“Jangan jauh-jauh, Vortigrn. Walaupun pulau ini terpencil dan
bersih dari populasi ghawren, tetap saja berbahaya bagimu untuk berada di
hyperborean.” Tegur ayahnya. Ia berdiri dan menoleh pada Terrha muda yang
ditugasi untuk mengawasi Vortigrn. “Ia memiliki bakat yang besar untuk kabur
dari pengawasan, Fraush. Jangan sampai lengah mengawasinya.”
Terrha berwajah pucat itu menghormat dengan penuh semangat.
“Saya akan mengawasi Vortigrn-uen dengan nyawa saya, Lon Rion!”
serunya dengan semangat tinggi.
“Berjanjilah untuk tidak menentang bahaya.” Sahut ayahnya sembari menatap Vortigrn dalam. Vortigrn
baru saja akan mengangguk saat ayahnya tiba-tiba saja menghela nafas pasrah. "Bukan.
Berjanjilah untuk pulang dalam keadaan lengkap dan bernafas."
Tawa Vortigrn meledak.
“Ayah, saya tidak separah itu.” Gelak Vortigrn geli.
Ayahnya mengangguk dan menepuk kepala Vortigrn sebelum berbalik
dan melangkah pergi meninggalkan pantai itu, ditemani serombongan argonts
berpangkat tinggi. Vortigrn sama sekali tak memiliki perkiraan apa yang
dilakukan orang-orang itu di pulau terpencil di hyperborean ini. Kelihatannya
begitu penting hingga bersedia mengadu nyawa dengan pergi ke tempat rawan
seperti hyperborean. Namun, jika sebegitu pentingnya, mengapa ayahnya
mengijinkan Vortigrn ikut serta?
“Anda akan bermain apa,
Vortigrn-uen? Hyperborea sangat indah, ya? Saya selalu
merasa terbang karena luar biasa senang jika giliran saya untuk ‘mengawasi’
tiba. Saya sangat menyukai hyperborean.” Sahut si Terrha bersemangat. “Terutama
Pulau Bali ini, Fruen. Katanya, dulu sekali, pulau ini menjadi objek berwisata
yang terkenal.”
“Itu sebabnya kita berperang dengan ghawren, Etheldu. Untuk
memperebutkan hak atas tempat ini.” Dengus Vortigrn bosan. Ia memutuskan untuk
mengacuhkan si Terrha yang tengah terpesona dan mengedarkan pandangan ke
seluruh pantai untuk meneliti ‘daerah jajahan barunya’.
Pantainya memang begitu indah, namun kosong dan liar. Banyak
bangunan tua dan berlumut yang setengah hancur, teronggok menyedihkan di
sekitarnya. Vortigrn mendesah dalam hatinya. Hatinya miris membayangkan betapa
dulunya manusia bebas berada di tempat seindah ini, bahagia dalam peradaban
yang mereka kuasai. Apa saat itu mereka pernah membayangkan bahwa eksistensi
manusia akan terancam—bahkan nyaris punah seperti saat ini?
Rasanya tawa dan kebahagiaan yang pernah menguasai pulau ini
dulunya hanyalah mimpi. Karena kini yang tersaji di hadapan Vortigrn hanyalah
kehampaan yang kosong. Keindahan yang mati karena tak tersentuh kehidupan.
“Fraush-eth. Apa anda
mau bermain sembunyi-menemukan?” tanya Vortigrn riang, menipu di balik topeng
polos dan wajah manisnya yang memikat.
"Wah! Tentu saja,
Vortigrn-uen! Dengan senang hati!" lalu, seperti baru saja mengingat, ia
menambahkan. "Tapi kita tidak diijinkan berada jauh dari tempat sandaran
WATract, Fruen. Jadi sebaiknya kita tidak bermain terlalu jauh."
Vortigrn mendengus dalam
hati, namun memasang senyuman di wajahnya. "Tentu saja, Fraush-eth. Saya
sendiri tidak berani bermain terlalu jauh." Mungkin keputusan ayahnya
untuk mengutus seorang yang belum mengenal Vortigrn seperti Terrha baru ini
sangatlah keliru.
Dan begitulah. Vortigrn
berhasil membujuk Fraush untuk mengambil giliran pertamanya sebagai si
Menemukan. Di saat lelaki terperdaya itu berbalik dan menutup matanya lalu
mulai menghitung, Vortigrn tertawa terbahak-bahak dalam hati, lalu mulai
melangkahkan kakinya secepat mungkin menjauhi si Terrha.
Bermain di bawah asuhan? Seperti bayi saja!
Hanya butuh beberapa
menit bagi Vortigrn untuk mencapai bagian lain dari pantai di pulau ini. Berharap
Fraush tidak akan sadar secepat itu bahwa ia tengah melarikan diri, Vortigrn
mulai menyibukkan diri dengan berguling-guling dan membasahi diri dengan ombak.
Manusia yang tak pernah
berhenti merindukan permukaan bumi, menipu diri mereka sendiri dengan membangun
bunker bawah tanah yang lengkap dengan visualisasi pemandangan permukaan bumi
yang sebenarnya. Tinggal di bawah tanah tidak membuat Vortigrn
merasa asing dengan angin dan langit biru. Teknologi membuat semua hal itu mampu
disajikan dengan begitu identik di dalam strapies.
Tentu saja yang asli
berbeda. Dengan puas Vortigrn menatap pergerakan awan dan menghirup bau asin
laut. Ia mencicipi air laut dan nyaris muntah karena rasanya. Ia tertawa dan
menggesekkan kakinya di sela-sela pasir. Nah, untuk yang terakhir ini baru
pertama kalinya Vortigrn alami. Pasir hangat yang basah dan mendecit.
Lalu, tiba-tiba saja
daratan di bawah Vortigrn bergetar hebat.
Rasanya darah seperti
tersirap dari seluruh nadi Vortigrn saat ketakutan menggedor-gedor bilik
jantungnya. Di hadapannya, laut tiba-tiba saja membuncah ke udara, menggelegak
ganas, dan berputar-putar. Gelembung udara sebesar WATract
pecah dengan suara keras. Sebuah raungan yang bukan milik manusia mengguntur di
udara.
Seekor Architeuthis melebarkan kedelapan tentakelnya, memecut laut
dan pasir dengan ganas.
Mata hewan itu adalah mata terbesar diantara semua hewan. Mata
yang cocok untuk mengumpulkan cahaya sesuram apapun di lautan dalam—tempat
monster itu berasal. Geligi
memenuhi pori-pori besar yang tersusun apik di tentakelnya. Geligi yang bisa mengiris
dan melumat bocah kecil seperti Vortigrn dengan sangat mudah.
Vortigrn ingat ia
berteriak saat salah satu tentakel yang lebarnya saja melebihi tinggi si bocah,
memeluk pinggangnya dan mengangkat Vortigrn jauh dari permukaan tanah. Architeuthis
itu mengangkat Vortigrn hingga ia sejajar dengan matanya yang sangat besar.
Saya akan
mati! Jerit Vortigrn panik. Monster ini akan membunuh saya!
Suara dengkingan terdengar dan seluruh tubuh si Architeuthis
bergetar hebat.
Vortigrn, dalam kengerian yang menakutkan, memilih menutup mata
saat menyadari apa yang akan dilakukan si monster terhadapnya. Ia akan ditelan
tanpa sisa!
“Hentikan, Octopian. Cukup main-mainnya. Letakkan bocah itu.”
Sesuatu yang dingin merambati tengkuk Vortigrn.
Apa? Suara
anak-anak? Vortigrn membuka matanya, mendapati dengan
rasa heran bercampur tidak percaya sosok seorang bocah yang sepantaran
dengannya, tengah duduk dengan santai dan acuh di salah satu tentakel si
monster yang melengkung. Di saat semua manusia memiliki warna rambut keperakan
dan bola mata yang bening akibat kekurangan pigmen, bocah itu seperti berasal
dari dunia hyperborean itu sendiri dengan rambut ikal bewarna hitam pekat dan
bola mata bewarna ungu cerah.
Bola mata yang mengingatkan Vortigrn akan seseorang…
“Kau Fruen. Vortigrn.”
Tuduh bocah itu. Entah mengapa terdengar kesal.
Vortigrn benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
“Letakkan dia, Octopian.” Tidak mendapat tanggapan, dengan acuh
bocah itu beralih pada ‘monster’nya. Sungguh aneh melihat bocah itu
memperlakukan monster lautan dalam itu seperti hewan peliharaan sementara satu
lecutan tentakel si Architeuthis bisa membunuhnya. Dan lagi, ia mengajaknya
berbicara?
Si Architeuthis mengarahkan matanya yang mengerikan pada si bocah
bermata ungu, lalu mendengking pelan. Bocah bermata ungu itu terdiam seakan
mendengarkan, lalu tiba-tiba saja menoleh kesal pada Vortigrn. “Hati-hati
dengan pikiranmu, Fruen. Octopian bisa berkomunikasi dengan pancaran gelombang
otak. Ia bisa mendengar semua
yang kau pikirkan. Kau tidak pantas berpikir seperti itu. Kau tidak tahu
apa-apa."
Kata-kata itu terasa
seperti tamparan yang perih namun menyadarkan.
"Siapa anda?"
untuk pertama kalinya, Vortigrn bersuara.
Alis si bocah bermata
ungu terangkat tinggi hingga menghilang di balik rambut ikalnya yang
menggantung di dahinya yang tinggi. "Aku bukan tipe orang yang mau
berurusan denganmu. Jadi namaku tidak akan berguna untukmu." Sahutnya
ketus. "Octopian, kalau kau tidak mau meletakkan dia sekarang juga, aku
tidak akan bermain lagi denganmu!" sambung bocah itu kesal pada
‘peliharaan’nya.
Architeuthis itu kembali mendengking, suara yang terdengar seperti
ungkapan rasa kesal. Vortigrn nyaris berterima kasih pada si bocah saat monster
itu benar-benar menuruti si bocah untuk melepaskan Vortigrn. Dengan kelembutan
yang tak pantas untuk makhluk seseram dia, ‘Octopian’ meletakkan Vortigrn
dengan sangat perlahan di atas permukaan pasir putih yang lembut.
“Aku memberikan saran yang baik, agar kau tidak coba-coba
menceritakan pertemuan ini pada siapapun, terutama pada Allaric.” Keberanian
bocah itu menyebut nama sang Cent’Rion hanya dengan nama menyengat Vortigrn.
“Aku minta maaf karena tidak berhasil mengendalikan keisengan Octopian. Ia
tertarik pada rambut kelabumu.” Aneh rasanya mendengar kejujuran yang
diungkapkan bocah seram itu.
Sebuah senyuman sinis yang menghina mengembang di bibir tipis si
bocah. Ia bahkan menyempurnakan penghinaan yang kentara itu dengan menghormat
dalam.
“Semoga kita tak pernah bertemu lagi, Fruen.”
Vortigrn terpaku selama
beberapa detik. Rasanya rasa dingin itu kini mencengkram kedua kakinya. Jantung
Vortigrn berdegup keras, menggila di rongga tempat ia berada. Di detik dimana
Vortigrn nyaris melontarkan keheranannya, Architeuthis itu melecutkan
tentakelnya, dan merunduk untuk terjun,
kembali pulang ke lautan dalam.
Seperti tak pernah
terjadi, tiba-tiba saja Vortigrn kembali berdiri di tepi pantai yang sepi,
sendirian di tengah gempuran angin. Tak ada yang tersisa dari kehadiran si
architeuthis ataupun bocah bermata ungu itu. Seakan-akan yang terjadi beberapa
saat yang lalu itu hanyalah mimpi yang menghinggapi Vortigrn.
"Apa-apaan…" Vortigrn membiarkan berat tubuhnya jatuh ke
pasir yang lembut. Dengan wajah memerah ia menyadari bahwa lututnya gemetar
hebat. Pengalaman bertemu dengan monster itu memang mengerikan, namun ternyata
kesan mendalam yang ditinggalkan si bocah bermata ungu jauh lebih mengerikan.
Bagaimana mungkin seorang bocah memelihara monster? Bagaimana ia
bisa menimbulkan kesan menguasai yang ‘kelam’ seperti itu? Kenapa ia memanggil
ayahnya hanya dengan nama? Apa hubungan bocah itu dan ayahnya? Siapa dia,
dimana ia tinggal?
Pertanyaan mengaduk-aduk benak Vortigrn hingga entah sejak kapan,
sayup-sayup panggilan panik Fraush du Terrha memenuhi udara. Lelaki jangkung
yang pucat itu diikuti sepasukan argonts bertampang khawatir.
Vortigrn mendesah berat.
Mungkin seharusnya, lain kali ia mendengarkan nasihat ayahnya
untuk ‘menjaga nyawa’nya.
CERITA SEBELUMNYA : (Part 3)
CERITA SELANJUTNYA : (Part 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar