sumber gambar disini |
Seharusnya, dia hanya seekor makan malam untukku.
Dan seharusnya, untuk dia, aku adalah ‘musuh’ yang
patut dibasmi karena memangsa kaumnya.
Seharusnya, kami saling membenci dan memusuhi. Namun
entah sejak kapan—satu perjalanan Bulan tanpanya terasa begitu hampa. Dia
seperti air segar yang kubutuhkan, dan tanpanya akan terasa begitu menyiksa.
Bahkan perjalanan rutinku ke dasar samudra menjadi siksaan dan aku tak pernah
bisa sabar untuk segera kembali ke gua kami.
Setelah begitu banyak perjalanan Bulan yang kami
lewati bersama, aku terbiasa dengan Souichi. Terkadang aku menyelam ke kedalaman
laut untuk membawakannya rumput laut yang ia minta. Aku tak pernah mengerti apa
enaknya itu semua—seperti halnya Souichi yang jijik saat aku berkata aku
kelaparan dan ingin menghabiskan setidaknya satu manusia gendut.
“Kenapa kau tak mencoba hewan saja sih?” kata Souichi
satu ketika.
Aku hanya memandangnya heran, tidak tahu harus berkata
apa. Seumur hidup aku diajarkan menjadikan manusia sebagai ternak. Lalu
sekarang Souichi menyuruhku mencoba hewan.
“Sungguh. Aku tidak suka jika kau memangsa manusia.”
Kata Souichi, menatapku lurus.
‘Aku hanya akan memangsa yang jahat.’ Kataku pelan.
“Bagaimana kau tahu mereka jahat atau tidak? ‘Jahat’
bagi manusia dan siluman belum tentu sama. Lagipula orang-orang jahat itu akan
menerima karmanya sendiri.” Souichi bersikeras.
Kebingungan, aku hanya mampu bergelung di sudut kolam,
menatap bingung Souichi yang entah mengapa terlihat galak. Lalu, tiba-tiba saja
ia berdiri dan berjalan ke luar gua kami dengan teratih-atih.
‘Kau kemana?’ panggilku. Dengan bau darah semanis itu,
ia pasti mengundang banyak Youkai.
“Mencarikanmu makanan. Kan biasanya kau yang
mencarikanku makanan.” Katanya sembari tersenyum.
‘Aku ikut.’
“Tidak perlu, Ucchan. Sekarang aku cukup kuat, kok.
Tenang saja!” katanya sembari tertawa.
Ya, sekarang Souichi sudah begitu kuat. Kekuatannya
kembali dengan pasti walau perlahan, begitu pula dengan kesehatannya. Entah
mengapa, setiap mengingat itu, sesuatu di dadaku terasa sakit. Apakah Souichi
akan pulang ke dunianya? Lalu bagaimana denganku?
“Ucchan, aku pulang!”
‘Cepat sekali,’ kataku kagum. Souichi pasti berlari
dengan kecepatan yang sangat tinggi. Di sekitar gua ini ‘kan tidak ada hewan.
Semua hewan dan youkai menjauhi tempat ini karena aura-ku yang terlalu kuat.
Souichi menyeret seekor kambing gunung yang sekarat.
Sepertinya Souichi menyerangnya dengan tenaga dalam, karena hewan itu sama
sekali tak terluka. ‘Dia tak sebau Youkai.’ Gumamku.
“Nih, coba rasa. Mungkin kalau kau tak suka kambing,
besok aku bisa membawakan hewan yang baunya tak terlalu menyengat.”
Aku naik ke permukaan, menyeret tubuhku dengan agak
susah payah di daratan, menuju kambing gunung yang tengah mengejang itu.
‘Kalau tak enak bagaimana?’
Saat itulah aku menoleh pada Souichi, dan menemukan
wajahnya sedang berbentuk aneh sekali. Wajahnya yang putih kini semerah
tempurung kepiting, dan ia tak lagi menatap langsung ke mataku, namun
memusatkan matanya pada ekor putihku yang kebiruan.
‘Kenapa?’ tanyaku heran. ‘Kau sakit lagi?’
“Tidak.” Ia berkata gagap. “Ucchan, kenapa sih kau
tidak memakai baju? Ini pertama kalinya aku melihat dada perempuan sebegini
jelas, tahu!” gerutunya kesal.
Aku tertawa geli sekali, hingga air di kolam naik dan
membasahi semua tempat. Ekorku melecut kemana-mana dan nyaris mengenai Souichi.
‘Baju? Aku bukan siluman yang tinggal di daratan atau
diantara manusia, mana mau aku menggunakan sesuatu yang merepotkan begitu.’
Gelakku geli. Souichi masih bertingkah begitu aneh hingga aku kebingungan. Memangnya
kenapa sih? Kambing gunung itu juga betina dan tidak memakai baju?
‘Kenapa?’ tanyaku, mendekat kea rah Souichi yang
gelagapan. Entah kenapa aku tertarik dengan pipinya yang merah itu. Aku menjulurkan
tanganku yang bersisik kea rah pipi Souichi, memegangnya perlahan, merasakan
kehangatannya yang menembus tubuhku yang begitu dingin. ‘Kau hangat…’ bisikku
senang.
“Aku kira Nure-onna membawa bayi kemana-mana untuk
memikat mangsanya,” Entah kenapa Souichi bicara melantur. Sembari berbicara, ia
memandang ke kedalaman mataku dengan wajah berbinar. “Tapi kau tidak. Kurasa kami,
manusia, kerap menambahkan detail-detail aneh soal kalian para Youkai. Kau tidak
jauh berbeda dari manusia perempuan manapun yang aku kenal, Ucchan. Kecuali kenyataan
bahwa kau memang makan manusia.” ia tertawa.
‘Aku bisa belajar. Aku bisa makan itu,’ Kataku melirik
si kambing gunung. ‘Untukmu, Souichi.’
Souichi terlihat senang sekali. Aku belum pernah
melihat senyumnya yang sebagus itu.
“Ucchan?” Souichi balas memegangi pipiku, membuat
wajahku menghadap ke dirinya sepenuhnya.
‘Hm?’
“Apa kau membenciku?” Tanya Souichi. Matanya terlihat
begitu kelam saat berbicara begitu. “Dulu sekali, aku mungkin sudah banyak
membunuhi Youkai sepertimu…”
‘Aku tidak membencimu…’ jawabku bingung.
“Kalau begitu, apa kau suka aku?” Tanya Souichi
sembari tersenyum.
‘Mana kutahu. Aku kan belum pernah mencoba darahmu.’ Jawabku.
Souichi tergelak hebat sekali, hingga tubuhnya
berguling kesana kemari. Duh, ia selalu saja membuatku kebingungan. Mungkin memang
dunia manusia dan Youkai sebegitu bedanya ya, hingga bisa begini banyak hal
yang tak kutahu soal Souichi? Kenapa ia justru tertawa saat aku menjawab dengan
serius?
‘Kau aneh. Manusia itu aneh.’ Gerutuku, ikut berbaring
di sebelah Souichi yang kehabisan nafas karena tertawa terus.
“Kau juga aneh. Youkai itu aneh. Apa di duniamu tidak
ada ‘suka’ atau ‘cinta’? apa semua Youkai bertindak hanya karena nafsu makan
saja? Apa kalian tidak pernah menyayangi sesuatu? Ah, lama-lama aku ingin jadi
Youkai nih. Aku penasaran seperti apa sih, dirimu sebenarnya, Ucchan.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Souichi
berbelit rumit sekali hingga kepalaku pusing.
“Hei, Ucchan.” Souichi berguling ke arahku, tidur
menelungkup di sebelahku yang memandangnya bingung. “Aku suka lho, padamu.” Katanya
sembari tersenyum.
‘Memangnya kau pernah minum darahku?’ tanyaku bingung.
“Belum, tapi mungkin, daripada meminum darahmu, aku
lebih memilih ini.”
Souichi menurunkan wajahnya ke wajahku. Ia begitu
dekat hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya dan membaui darah manis nan
lezat yang mengalir di balik daging wajahnya. Souichi terus menurunkan
wajahnya, lalu menyentuhkan bibirnya pada bibirku.
Sejenak, aku mengira ia gila dan mau memakanku. Namun entah
mengapa, sentuhan bibirnya terasa begitu hangat dan menyenangkan. Aku tak
pernah merasakan sesuatu yang seperti itu sebelumnya, atau mengenal apa yang ia
lakukan.
Tapi yah, aku menyukainya. Bukan seperti rasa suka-ku
pada darah gadis muda. Bukan. Ini rasa suka yang berbeda. Yang aneh. Rasa suka
yang benar-benar membuatku pusing.
“Ucchan…” Souichi berbisik di telingaku. “Aku harus
pulang. Aku akan kembali ke rumahku besok pagi.”
Akhirnya, Souichi mengatakan sesuatu yang benar-benar
tak mau kudengar.
CERITA SEBELUMNYA : PART 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar