sumber foto di sini |
Sosoknya
sendiri adalah hal yang fenomenal.
Setiap
kali ia melintas, ia menimbulkan gelombang dengungan penuh bisik pada orang
yang dilewatinya. Ia seperti meninggalkan semacam ekspresi hebat berupa
kengerian yang sarat, serta rasa miris yang teriris di setiap lekuk wajah
mereka yang melihatnya.
Seperti
tengah memandangi karya indah yang tak sengaja cacat, seperti memandangi pemandangan
indah yang ternoda.
Karena
dia adalah perempuan yang luar biasa cantik—seandainya, bekas luka mengerikan
itu tak melintang dari pelipis kanan wajahnya, lurus hingga melintasi garis
dagunya. Sosoknya begitu memikat dan menimbulkan banyak iri dan kekaguman—andai
saja luka itu tak ada di wajah seindah itu.
“Astaga.
Seperti menyaksikan lukisan Monalisa yang dilempari kotoran.”
“Sungguh
sayang, banyak perempuan yang rela menempuh berbagai kesakitan demi mendapatkan
wajah dan tubuh sepertinya—andai luka menjijikan itu tak ada…”
“Gila.
Kenapa ia membiarkan sesuatu yang memuakkan seperti itu berada di wajahnya
bahkan lebih dari semenit saja?”
“Kalau
aku jadi dia, pasti sudah gila!”
“Dengan
uang keluarganya, tentunya tak sulit mencari dokter bedah plastik terbaik di
seluruh dunia. Lalu mengapa ia membiarkannya?
Anehnya,
ia seperti menikmati perhatian yang timbul atas luka itu. Perempuan itu tak
menutupinya, berjalan dengan wajah menengadah dan bahu yang tegap. Ia seakan
tengah menikmati dunianya sendiri, dan semua bisik-bisik itu seakan tak lebih
dari desir angin yang lewat tanpa meninggalkan bekas.
“Sungguh
aneh keluarga Hartdjadinata membiarkan luka seperti itu merusak wajah tercantik
di keluarga mereka. Kukira keluargamu menganggap kecantikan dan kesempurnaan
itu sebagai asset?”
Dia
mengangkat pandangannya untuk memandang seorang pria berwajah dingin yang
tengah melengkungkan senyuman miris. Pria itu berdiri di depannya, menyandar
anggun ke sebuah tiang. Seakan-akan dengan sengaja dan terang-terangan
menghalangi jalannya hanya untuk menarik perhatian.
Dia
tersenyum kecil—nyaris seperti tertawa mengejek, dan berhenti di sebelah pria
itu, mengulurkan tangan untuk mengambil gelas minuman yang tak dibutuhkannya
hanya untuk bertukar kata dengan pria yang sungguh berani melemparkan kenyataan
ke wajahnya. Ada sesuatu pada pria itu yang menarik hatinya. Ia berbeda dengan
orang-orang memuakkan itu.
Pria
ini—entah mengapa—seperti memiliki luka yang sama dengannya. Dan seperti kecoak
yang bisa membaui sesamanya, dia merasakan sesuatu yang sama gelap dan kelamnya
dalam diri pria itu yang juga ada di dalam dirinya.
“Tentu.
Anggap saja keluarga Hartdjadinata tengah kehilangan asset besarnya.” Kekehnya
geli. “Dan siapakah pria pemberani yang berani melontarkan ironi itu
keras-keras lebih dari sekedar bisik?” desisnya.
“Sebut
saja aku salah satu dari klien penting keluargamu.” Senyuman mengejek
melengkung di bibir indah si pria.
“Jadi,
saya bisa memanggilmu ‘klien-penting-keluarga’? hmm, sungguh sopan.” Sindirnya halus
dan memesona.
“Hahaha.
Kamu berubah Ellena. 3 tahun yang lalu kamu menatap dunia dengan tekad untuk
menghancurkan di kedua bola matamu. Hanya saja kamu tetap sopan, tetap ‘kosong’,
dan masih memerankan peran menyedihkan sebagai asset keluargamu. Saat ini, kamu
adalah kamu. Terasa bebas dan menikmati dunia. Apa yang mengubahmu? Jangan bilang,
luka yang sengaja kau timbulkan itu?” mata dalam pria itu menelusuri garis lukanya
dengan penuh keingintahuan.
“Ternyata
kau mengenalku lebih dari yang kukira.” Sanjungnya. Ia hanya tersenyum, tak
menjawab, dan membiarkan pertanyaan si pria menggantung di udara.
“Bagaimana
bisa keluargamu membiarkanmu berkeliaran di pesta penting seperti ini? Kukira dengan
kekerasan kepala mereka dan arogansinya, kau pasti sudah diseret ke meja
operasi untuk melenyapkan ‘aib’ di wajahmu itu.” Kekeh si pria senang.
“itu
benar. Aku pernah diseret lebih dari sekali, tentu. Utopis sekali jika berharap
orangtuaku akan membiarkanku dan luka ini. Terlalu indah jika berharap mereka
akan membiarkanku sendirian hanya karena luka ini. Namun tetap saja, kali ini
aku tak mau mengalah lagi.”
Pria
itu memerhatikan bagaimana perubahan suaranya saat ia menyebut orangtuanya. Suara
yang sarat dengan kebencian, yang memenuhi rongga tenggorokan hingga menyekat.
“Menurutku,
Ellena. Kau jauh lebih cantik dan memesona dengan luka itu. Sungguh.” Puji pria
itu tulus.
Pria
itu mengingat Ellena yang dulu pernah ia benci. Gadis dari keluarga terpandang
yang digadang-gadang mampu menambah kekayaan keluarga Hartdjadinata hingga
milyaran rupiah hanya dari pertunangannya saja. Ia seperti komoditas yang
menunggu orang yang mampu memenangkan pelelangan dirinya dengan harga yang
paling tinggi.
Tak
heran ia dulu terlihat begitu keras, arogan, dingin, dan menyebalkan—sama seperti
nyaris sebagian besar keluarganya. Seakan-akan sikap menyebalkan dan palsu itu
merupakan sifat yang diturunkan melalui DNA di keluarga itu.
Hanya
saja pria itu akhrinya paham, saat berita mengejutkan secara rahasia sampai ke
telinganya—bahwa Ellena mengiris wajahnya sendiri saat hari pernikahannya
dengan seorang pria—yang lebih tua 19 tahun darinya, serta lebih kaya daripada
keluarganya—semakin dekat.
Peristiwa
itu seakan menimbulkan gelombang yang sungguh besar di keluarga Hartdjadinata. Semua
pria yang dulu berebutan di pintu rumah itu untuk meminang sang tuan putrid lenyap
bagai debu yang ditiup angin. Semua meringis jijik melihat luka yang tak
kunjung diobati.
Dulu,
pria itu tak mengerti. Namun saat ini, ia seakan tahu bahwa nyaris sama
sepertinya—jauh di dalam dirinya Ellena muak menjadi seseorang yang
diperjualbelikan tanpa pernah boleh merasakan hal-hal manusiawi yang menjadi
haknya.
“Aku
bisa mendengar pikiranmu lebih jelas daripada jika kau meneriakkannya, kau
tahu.” Dia memberengut lucu. Garis lukanya sedikit tertarik membentuk kedutan
yang mengerikan, namun pria itu justru tersenyum saat melihatnya. “Ini tidak
se-‘wah’ itu kok.” Gumamnya sembari mengelus lukanya tanpa sadar.
“Tidak.
Mungkin aku hanya berfikir seandainya aku seberani kamu.” Gumam pria itu—lebih kepada
dirinya sendiri.
“Tak
selamanya mudah, sungguh. Saat inipun aku seperti nyaris lelah. Ingin benar-benar
bebas dan bukannya hanya sekedar berkhayal andai aku tak pernah terlahir di
keluarga semacam ini. Wajah ini pernah menyiksaku, dan ketika ia rusak, aku
seperti merasakan kenikmatan yang jauh melebihi apapun. Kepuasan tertinggi. Mungkin
orang mengatakan ini adalah sebuah kemalangan, namun bagiku ini trofi
kebebasan.”
“Aku
tahu perasaan itu.” Kikik si pria. “Hanya saja yang memenjaraku adalah bakat,
kepintaran, serta kelicikan dalam otak ini.” Si pria memandangnya dengan penuh,
lalu dengan begitu serius berkata “Apa menurutmu aku harus merusaknya untuk
mendapatkan kedamaian?”
Dia
tersenyum. Senyuman yang benar-benar tulus. Walau senyuman itu menimbulkan
kedutan mengerikan pada luka di wajahnya, entah mengapa ia terlihat begitu
cantik saat itu.
“Kau
bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dari itu, kau tahu.” Katanya pelan. “Jauh
lebih baik dari itu.”
Si
pria membuka mulutnya untuk mengeluarkan serangkaian pertanyaan, namun
dibungkam oleh kehadiran mendadak seorang wanita cantik berwajah jahat yang
merenggut lengan Ellena dengan sangat kasar.
“Kau
ini mikir apa dengan keluar di pesta sepenting ini!!” desis wanita itu geram. “memangnya
kau tidak puas menghancurkan semua rencana brilian ayahmu, hah!? Dasar pelacur
tak berguna!! Masuk! Sekarang!!”
Ellena
tertawa. Matanya melirik pada si pria, mengucapkan selamat tinggal tanpa
kata-kata, dan membiarkan dirinya diseret dengan kasar menjauhi keramaian.
Sosoknya
masih menimbulkan dengungan saat ia melewati orang-orang. Ia masih mengundang
rasa miris dan kengerian di wajah mereka yang memandangnya. Namun entah
bagaimana, kali ini ia bukan hanya menimbulkan cerca dan ejekan. Kali ini, ia
telah memesona hati seseorang yang bisa melihatnya lebih dalam dari sekedar
wajah dan tubuh yang dulunya sempurna.
“Kita
akan bertemu lagi.” Bisik pria itu ke udara, seperti sebuah keyakinan yang
mengandung doa. “Pasti. Kita pasti akan bertemu lagi, Ellena.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar