11 Des 2011

Alfprimr: Rise of Refheuf (Part 4)




“Jangan jauh-jauh, Vortigrn. Walaupun pulau ini terpencil dan bersih dari populasi ghawren, tetap saja berbahaya bagimu untuk berada di hyperborean.” Tegur ayahnya. Ia berdiri dan menoleh pada Terrha muda yang ditugasi untuk mengawasi Vortigrn. “Ia memiliki bakat yang besar untuk kabur dari pengawasan, Fraush. Jangan sampai lengah mengawasinya.”

Terrha berwajah pucat itu menghormat dengan penuh semangat.

“Saya akan mengawasi Vortigrn-uen dengan nyawa saya, Lon Rion!” serunya dengan semangat tinggi.

“Berjanjilah untuk tidak menentang bahaya.” Sahut ayahnya sembari menatap Vortigrn dalam. Vortigrn baru saja akan mengangguk saat ayahnya tiba-tiba saja menghela nafas pasrah. "Bukan. Berjanjilah untuk pulang dalam keadaan lengkap dan bernafas."


Tawa Vortigrn meledak.

“Ayah, saya tidak separah itu.” Gelak Vortigrn geli.

Ayahnya mengangguk dan menepuk kepala Vortigrn sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan pantai itu, ditemani serombongan argonts berpangkat tinggi. Vortigrn sama sekali tak memiliki perkiraan apa yang dilakukan orang-orang itu di pulau terpencil di hyperborean ini. Kelihatannya begitu penting hingga bersedia mengadu nyawa dengan pergi ke tempat rawan seperti hyperborean. Namun, jika sebegitu pentingnya, mengapa ayahnya mengijinkan Vortigrn ikut serta?

“Anda akan bermain apa, Vortigrn-uen? Hyperborea sangat indah, ya? Saya selalu merasa terbang karena luar biasa senang jika giliran saya untuk ‘mengawasi’ tiba. Saya sangat menyukai hyperborean.” Sahut si Terrha bersemangat. “Terutama Pulau Bali ini, Fruen. Katanya, dulu sekali, pulau ini menjadi objek berwisata yang terkenal.”

“Itu sebabnya kita berperang dengan ghawren, Etheldu. Untuk memperebutkan hak atas tempat ini.” Dengus Vortigrn bosan. Ia memutuskan untuk mengacuhkan si Terrha yang tengah terpesona dan mengedarkan pandangan ke seluruh pantai untuk meneliti ‘daerah jajahan barunya’.

Pantainya memang begitu indah, namun kosong dan liar. Banyak bangunan tua dan berlumut yang setengah hancur, teronggok menyedihkan di sekitarnya. Vortigrn mendesah dalam hatinya. Hatinya miris membayangkan betapa dulunya manusia bebas berada di tempat seindah ini, bahagia dalam peradaban yang mereka kuasai. Apa saat itu mereka pernah membayangkan bahwa eksistensi manusia akan terancam—bahkan nyaris punah seperti saat ini?

Rasanya tawa dan kebahagiaan yang pernah menguasai pulau ini dulunya hanyalah mimpi. Karena kini yang tersaji di hadapan Vortigrn hanyalah kehampaan yang kosong. Keindahan yang mati karena tak tersentuh kehidupan.

“Fraush-eth. Apa anda mau bermain sembunyi-menemukan?” tanya Vortigrn riang, menipu di balik topeng polos dan wajah manisnya yang memikat.

"Wah! Tentu saja, Vortigrn-uen! Dengan senang hati!" lalu, seperti baru saja mengingat, ia menambahkan. "Tapi kita tidak diijinkan berada jauh dari tempat sandaran WATract, Fruen. Jadi sebaiknya kita tidak bermain terlalu jauh."

Vortigrn mendengus dalam hati, namun memasang senyuman di wajahnya. "Tentu saja, Fraush-eth. Saya sendiri tidak berani bermain terlalu jauh." Mungkin keputusan ayahnya untuk mengutus seorang yang belum mengenal Vortigrn seperti Terrha baru ini sangatlah keliru.

Dan begitulah. Vortigrn berhasil membujuk Fraush untuk mengambil giliran pertamanya sebagai si Menemukan. Di saat lelaki terperdaya itu berbalik dan menutup matanya lalu mulai menghitung, Vortigrn tertawa terbahak-bahak dalam hati, lalu mulai melangkahkan kakinya secepat mungkin menjauhi si Terrha.

Bermain di bawah asuhan? Seperti bayi saja!

Hanya butuh beberapa menit bagi Vortigrn untuk mencapai bagian lain dari pantai di pulau ini. Berharap Fraush tidak akan sadar secepat itu bahwa ia tengah melarikan diri, Vortigrn mulai menyibukkan diri dengan berguling-guling dan membasahi diri dengan ombak.

Manusia yang tak pernah berhenti merindukan permukaan bumi, menipu diri mereka sendiri dengan membangun bunker bawah tanah yang lengkap dengan visualisasi pemandangan permukaan bumi yang sebenarnya. Tinggal di bawah tanah tidak membuat Vortigrn merasa asing dengan angin dan langit biru. Teknologi membuat semua hal itu mampu disajikan dengan begitu identik di dalam strapies.

Tentu saja yang asli berbeda. Dengan puas Vortigrn menatap pergerakan awan dan menghirup bau asin laut. Ia mencicipi air laut dan nyaris muntah karena rasanya. Ia tertawa dan menggesekkan kakinya di sela-sela pasir. Nah, untuk yang terakhir ini baru pertama kalinya Vortigrn alami. Pasir hangat yang basah dan mendecit.

Lalu, tiba-tiba saja daratan di bawah Vortigrn bergetar hebat.

Rasanya darah seperti tersirap dari seluruh nadi Vortigrn saat ketakutan menggedor-gedor bilik jantungnya. Di hadapannya, laut tiba-tiba saja membuncah ke udara, menggelegak ganas, dan berputar-putar. Gelembung udara sebesar WATract pecah dengan suara keras. Sebuah raungan yang bukan milik manusia mengguntur di udara.

Seekor Architeuthis melebarkan kedelapan tentakelnya, memecut laut dan pasir dengan ganas.

Mata hewan itu adalah mata terbesar diantara semua hewan. Mata yang cocok untuk mengumpulkan cahaya sesuram apapun di lautan dalam—tempat monster itu berasal. Geligi memenuhi pori-pori besar yang tersusun apik di tentakelnya. Geligi yang bisa mengiris dan melumat bocah kecil seperti Vortigrn dengan sangat mudah.

Vortigrn ingat ia berteriak saat salah satu tentakel yang lebarnya saja melebihi tinggi si bocah, memeluk pinggangnya dan mengangkat Vortigrn jauh dari permukaan tanah. Architeuthis itu mengangkat Vortigrn hingga ia sejajar dengan matanya yang sangat besar.

Saya akan mati! Jerit Vortigrn panik. Monster ini akan membunuh saya!

Suara dengkingan terdengar dan seluruh tubuh si Architeuthis bergetar hebat.

Vortigrn, dalam kengerian yang menakutkan, memilih menutup mata saat menyadari apa yang akan dilakukan si monster terhadapnya. Ia akan ditelan tanpa sisa!

“Hentikan, Octopian. Cukup main-mainnya. Letakkan bocah itu.”

Sesuatu yang dingin merambati tengkuk Vortigrn.

Apa? Suara anak-anak? Vortigrn membuka matanya, mendapati dengan rasa heran bercampur tidak percaya sosok seorang bocah yang sepantaran dengannya, tengah duduk dengan santai dan acuh di salah satu tentakel si monster yang melengkung. Di saat semua manusia memiliki warna rambut keperakan dan bola mata yang bening akibat kekurangan pigmen, bocah itu seperti berasal dari dunia hyperborean itu sendiri dengan rambut ikal bewarna hitam pekat dan bola mata bewarna ungu cerah.

Bola mata yang mengingatkan Vortigrn akan seseorang…

“Kau Fruen. Vortigrn.” Tuduh bocah itu. Entah mengapa terdengar kesal.

Vortigrn benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

“Letakkan dia, Octopian.” Tidak mendapat tanggapan, dengan acuh bocah itu beralih pada ‘monster’nya. Sungguh aneh melihat bocah itu memperlakukan monster lautan dalam itu seperti hewan peliharaan sementara satu lecutan tentakel si Architeuthis bisa membunuhnya. Dan lagi, ia mengajaknya berbicara?

Si Architeuthis mengarahkan matanya yang mengerikan pada si bocah bermata ungu, lalu mendengking pelan. Bocah bermata ungu itu terdiam seakan mendengarkan, lalu tiba-tiba saja menoleh kesal pada Vortigrn. “Hati-hati dengan pikiranmu, Fruen. Octopian bisa berkomunikasi dengan pancaran gelombang otak. Ia bisa mendengar semua yang kau pikirkan. Kau tidak pantas berpikir seperti itu. Kau tidak tahu apa-apa."

Kata-kata itu terasa seperti tamparan yang perih namun menyadarkan.

"Siapa anda?" untuk pertama kalinya, Vortigrn bersuara.

Alis si bocah bermata ungu terangkat tinggi hingga menghilang di balik rambut ikalnya yang menggantung di dahinya yang tinggi. "Aku bukan tipe orang yang mau berurusan denganmu. Jadi namaku tidak akan berguna untukmu." Sahutnya ketus. "Octopian, kalau kau tidak mau meletakkan dia sekarang juga, aku tidak akan bermain lagi denganmu!" sambung bocah itu kesal pada ‘peliharaan’nya.

Architeuthis itu kembali mendengking, suara yang terdengar seperti ungkapan rasa kesal. Vortigrn nyaris berterima kasih pada si bocah saat monster itu benar-benar menuruti si bocah untuk melepaskan Vortigrn. Dengan kelembutan yang tak pantas untuk makhluk seseram dia, ‘Octopian’ meletakkan Vortigrn dengan sangat perlahan di atas permukaan pasir putih yang lembut.

“Aku memberikan saran yang baik, agar kau tidak coba-coba menceritakan pertemuan ini pada siapapun, terutama pada Allaric.” Keberanian bocah itu menyebut nama sang Cent’Rion hanya dengan nama menyengat Vortigrn. “Aku minta maaf karena tidak berhasil mengendalikan keisengan Octopian. Ia tertarik pada rambut kelabumu.” Aneh rasanya mendengar kejujuran yang diungkapkan bocah seram itu.

Sebuah senyuman sinis yang menghina mengembang di bibir tipis si bocah. Ia bahkan menyempurnakan penghinaan yang kentara itu dengan menghormat dalam.

“Semoga kita tak pernah bertemu lagi, Fruen.”

Vortigrn terpaku selama beberapa detik. Rasanya rasa dingin itu kini mencengkram kedua kakinya. Jantung Vortigrn berdegup keras, menggila di rongga tempat ia berada. Di detik dimana Vortigrn nyaris melontarkan keheranannya, Architeuthis itu melecutkan tentakelnya, dan merunduk  untuk terjun, kembali pulang ke lautan dalam.

Seperti tak pernah terjadi, tiba-tiba saja Vortigrn kembali berdiri di tepi pantai yang sepi, sendirian di tengah gempuran angin. Tak ada yang tersisa dari kehadiran si architeuthis ataupun bocah bermata ungu itu. Seakan-akan yang terjadi beberapa saat yang lalu itu hanyalah mimpi yang menghinggapi Vortigrn.

"Apa-apaan…" Vortigrn membiarkan berat tubuhnya jatuh ke pasir yang lembut. Dengan wajah memerah ia menyadari bahwa lututnya gemetar hebat. Pengalaman bertemu dengan monster itu memang mengerikan, namun ternyata kesan mendalam yang ditinggalkan si bocah bermata ungu jauh lebih mengerikan.

Bagaimana mungkin seorang bocah memelihara monster? Bagaimana ia bisa menimbulkan kesan menguasai yang ‘kelam’ seperti itu? Kenapa ia memanggil ayahnya hanya dengan nama? Apa hubungan bocah itu dan ayahnya? Siapa dia, dimana ia tinggal?

Pertanyaan mengaduk-aduk benak Vortigrn hingga entah sejak kapan, sayup-sayup panggilan panik Fraush du Terrha memenuhi udara. Lelaki jangkung yang pucat itu diikuti sepasukan argonts bertampang khawatir.

Vortigrn mendesah berat.

Mungkin seharusnya, lain kali ia mendengarkan nasihat ayahnya untuk ‘menjaga nyawa’nya.

CERITA SEBELUMNYA : (Part 3)
CERITA SELANJUTNYA : (Part 5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daisypath Anniversary tickers