8 Des 2011

Tales of Nure-Onna (Part 1)


sumber ilustrasi disini



‘Kau melakukan kesalahan bodoh, Uroko.’

Aku tak berani mengangkat wajah untuk memandang Ayahku. Bahkan dari jarak sebegini jauhnya aku tahu ia memancarkan kemarahan sekaligus kepedihan. Dari pergerakan ekornya yang resah, aku tahu—mungkin justru sudah tahu sejak dulu—bahwa Ayah tak mungkin bisa menyelamatkanku kali ini.

Sebagai Putri di Klan Naga Air, aku sudah melakukan kesalahan yang sangat, sangat besar.

 ‘Jatuh cinta dengan manusia, bahkan membawa anak manusia itu di dalam tubuhmu?? Bagaimana kau bisa melakukan hal seperti ini, Uroko? Perbuatanmu tak bisa ditolerir!’

Suara Ayah menggelegar, namun bergetar. Aku tahu ia tak mungkin tega menjatuhkan eksekusi mati bagiku. Ia tak bisa. Lalu bagaimana? Apakah ia akan mengirimku kembali ke dunia manusia untuk mati perlahan?


Ya, sekarang atau nanti, eksekusiku akan dilaksanakan. Klan ini tak bisa lagi menerimaku. Mereka harus mengusirku, atau membunuhku. Dua-duanya sesungguhnya toh akan berakhir pada kematian juga. Hanya saja yang satu akan berjalan cepat, dan yang lainnya perlahan.

Ah.. Souichi, aku lelah…

Namun tiba-tiba saja anak itu bergerak dan menendang di dalam perutku, seakan memahami kekalutanku, semua keresahanku.

Aku nyaris saja tersenyum di depan sidang yang tengah berusaha menuntut kepalaku.

Sudahlah, aku tak begitu perduli lagi. Mati atau tidak, bukannya semuanya sama saja? Souichi sudah tidak ada. Hanya satu yang aku tahu pasti. Aku harus mengantarkan anak Souichi dan perempuan itu ke dunia manusia dengan selamat.

Dia harus hidup, Souichirou harus hidup—walaupun Souichi telah meninggalkanku untuk selamanya.

* * *

Aku bertemu dengannya saat ia nyaris tewas dimangsa Youkai Gunung Ondake.

Saat itu ia memang terlihat sangat menggiurkan, dengan darahnya yang manis berluberan dimana-mana. Ia kehilangan kesadaran, mungkin akibat pertarungan. Youkai-youkai (makhluk halus, siluman yang berasal dari alam) bau itu berebutan hendak memiliki dan ‘menghabiskan’ dia. Mereka benar-benar ribut hingga beberapa bagian dari kolam air bawah tanah di gua tempatku beristirahat rusak karena getarannya.

Mereka membuatku benar-benar kesal saat Kristal air kesayanganku mulai retak. Aku kesal karena harus keluar dari kolam air yang nyaman, karena itulah aku memutuskan melenyapkan saja semua makhluk bau itu. Dan hanya dalam beberapa sapuan, para makhluk bau itu lenyap ditelan kegelapan.

Saat hening dan kenyamanan kembali menyelimuti tempat itu, perlahan aku mendekati manusia yang tengah sekarat kehabisan darah itu. Darahnya sungguh manis, dan seandainya aku tidak baruuu saja menghabiskan seluruh darah di tubuh 3 nelayan teluk Kinko yang kerap mabuk-mabukan dan mengotori laut itu, aku pasti akan melahapnya dalam sekali telan.

Namun kupikir baik jika ‘menyimpan’nya untuk sementara waktu—hingga aku kembali lapar. Toh jika kubiarkan di luar sini ia akan lenyap di perut Youkai lainnya, atau mati dan mendingin hingga darahnya tak lagi enak.

Aku tak pernah mengira keputusanku saat itu akan mengubah keseluruhan hidupku.

Manusia itu berjenis laki-laki. Dari aura yang semakin hari semakin kuat tercium darinya, aku tahu dia ini Onmyouji (pengusir hantu khas Jepang), namun kekuatannya tidak terlalu hebat. Aku memang belum pernah menemui satupun dari Pembunuh-Youkai itu sih. Namun ciri-cirinya persis dengan apa yang Ayah gambarkan.

Aku membiarkannya tergeletak di salah satu sudut guaku yang kering. Karena dia manusia, tentu dia tak akan bisa bertahan di dalam air, kan? Manusia memang lemah ya, apalagi sesuatu yang mereka gunakan untuk bernafas itu. Tidak ada gunanya di bawah air. Konyol sekali.

Harusnya ia hanya menjadi makananku—seperti halnya manusia lain. Namun entah bagaimana aku penasaran dengan makhluk aneh bernama manusia itu. Baru kali  ini ada manusia yang hidup cukup lama di dekatku. Biasanya sih, rata-rata dari mereka tak bertahan 1-2 detik jika aku sudah menetapkannya sebagai makanan.

Awalnya kupikir ia akan segera mati. Namun makin lama, makhluk aneh itu justru bertambah kuat. Aku bisa mendengar desiran darahnya, detak jantungnya yang semakin keras. Iseng, aku secara berkala memberinya air (walau berhubungan dengan laut, kolam air di gua ini rasanya tawar dan agak manis) dan darah hewan-hewan di sekitar gua (aku bahkan tak tahu manusia-manusia itu makan apa).

Saat ia sadar kemudian, awalnya ia begitu kaget hingga mencoba membunuhku. Namun serangannya yang lemah hanya menimbulkan geli di tubuhku hingga aku tertawa begitu keras. Aku cukup heran mendapatinya tak begitu takut padaku—seperti manusia-manusia lainnya.

Entah bagaimana, kupikir manusia yang ini tidak takut jika ia berakhir sebagai ampas-perut. Nyaris sepertiku yang penasaran padanya, ia terlihat juga penasaran pada tubuhku yang setengah manusia-perempuan dan setengah ular-naga.

“Kau Nure-Onna?” Tanya manusia itu di suatu malam. Ia kini sudah cukup kuat untuk berbicara.

‘Apa itu?’ aku balas bertanya.

“Seperti kau. Perempuan setengah ular. Siluman air.” Katanya menjelaskan.

Aku mendesis. Manusia memang sering mempersulit semua hal. Memanggil kami para Youkai dengan nama yang aneh-aneh. Mana aku tahu di dunia mereka aku dipanggil dengan sebutan… emm, apa tadi? Entahlah. Mereka seenaknya menciptakan sebutan yang konyol. Memangnya mereka tak punya nama sendiri-sendiri ya?

‘Bukan! Aku Uroko!’ desisku tak senang. ‘Aku Uroko!’

Ia mengejutkanku saat ia tertawa. Entah mengapa, ada sesuatu yang menyenangkan mengenai caranya tertawa. Aku memintanya untuk tertawa lagi, dan ia kembali tertawa dengan tambahan rasa heran. Saat ia berhenti tertawa, ia memandangiku dengan cara yang aneh, lalu mengangkat tangannya. Manusia itu masih tak mampu tegak berdiri, namun ia mengulurkan tangannya padaku.

Apaan sih maksudnya? Apa ia mencoba membunuhku?

Aku bergelung menjauh dari tangannya, menghindari tangan itu dengan menyelam jauh ke dasar kolam. Ia menjulurkan wajahnya melalui pinggiran kolam untuk melihatku yang tengah menyelam—seperti ingin tahu. Saat itu, lucunya wajahnya tertarik dalam sebuah bentuk. Mungkin itu yang dinamakan ‘tersenyum’ dan anehnya ada sesuatu yang hangat mengenai wajahnya saat bentuk itu ada di sana.

Aku juga tidak tahu kenapa aku—seperti halnya dia—percaya bahwa dia tak akan menyakitiku. Aku kembali berenang ke atas permukaan kolam, mendekati pinggiran tempat ia berbaring lemah.

“Maaf ya, sudah menakutimu.” Hah? Menakuti aku? Harusnya dia yang takut, kan? “Aku Souichi Yagami, Uroko. Ah, boleh aku memanggilmu Ucchan saja?” Tanya manusia itu.

‘Ucchan itu apa?’

“Hmm, bisa dibilang, seperti Nona Uroko, Uroko yang manis. Terdengar lebih baik kan?”

Aku tak menjawab. Ia membuatku sungguh bingung. Manis itu kan enak? Apa dia menganggapku ‘enak’? Lebih baik itu yang bagaimana? Uh, manusia itu benar-benar sulit ya!

Seberapapun tak setujunya aku saat ia memanggilku ‘manis-enak’, Souichi—manusia itu, terus memanggilku ‘Ucchan’. Ia bahkan tak terlihat takut jika aku menggeram dan mendesis, atau mencoba melukainya dengan main-main. Ia justru tertawa dan membalasku dengan serangan-serangan. Entah mengapa, ia mengingatkanku pada Kyuhei—kakak laki-lakiku.

Seiring dengan pergerakan Bulan, ia terus bertambah  sehat dan kuat. Anehnya, kekuatannya sebenarnya melebihi Youkai-Youkai yang nyaris membunuhnya. Kurasa ia bisa menang dengan mudah dari mereka semua kemarin itu.

“Aku tak suka membunuh. Manusia, maupun Youkai. Aku percaya tak semua Youkai itu jahat. Tapi sepertinya tidak semua Youkai itu baik juga ya. Youkai gunung yang kemarin benar-benar kelaparan, sepertinya. Hahahaha.”

Uh. Aneh. Manusia yang ini aneh sekali.

(bersambung)

3 komentar:

Daisypath Anniversary tickers