(gambar diambil dari sini dan diedit dengan PhotoScape) |
Saat itu rasanya kakiku tak menapak walau kenyataannya aku tengah
berjalan.
Ribuan kali menyusuri lorong ini untuk bersiap menghadapi pasien
dengan keadaan separah apapun, aku tak pernah merasa kedinginan seperti saat
ini. Takut, khawatir, ingin berteriak, tak percaya, amarah, dan segala emosi
yang campur-baur mendesakku dengan kuat dari dalam, seakan ingin keluar dengan
mengoyak setiap senti tubuhku.
‘Yan, lo
dimana? Bisa kembali lagi kesini nggak? Nia kecelakaan mobil, Yan… dan sekarang dia
disini...’
‘..Bagaimana bisa? Itu tidak mungkin, Ri. Dia
ada di rumah!’
‘Tapi, Yan,
menurut tanda pengenalnya…’
Mungkin dia berbicara, atau tidak. mungkin dia melanjutkan
ceracauannya, atau tidak. entahlah, karena detik berikutnya aku membanting stir
mobil untuk kembali ke rumah sakit. Klakson keras dari berbagai mobil di jalan
raya hanya terdengar seperti bisikan. Kenyataan bahwa kepanikanku bisa saja
menyebabkanku ikut celaka terasa hanya bagai sentilan.
Bagaimana mungkin ini bisa menimpa orang yang paling kukasihi?
“Kecelakaannya sangat parah, Yan. Mungkin sebaiknya lo nggak
melihat Nia dulu.”
Ari mengejarku dengan terburu-buru. Berusaha menghalangiku yang
melesat dalam kecepatan penuh. Di dahinya menitik keringat dingin—sesuatu yang
hanya kulihat di saat ia benar-benar stress saat menghadapi situasi buruk nan
pelik pasiennya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Yan…”
“Jelaskan saja, Ri!!”
“Ah… Area Basal retak berat, otak depan luka parah, bulbus
olfaktori hancur, kerusakan pada thalamus, kerusakan syaraf otak, dan… em,
rongga mata kanan hancur dan mata keluar dari rongganya.”
Ya Tuhan…
Aku sungguh berharap segala macam hal mengerikan yang dijelaskan
sahabatku tadi hanya bualan. Namun aku tahu, saat aku memasuki ruang operasi
itu dan menemukannya disana, aku tahu bahwa semua hal yang dikatakan Ari benar.
Entah siapa yang berbaring di atas meja operasi itu. Entah siapa. Karena Nia
yang kukenal adalah perempuan luar biasa cantik dengan bola mata terindah yang
pernah kulihat.
Makhluk dengan tengkorak terbuka itu tak mungkin dia.
“Yano!!”
Aku tenggelam dalam badai warna yang penuh suara jeritan tertahan.
Semuanya berputar memusingkan, merenggut kesadaran diriku dengan kasar dari
akarnya. Namun bagai iklan komersial yang ditayangkan sekejap mata diantara
tayangan sesungguhnya, sensasi itu dengan cepat mereda, lalu kembali menyajikan
kenyataan yang menghancurkan tepat di depat mukaku.
“Jangan masuk lagi, Yan… Gue mohon, jangan… biar dokter Trijoko
yang menangani operasinya, oke? Lo percaya kan sama beliau? Lo disini aja, Yan…
Aku tak ingat apa aku menangis atau menjerit, atau justru tidak?
Aku tak mampu mengingat apa yang disodorkan Ari dan apa yang kuminum darinya.
Aku tak ingat berapa lama aku duduk di kursi ruang tunggu. Aku tak ingat
mengapa staff-staff rumah sakit yang lewat memandangiku dengan pandangan
mengasihani.
Ada apa ini??
“Permisi? Dengan Pak Faryano?”
Semburat kabur menyajikan sosok ngawur berwarna cokelat-tanah.
“Hm?”
“Kita dari Kepolisian, pak. Sebelumnya kita turut menyesal atas
apa yang terjadi pada istri bapak. Tapi kita punya beberapa pertanyaan untuk
menunjang penyelidikan. Kira-kira bagaimana pak?”
“Hmm… Ya…”
“Begini pak, apa bapak kenal dengan Roy Wibowo?”
“Mmm.. Nggak... Relevansinya apa, ya?” kesadaranku mulai kembali
secepat tetesan air yang malas.
“Saat kejadian ibu Nia ini berada dalam mobil pak Roy Wibowo ini,
pak.”
Apa?
‘Halo, Yang?
Kamu dimana? Aku hari ini pulang cepat, agak demam.’
Bagai kaset rekaman, suaraku yang tengah menelfon Nia beberapa jam
yang lalu terdengar lagi, lebih jelas dan keras dibanding ingatanku sendiri.
‘Ah? Iya..
Oh ya ampun.. em.. iya, sayang.. oke..’
‘Kok kamu
kedengaran aneh, Ni? Lagi dimana ini?’
‘Nggak kok,
Yan. Aku.. aku di rumah..’
Tuh, kan? Dia ada di rumah. Seperti itulah yang ia katakana
padaku. Jadi bagaimana mungkin ia berada dalam mobil orang asing yang tak
pernah aku kenal sebelumnya?
“Tidak mungkin. Dia di
rumah.”
“Tapi istri bapak kecelakaan mobil, pak. Dan mobil yang
ditumpanginya itu adalah milik almarhum Roy Wibowo.”
“Anda mencoba mengatakan bahwa istri saya bohong sama saya,
begitu??”
“Ah, bukan, pak… Tapi kenyataannya…”
“Bapak-bapak, maaf. Interogasinya bisa diundur saja gak? Tolong
peka sedikit pak, ini teman saya baru kena musibah.” Gelegar marah suara Ari
menyapu secara mendadak.
Aku hanya mendengar sekilas bahwa sosok kabur berwarna cokelat itu
mengiba maaf lalu hilang. Dan Ari kembali berada disisiku, meremas pundakku,
lalu menggumamkan sesuatu mengenai tidak pantas atau kurang ajar. Lalu sosoknya
yang kabur pergi lagi, dan keheningan yang sangat keras kembali memangsaku
hidup-hidup.
“…istri dokter Yano ditemukan
setengah bugil, ya?”
Suara apa itu? Bicara apa mereka?
“Dia lagi selingkuh, tuh. Cowoknya malah nggak pakai celana!”
Hentikan…
“Bukannya dokter Yano sayang banget ya sama istrinya? Mereka baru
menikah 5 bulan ini, kan? Jahat ya istrinya, tega banget…”
Kumohon, hentikan…
“Kasihan dokter Yano. Kurang cakep apa coba? Muda, tajir,
berprestasi, lagi! Kualat tuh istrinya!”
DIAAAAM!!
Jeritan itu tidak pernah tersampaikan. Alih-alih keluar, ia justru
menggema dalam kepalaku. Memantul dan beresonansi dengan hebatnya. Mengguncang seluruh
kesadaran, meruntuhkan apa yang coba kupertahankan.
Aku tenggelam dalam kegelapan yang pekat, tanpa satupun yang bisa
kujadikan tempat bersemat…
* * *
“Yano!!”
Ari menghembuskan nafas lega saat akhirnya Yano membuka matanya
dengan lemah.
Lelaki itu jelas sekali mengalami shock yang hebat hingga
kehilangan kesadaran. Yah, bagaimana tidak? polisi dengan segala
ketidakpekaannya, bisik-bisik gossip diantara para staff rumah sakit. Dan yang
terburuk adalah perempuan yang dia sayangi dengan segenap jiwanya ditemukan
nyaris tanpa bentuk dalam sebuah mobil bersama pria lain.
Ah, Yano…
Seandainya saja aku perempuan, tentu tak akan sulit merebutmu dari perempuan
itu. Perasaanku padamu tak setengah-setengah seperti dirinya. Keinginanku untuk
memilikimu sebagai satu-satunya tak pernah meragu seperti Nia… kenapa Tuhan
menciptakanku sebagai lelaki jika tubuh ini justru mengurung setiap inchi dari
cinta yang kurasakan?
“Ari… Bagaimana Nia?” lirih Yano lemah.
Kenapa disaat
perempuan itu telah meluluhlantakkanmu kau tetap memanggil namanya dan
mempertanyakannya? Ah Yano, kita sama-sama menyedihkan, bukan? Aku dan cintaku
yang tak akan pernah terucap, dan kau serta cintamu yang layaknya racun
mematikan yang membunuh perlahan.
“Masa kritisnya… sudah lewat…” Ari berucap dengan susah payah.
Sebulir air mata jatuh dari mata indah Yano, mengalir pelan ke
perbatasan rambut cokelat-alaminya. “Kok bisa begini ya, Ri? Gue kurang apa…
Gue salah apa… Apa karena gue selalu sibuk, makanya…” ucapan Yano tertelan
pekatnya sesak. Ia hanya menelan semuanya dan kembali terdiam, menatap nanar lampu
ruangan dalam kosong yang menyayat.
Yano…
Yano-ku… Aku diam dan membiarkanmu bersama iblis betina itu untuk melihatmu
terus tersenyum dan bahagia… bukan untuk menyaksikanmu hancur dalam nestapa…
ah, Yano… seandainya saja perempuan itu tak pernah ada…
“Udah, Yan… Istirahat saja… Gue janji sama lo, begitu lo bangun
nanti semuanya bakal beres. Lo tenang aja ya…”
“Bener, Ri?”
“Lo percaya sama gue, kan? 15 tahun kita bareng emang pernah gue
ngingkarin janji gue sama lo?”
Senyuman lemah mengembang di wajah pucat Yano. “Nggak, sob,” jawab
Yano. “Lo satu-satunya orang yang nggak pernah ngecewain gue…”
“Makanya, sekarang lo tidur aja ya…”
“Ya… Makasih banyak, Ri…”
* * *
Kenapa kau
tidak ikut mampus saja sih, bersama lelaki bodoh itu? Kenapa kau harus kembali?
Kenapa?
Cairan dalam jarum suntik itu mengilat tertimpa cercahan cahaya
muram.
Tapi kau
tidak akan bisa menyakitinya lebih dari ini, jalang. Kau dengar? Kau tak akan
bisa menyakitinya, karena aku tak akan membiarkanmu melakukannya!
Jarum suntik itu menembus selaput tipis kantong infus, lalu
bercampur baur dengan cairan lainnya dalam kantong yang sama.
Matilah… aku
tahu kau akan bersyukur karena aku telah menyelamatkanmu dari hidup yang kejam.
Kau tentu tak ingin hidup dengan tampang monster seperti itu kan? Ya kan? Kau yang
selalu mengagungkan kecantikanmu… ah, hanya tinggal menghitung hari sebelum kau
menyadari buruknya tampangmu, lalu kau akan mengakhiri hidupmu sendiri.
Perlahan namun pasti, mengalir beraturan ke dalam nadi tubuh yang
tergeletak diam di atas pembaringan.
Tapi itu
hanya akan menambahi luka Yano. Karena itu biarkan aku membantumu sedikit, ya? Biarkan
aku yang mengakhiri semuanya. Jika Tuhan masih menyisakan ini semua, maka biar aku yang memuluskan penyelesaiannya. Derita Yano, hidupmu, keberadaanmu… Semuanya! itu
sebabnya, matilah… MATILAH!
Dia nyaris tertawa, namun menyimpannya untuk kemenangan dirinya
sendiri. Perlahan, dalam kegesitan dan kelicinan layaknya ular, ia meninggalkan
ruangan itu dan bergegas pergi sejauh mungkin untuk mengaburkan jejaknya.
Tinggal menunggu waktu, dan segalanya akan selesai…
uwwwooo..baru selesai baca dan hebat!
BalasHapusklimaksnya dapet bgt, apalagi waktu menceritakan "cintanya Ari"
good story!
ya ampun kenapa keren sekali cerpen ini? sastrawan kah kakak? :0
BalasHapusbagus banget ceritanya, itu gak ada lanjutannya lagi mba suci? ane masih bingung mba yg harus disalahin yg mana, cuman tokoh yano nya kasian bgt ya? istrinya selingkuh sahabatnya ngebantu tapi pake cara ngebunuh. masih bingung siapa yg salah kalo ceritanya sampe situ aja mba, bisa dilanjutin gak? :D
BalasHapus@izza: hehehe ^^ makasiii. iya, sengaja klimaksnya diserahkan sama Ari. tokoh utamanya bobo aja dulu. huehehe.
BalasHapus@dita: bukan deeeek. hahaha. makasi yaa. aminamin mah kalo cerepen begini udah bisa disebut sastra. huweee :(
@herlus: wah kalo gitu harusnya ini judul cerpennya 'sambungan' dong ya hahaha. takutnya jayuuus, walau ada sih idenya, tapii kan ini 'penyelesaian' hehehe.
BalasHapusoh iya sih tapi penasaran mba gimana akhirnya. Kalo tokoh utamanya yano ko gak ada di akhir cerita ya mba? tapi sumpah selebihnya ini bagus bgt hehehe
BalasHapus@herlus: ooo iyaak! gue ngerti! ntar ceritanya dilanjutin tapi pake judul lain. sipsip hehehhe. tunggu aja yaa ^^ di cerita lanjutannya yano ada kok. makasii
BalasHapuskereen mbak ceritanya,
BalasHapusitu ceritanya si Ari penyuka sesama jeniskah??
Ditunggu ya mbak lanjutannya ^^
nah ditunggu apdetnya mba di pourix *ups* :D
BalasHapuswaw mbak suci keren banget cerpen nya :D
BalasHapusseru banget baca nya, di tunggu cerpen nya lagi ~
Aaaargh! Cerita ini mengingatkan saya pada kecelakaan tragis di Tugu Tani kemarin senin. Dan saya jengkel sekali dengan kejadian itu. Marah! Saya ingin si penabrak dihukum seberat-beratnya!
BalasHapus*terdiam*
BalasHapusmbak suc [engga enak banget manggilnya] ceritanya paaaaaas sama konsep blognya :) di konsepin lagi posting-posting cerita hal fact seperti hantu2 atau makhluk aneh alin aja :D pasti lebih peeeerfeeeeeect blognya <--saran aja sih
BalasHapuswooww!!!KEEEERREENN BANGET! baca berulang-ulang juga ga bakal bosen :D
BalasHapus@rizky: maachii.. :D iya, Ari itu cowo tapi suka sama Yano yang cowo juga. huehehe.
BalasHapus@herlus&dita : udah ada yang baru lhooo ^^
@asop: gara2 kecelakaannya ya mas -___- iyaa, sedih banget apalagi yang waktu adek kecilnya itu sekarat.
@anwar:: lah kok diem mas? -___-
BalasHapus@daka: hah maksudnyah gimana gimana dak?
@emelia: huehehehe makasiii kyaaa #peluk
baca cerpen ini di temanni backsound nya -____- dapet bgt dah.. huhuhu
BalasHapuswow... keren banget ceritanya Ci.... masih bersambungkah?
BalasHapus