaya, badai salju masih mengamuk, dan itu juga berarti ia tak
mungkin menerima pertolongan tepat waktu.
Homer
beranjak ke sebuah tunggul pohon yang tersisa setelah dihantam peperangan dan
duduk bersandar di sana. Darah masih mengalir deras dari lukanya yang terbuka
dan energi semu itu mulai terbang meninggalkannya. Ia memikirkan tentang
tugas-tugas yang telah dilaksanakannya, alibi sempurna, dan rekayasa sejarah
yang baru saja ia ciptakan di tanah ini.
Itu sebabnya
Homer tersenyum sembari menutup mata,
menjatuhkan dirinya dengan pasrah ke pelukan kegelapan yang hangat. Tak akan
ada sejarah yang akan mencatat fungsi kecilnya ini. Namun setidaknya ia sudah
menunaikan tugasnya dengan baik, bukan?
Sial, kekeh Homer miris saat merasakan dorongan
balik dari kematian. Kenapa bahkan dalam keadaan seperti ini kematian masih
juga menolak dirinya? Ayolah, aku hanya
ingin pergi ke tempat puteraku berada.
Kilasan
kenangan kembali membanjir saat Homer menutup matanya. Ia kembali menyaksikan
putera kecilnya yang tampan dan menggemaskan—putra yang ia banggakan ke semua
orang yang ia temui, putra yang ia harapkan dapat menjadi laki-laki yang
berguna dalam membela kelangsungan rasnya—lenyap ditelan taring-taring
monster ghawren, sedikit demi sedikit
hingga yang tersisa hanyalah boneka tentara dari kayu yang Homer ukir untuknya.
Belahan
hatinya itu masih menjerit saat setengah dari tubuhnya lenyap di balik moncong
monster berbau busuk itu. Belahan hidupnya itu masih memanggil-manggil namanya,
menangis dan berteriak sejadi-jadinya saat kesakitan tak terperi menimpa tubuh
kecilnya. Potongan organ dan tetesan darahnya membasahi tanah. Saat taring itu
menghancurkan tulang rusuk dan mungkin juga menembus jantungnya, barulah ia
terdiam disambut keheningan peristirahatan yang abadi.
Homer selalu
tahu ia patut mati karena tak mampu berbuat apapun demi hidup putranya.
Lalu rasa hangat itu menyelubunginya. Gigitan salju tak lagi menyiksa
tulang-tulangnya yang rapuh. Homer merasa ringan saat cahaya yang hangat menyinari dirinya. Aku sudah tiba, ya? Batinnya lega. Mungkin kematian akhirnya lelah menolakku.
Itu sebabnya
saat ia membuka mata dan kembali menemukan dirinya masih berada di sana, Homer
kembali diremukkan keputusasaan. Tunggul pohon yang hangus, salju yang
menyelimuti bumi dengan warna sucinya, aroma amis, dan pergerakan awan-awan
yang menandakan bahwa badai telah berlalu.
Ia menyadari
bahwa sebuah jubah kecil kini menutupi tubuhnya, luka di tangannya telah
dibebat untuk menghentikan pendarahan, dan beberapa batang berserat tanaman
kering yang terasa aneh dilarutkan di mulutnya.
Seseorang
telah menyelamatkannya. Atau menghadiahi
kemalangan padaku yang tak pernah diberi kesempatan untuk memilih mati?
Batin Homer muram. Ia menggerakkan pandangannya untuk mencari-cari sosok pria atau
wanita yang telah melakukan pekerjaan rapi yang ahli seperti ini. Namun Homer
tak pernah menemukan sosok pria atau wanita yang ia cari.
Sebagai
gantinya, seorang bocah tengah duduk di dekatnya, tak terlihat kedinginan
sekalipun ia duduk di atas tumpukan salju. Kulit sewarna zaitun, rambut ikal
bewarna hitam pekat, dan bola mata bewarna ungunya menjalin sebuah kontras yang
nyata dengan hamparan putih di sekelilingnya. Ketiga warna itu bukanlah sesuatu
yang wajar pada masa dimana seluruh manusia kekurangan pigmen karena telah
berabad-abad tak terjamah sinar mentari.
Bocah? Seorang ethruscan? Bagaimana ia bisa
selamat berada disini? rasa keterkejutan itu
mampu mengalahkan kesakitan yang menjerat Homer. Ia balas menatap mata ungu
yang dibingkai bulu mata sehitam kegelapan itu. Homer berusaha mengingat, namun
ia terpaksa menyimpulkan bahwa dirinya belum pernah melihat bocah itu, atau
bertemu dengan manusia dengan bola mata bewarna ungu.
Bocah itu
bermata kosong dengan wajah datar tanpa ekspresi. Mantel bewarna cokelat yang
ia kenakan berlumuran darah yang telah menghitam. Beberapa bagian diantaranya
berlubang dengan sisi-sisi bewarna hijau—sisa dari darah ghawren yang telah menguraikan seratnya.
Homer
mencoba bergerak atau mengeluarkan suara, namun ia mendapati dirinya tak mampu
melakukan apapun dengan tubuhnya. Akhirnya ia dan bocah yang berlumur darah itu
hanya memandang satu sama lain. Tak satupun dari mereka yang bergerak. Homer
bisa merasakan waktu menetes.
Hingga dalam
sepersekian detik yang tak Homer sadari, bocah itu menghilang begitu saja,
seakan ia bagian dari udara yang terhapus saat angin bertiup.
Keheranan,
Homer berusaha menggerakkan lehernya untuk mencari-cari. Bukankah ia tak pernah
memalingkan pandangan? Lalu bagaimana bisa bocah itu menghilang—lenyap begitu
saja dari hadapannya?
Homer nyaris
tertawa terbahak-bahak saat kesadaran yang pahit menghantam dirinya. Mungkin ia
tak sepenuhnya gagal—ia masih bisa berimajinasi di detik-detik terakhirnya.
Imajinasi mengenai harapan.
Homer
mendengus getir dan menutup mata dengan damai, siap kembali ke pelukan
kegelapan yang hening setelah interupsi yang mengherankan barusan. Kali ini ia
benar-benar berharap kegelapan memeluknya dengan sungguh dan tak melepaskannya
lagi. Dan memang itulah yang nyaris terjadi saat tiba-tiba saja tetes demi
tetes air jatuh membasahi Homer dan kesekaratannya.
Homer
membuka matanya untuk kesekian kalinya dalam kebosanan dan menatap bingung pada
bocah itu, yang kini muncul kembali dengan sebuah hwater[i].
Dengan gerakan yang sangat santai dan luwes, bocah itu berlutut di samping
kepala Homer dan membantu memasukkan ujung pipa hwater itu ke bibir Homer yang
berasa asin karena darah.
Entah
bagaimana dari jarak ini, bocah di hadapannya itu terlihat begitu mirip dengan
puteranya yang telah tiada.
Homer
mengingat bocah lain, yang saat ia masih hidup sama besarnya dengan bocah ini.
Putra yang sangat ia sayangi. Putra yang selalu duduk dengan wajah khawatir
saat ia terbaring kesakitan akibat tugas yang berat di sisi pembaringannya.
“Etheldu…
afe’lif…” (Tuan, bertahan hiduplah) bisik bocah itu, nyaris sama diamnya dengan
bisikan angin semilir. Dan bocah itu benar, karena dari balik punggung
kecilnya, Homer bisa menatap avaerop-avaerop yang memenuhi langit, bersiap
mendarat di timbunan salju di sekelilingnya.
Akhirnya,
bantuan yang sia-sia itu tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar