(gambar diambil dari sini dan diedit dengan PhotoScape) |
“Kamu
nggak apa-apa, Darl?”
Nia menatapku erat, wajah mungilnya berkerut
khawatir.
Eh? Aku mengerjap dengan agak bingung, lalu mengedarkan
pandangan ke sekelilingku.
Ah… Ternyata aku ada di rumah kami. Di ruang
keluarga, tepatnya, dan berbaring di atas sofa bersama si manja. Ini seperti
hari-hari liburku yang biasanya, namun kenapa aku merasa ada semacam rasa rindu
yang menggila dalam dadaku, menimbulkan sesak yang pekat dan rasa panas di
mata—seakan akan ada sesuatu yang berbisik dalam kegelapan disana bahwa hari-hari
ini sudah tak mungkin lagi ada…
“Nggak apa-apa, sayang…” jawabku akhirnya,
mengucek mata yang terasa panas.
“Mata kamu merah tuh, Darl. Jangan dikucek,
dong!” Nia menarik tanganku yang sedang mengucek mata lalu melingkarkan
tanganku itu di sekeliling pinggangnya. Si Manja ini minta dipeluk secara tak
langsung, rupanya.
“Hahaha. Iya deh, nanti aku minta Ari yang
meriksa deh. Agak panas, rasanya.” Keluhku. Ari, sahabatku yang paling dekat,
memang bekerja sebagai dokter spesialis mata di rumah sakit yang sama denganku.
Kami sudah bersahabat sejak 15 tahun dan kurasa, jika di dunia ini aku punya
saudara laki-laki, Ari-lah orangnya.
“Ari tampan juga ya. Dokter tapi body-nya
atletis gitu, kekar banget gitu. Mana rada brewokan tapi kesannya tetap
rapih. Pasti enak banget jadi pasiennya ya.” Gumam Nia tiba-tiba—entah mengapa.
“Heh, kalau kamu mau selingkuh jangan sama
sahabatku, dong!” geramku sembari menggelitiki pinggang rampingnya.
Nia tertawa, memperlihatkan barisan gigi putih
yang rapi. Matanya selalu hilang saat ia tertawa, menyipit tak bersisa. Padahal
dalam keadaan normal, matanya begitu besar, bulat, dan cemerlang bagai bola
kaca kecil bewarna cokelat.
Yah, jika ada bagian dari dirinya yang paling
kusuka, mungkin bola matanya itulah.
“Hahahaha. Tenang aja sayang, kalau aku mau
selingkuh ya ga sama Ari jugalah. Emangnya dia mau ya, sama cewek?” lirik Nia
penuh arti.
“Maksud kamu?” tanyaku tajam.
“Lah, kamu ga tau? Ya emang sih, itu cuma
dugaanku. Tapi biasanya feelingku tajam lho!”
“Apanya sih?” tuntutku semakin penasaran.
“Iiiih sayaaang! Kamu kan udah 15 tahun bareng
Ari!” keluh Nia gemas. “Masa kamu nggak tahu, sih?”
“Duh, ribet amat. Emangnya Ari kenapa? Perasaan
dia biasa-biasa aja tuh.”
“Sayaaaang,” Nia mengambil wajahku dan
menjadikannya lurus dengan wajahnya. Tatapannya begitu sungguh-sungguh hingga
aku merasa dia akan mengatakan sesuatu yang benar-benar serius. “Ari itu kan……”
JANGAN
DENGAR!!
Aku tersentak kaget saat menyadari suaraku
sendiri bergema sangat keras dalam kepalaku.
Sesuatu menarik—atau lebih tepat
menyeret—kesadaranku kembali ke arah kegelapan. Aku menjerit, berusaha mengais
sisa-sisa kenangan bersama Nia yang semakin jauh dan buram. Kucakari setiap
permukaan yang mungkin mampu kutemui, namun dalam gelombang kegelapan dan
kekuatan besar yang kini tengah menyeretku, aku bagai boneka kain yang tak
berdaya menghadapi apapun.
Aku dihentak dengan keras dan kembali ke
kesadaran.
Tetes-tetes air mata hangat berjatuhan dari
kedua mataku, mengaburkan gambaran jelas kamar yang kutempati dalam villa Ari.
Ya, aku tak berada di rumah kami. Tak ada Nia
dalam pelukanku.. tak ada suaranya yang kerap mendayu. Aku kini sendirian,
hanya mampu menyicip keberadaannya yang tak lagi nyata adanya dalam mimpi yang
bahkan tak sempurna. Aku bergelung di tempat tidurku dan meredam jeritan dari
dadaku dengan bantal.
Ya
Tuhan… Rasanya seperti direnggut.
Bolehkah aku meminta kematian jika sakitnya seperti ini? bagaimana mungkin kini
kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna itu rasanya begitu jauh?
Aku menyayanginya sepenuh hati, dan bagaimana
bisa ternyata semua kasihnya itu palsu? Di belakangku ia bercinta dengan
laki-laki lain yang jauh lebih tua, lebih jelek, dan lebih miskin dariku.
Apakah memang aku seburuk itu hingga
ia tak mampu dipuaskan oleh seorang aku? Adakah yang salah atau kurang dari
besarnya aku mencintainya?
Dan kini ia meninggalkanku sendiri dengan
pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, pertanggungjawaban yang tak tuntas—yang
semuanya memangsaku pelan-pelan tanpa ampunan?
Sungguh,
aku ingin mati saja…
“Pak Yano?”
Sesosok renta Bibi penjaga villa menghampiriku.
Menatap dengan khawatir dari matanya yang mengerut digerus usia. Dialah yang
menjagaku saat Ari tak ada, dan sekalipun ia terlihat rapuh, ia sendirian mampu
merawatku lebih baik dibandingkan perawat rumah sakit manapun yang kutemui. Dan
di tangannya yang dipenuhi garis-garis umur itulah, aku memperoleh sedikit demi
sedikit kewarasanku lagi.
“Hm?” gumamku, berusaha menghapus air mata
dengan sembunyi-sembunyi.
“Bapak ndak
apa-apa?”
“Tidak, Bi…” Aku turun dari tempat tidur dan
membasuh wajahku di wastafel yang terletak di ujung kamar, berusaha mengaburkan
jejak-jejak kepedihan dan kesakitan. “Ari sudah pulang, Bi?”
“Belum, pak… mungkin sebentar lagi, Jakarta kan
macetnya naudzubillah, Pak,” jawab
Bibi lebih riang saat ia kini benar-benar yakin aku tak apa-apa. “Makan
malamnya sudah siap, Pak. Ayo Pak, makan dulu.”
“Ya, terima kasih Bi.”
Aku bergerak ke ruang tengah dan mulai melahap
sajian yang dihidangkan di atas meja sembari menonton televisi hanya untuk
memberi tubuhku pekerjaan dan kesibukkan agar aku tak lagi memikirkan mimpi
tadi. Kupaksa tenggorokanku menelan kunyahan demi kunyahan hanya agar bola mata
yang masih terasa panas itu tak lagi meneteskan air mata dan membuat Bibi
khawatir.
Ah… Seandainya Ari ada disini…
“Ari tumben banget
lama begini ya Bi?” gumamku sembari menatap jauh dari balik kaca jendela, ke
gerbang villa yang diliputi kegelapan. “Bibi pulang duluan saja deh, kasihan
kalau balik ke rumah malam-malam begini.”
“Ndak apa-apa, Pak. Bibi mah udah biasa.” Sahut
Bibi sembari terus mengupas apel dengan pisau kecilnya.
“Bi, saya sudah nggak apa-apa, kok.” tegasku.
“Cucu Bibi menunggu di rumah, kan? Toh sebentar lagi paling Ari sudah pulang.
Ya, Bi?”
Bibi berhenti mengupas buahnya dan menatapku
agak lama, seperti mempertimbangkan apakah benar aku akan baik-baik saja bila
ditinggalkan sendirian. Namun akhirnya ia menyerah juga dengan kekhawatiranku,
dan pulang ke rumahnya dengan setengah hati—sembari berkali-kali menoleh ke
rumah seakan tak pernah benar-benar tega meninggalkanku sendirian.
Hanya beberapa menit setelah kepulangan Bibi,
hujan mulai turun mengguyur dengan lebatnya, dan aku merasa sangat bersyukur karena
aku telah bersikeras menyuruhnya pulang. Bayangkan saja bila perempuan
seusianya terpaksa menerjang angin dan hujan besar seperti ini di tengah malam? Uh, memikirkannya saja sudah membuatku merasa
bersalah.
BRAKKK!
Sesuatu menabrak pintu depan
Villa hingga bergetar mengerikan, membuatku yang hanya berada 3 meter darinya
melompat kaget.
Batang pohonkah? Atau pencuri? Aku
bergegas mengintip dari sisi-sisi jendela, namun dalam kegelapan total akibat
lampu halaman yang pecah malam sebelumnya, pupilku nyaris tak menerima apa-apa.
Aku berusaha menenangkan denyut jantungku sembari mempertimbangkan untuk
memeriksa atau tidak, ketika tiba-tiba saja, aku mendengar rintihan dari suara
yang terlalu kukenal.
“…Yan…”
Aku melompat dari tempat
dudukku dan membentur piring buah-buahan hingga isinya berikut sebilah pisau
berceceran di lantai. Dengan ketergesaan dan ketakutan, aku berusaha membuka
pintu depan dengan secepat mungkin.
Dan tubuh Ari yang basah karena
hujan dan—ya Tuhan—darah segar, roboh ke dalam pelukanku.
“Ari!!” jeritku ngeri.
Keadaannya parah sekali. Aku
bisa melihat luka selebar 2 inchi yang menganga di atas belikatnya. Tulang jari
telunjuk tangan kanannya bahkan melesak keluar dalam posisi yang tak lazim. Dan
dari caranya bergerak, aku tahu setidaknya dua sampai tiga rusuknya pasti
patah.
Aku memapahnya dengan penuh
hati-hati hingga ke sofa yang tadinya kududuki. Dalam belitan panik dan
khawatir, aku bertanya-tanya bagaimana bisa ia jadi seperti ini. Atau bagaimana
bisa ia sampai ke sini, dalam guyuran hujan dan angin yang terlalu
kencang—bahkan tanpa mobilnya?
Aku melesat untuk mengambilkan
berbagai barang. Tumpukan selimut, air panas, hingga obat-obatan. Namun saat
aku menyambar handphone dan mencoba menelfon ambulance untuk mendatangkan
pertolongan lebih lanjut aku menyadari handphone sialan itu tak berhasil
mendapatkan signal.
“Yan…” bisik Ari tiba-tiba dengan suara lemah.
“Ya, Ri?” Aku melesat ke
sampingnya, berusaha mendengarkan kata-katanya yang keluar dengan susah payah.
“Gue mau ngomong… Bantu gue
duduk…” engahnya kesakitan.
“Damn! Lo ngomong apaan sih? Tidur disana, simpan tenaga lo, dan
kita bakal tangani luka-luka lo sebisanya! Lo itu luka pa…”
“DIAM!”
Aku ternganga saat dengan
kekuatan yang entah darimana, Ari membentakku dengan sangat keras. Ekspresinya
begitu menakutkan—sesuatu yang belum pernah kulihat selama kami bersama. Aku
bahkan lupa bernafas karena kagetnya, terutama saat ia menegakkan tubuhnya
sendiri, lalu memandangku tajam.
“Gue… Harus bicara… Gue harus menyampaikan sesuatu...” Engahnya.
“Tolong, dengarkan dan jawab saja…” nada itu mulai memelas dalam permohonan.
“Ya…” jawabku tak sadar, masih
dibelit keterkejutan.
“Yan… Gue…” dahinya yang
dipenuhi gumpalan darah berkerut seakan kesakitan. Tapi entah mengapa aku tahu
kesakitan itu bukan berasal dari luka-luka di tubuhnya. “Gue dari dulu, udah
lama sayang sama lo…”
Aku terdiam, lalu mendengus
tertawa. “Ya Tuhan, aku pikir lo akan bilang apaan. Iya gue tau, Ri. Gue juga, tapi
sekarang lo ist..”
“Lo ga mendengarkan gue dengan
baik!!” bentaknya lagi. “Bukan sayang… seperti itu… gue… gue sayang, dan
tertarik secara… se… seksual.. dengan lo…”
Keheningan terkeras menyapu
ruangan itu maupun pikiranku.
Apa?
“Gue tahu otak lo lagi kacau,”
aku berusaha tenang saat kembali bicara, walau rasanya otakku kebas sekali.
“karena itu plis banget pembicaraan ini…”
Kata-kata itu tak pernah
selesai. Karena tiba-tiba saja Ari bergerak dengan cepat kearahku.
Awalnya, aku pikir ia akan
menyerang atau mencoba melukaiku. Itu sebabnya aku juga secara refleks mundur ke
belakang untuk menghindar, lalu jatuh terjengkang.
Namun Ari tak melakukan
keduanya.
Dengan tenaga yang luar biasa
kuat untuk ukuran orang yang sebagian tulangnya melesak dari jalurnya, ia
mendorongku, dan mengulum bibirku dengan kasar. Membagi rasa karat dan amis
darah serta getir hujan—juga keterkejutan dan ketidakpercayaan yang luar biasa.
Ya, dia—sahabat baikku selama
15 tahun—menciumku.
* * *
Dalam mimpi Ari selama ini,
yang hampir setiap malam terjadi, ia selalu membayangkan adegan terlarang itu
dipenuhi kelembutan dan emosi yang kuat. Ia selalu bangun untuk diliputi
perasaan bersalah, namun tetap mengharapkan itu semua akan terjadi, dengan
begitu diam-diam.
Namun saat akhirnya hal itu
terjadi, Ari justru menemukan dirinya dipenuhi kesakitan dan kepedihan—bukan
kebahagiaan dan emosi cinta yang kuat seperti yang ia harapkan.
“LEPASKAN!!”
Yano melempar tubuh Ari dengan
seluruh kekuatannya, dan dari berbagai suara tak lazim di tubuhnya, Ari tahu
kini tulang-tulang yang patah itu telah melesak ke beberapa organnya.
“Lo pikir apa yang lo
lakukan!?” jerit Yano. “Itu… itu tadi…” dan ia terdiam, tak menemukan kata-kata
yang mampu menggambarkan apa yang coba ia ungkapkan.
“Itu kenyataannya.” Lirih Ari,
berusaha menahan segala rasa sakit yang menggila. “Gue cinta sama lo, Yan…
Sejak dulu…” ia mulai terisak, seakan mengeluarkan segenap kesakitan dan pedih
yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Gue mencoba menahan semuanya dan bertekad
membawa itu sampai mati. Karena gue tahu.. lo… lo normal.. Gue takut lo marah, tapi gue tahu lo bakal ngerti kan,
Yan? Lo ga bakal ninggalin gue setelah lo tau kan, Yan?”
Ari merangkak pelan ke arah
Yano yang memandangnya penuh kengerian.
“Lo… lo akan tetap di sisi gue
sekalipun lo tahu, kan? Ya kan, Yan?” Ari meraih kaki Yano dan mulai mengiba, namun Yano justru menghentakkan kakinya dan berdiri, mengambil jarak sejauh mungkin dari Ari.
“Lo…” wajah Yano dipenuhi kerut
hebat emosi. “..MENJIJIKAN!!”
Ari tersentak. Seakan ditampar
terlalu keras oleh tangan tak terlihat dan tak percaya itu terjadi padanya,
bibirnya menganga dan bola matanya membeliak.
“Nggak…” rintihnya. “Nggak mungkin kayak gini… TIDAAAAAK!” Ari tersedu, memukuli lantai dengan tangannya, seakan
tak perduli bahwa beberapa dari jarinya tengah patah. Ia seakan diselimuti
kepedihan yang terlalu hebat, yang terlalu dahsyat sehingga menutupi kesakitan di sekujur tubuhnya.
“Gue pikir kita bersahabat!” balas Yano keras.
Wajahnya diliputi rasa jijik dan jengah. “Nggak gue sangka ternyata motif lo
kayak gitu! MENJIJIKAN!”
Yano menyambar handphonenya dan
melangkahi Ari untuk bergerak menuju pintu.
“TIDAAAAAK! Lo ga boleh
ninggalin gue!!” Ari menyambar kaki Yano hingga lelaki itu terjatuh dan dahinya
membentur pintu dengan keras. “YANO! Ya Tuhan… Yano, maafin gue… Yan, maaf…
maaf…” Ari beringsut untuk memeriksa luka di dahi Yano yang kini meneteskan darah.
“Jangan sentuh gue, lo
bajingan!” jerit Yano sembari menepis tangan Ari. “Gue nggak mau ketemu lo
lagi! Gue nggak mau ngeliat lo lagi!!”
Tubuh Ari kembali mengejang.
Wajahnya yang tampan kini dipenuhi darah yang bercampur air mata.
“Lo nggak BOLEH ngomong kayak
gitu sama gue!!” gerung Ari, hilang kendali. “Gue sudah melakukan semuanya
untuk lo! Semuanya! Lo pikir siapa yang membiayai kuliah lo? Lo pikir siapa
yang membantu lo dalam tiap ujian? Lo pikir gara-gara siapa lo bisa jadi
dokter dan sukses, hah?? Jawab, Yan!!”
Sejenak Ari gemetar, lalu
meneruskan kata-katanya dengan suara lemah. “Gue bahkan sudah membunuh demi lo,
Yan… semuanya demi lo… gue sudah melakukan hal-hal yang nggak termaafkan hanya
karena lo… Gue mencampurkan thallium ke dalam infusnya.. demi lo..”
“Apa?” sergah Yano terperanjat.
“Ya, kan?” Ari mendongak,
wajahnya dihiasi ekspresi yang menakutkan hingga memberinya kesan seakan tak
waras. “Kini lo nggak perlu repot lagi gara-gara perempuan jalang yang sudah
menghianati lo itu, kan? Ya kan, Yan? Lo bersyukur kan, karena gue sudah melenyapkan Nia?”
Yano menganga, seakan informasi
itu terlalu mengerikan untuk dicerna, ia dilahap kesunyian sebelum mulai
terguncang dan terisak hebat.
“NGGAAAAK!!” Jeritnya keras.
“TIDAAAAAK!!” dengan brutal ia menyambar kerah baju Ari lalu meninju wajah yang
sudah memar itu dengan sekuat tenaga. Ari terlempar sementara Yano sendiri
kemudian roboh tak bertenaga di dekat pintu.
“Kenapa, Riii?” rintih Yano
diantara sesaknya. “Kenapa lo ngebunuh Nia?? KENAPA!?”
“Dia udah nyakitin lo!” gerung
Ari membalas.
“GUE GAK PERDULI!!” Jerit Yano.
“Gue akan selalu memaafkan dia! Gue ga perduli bahkan kalau dia tidur dengan
orang lain di depan mata gue! Gue nggak perduli bahkan kalau dia jadi pelacur,
atau dia nusuk gue atau APAPUN! NGGAK! Gue ga perduli! Gue cinta banget sama
Nia, Ri!! Gue hanya ingin dia hiduuuup!”
“Bohoooong!” tepis Ari sembari
menutup telinga.
“Padahal lo tahu…” desis Yano
sembari menunjuk. “Lo tahu kan, betapa besar gue mencintai dia? Lo sendiri yang
menyaksikan kehancuran gue saat dia ga ada… Lo menontoni gue yang menjerit dan
menangisi dia tiap malam… lo menyaksikan gue nyaris gila karena kehilangan Nia!
Lo menontoni kepedihan gue.. TAPI LO NGGAK PERDULI!”
Yano menyambar pisau buah yang
terletak di dekatnya, lalu mengancungkannya.
Mata Ari membelalak melihat
pisau itu. “Jangan, Yan… Gue mohon, jangan Yan… Gue ngelakuin itu karena gue ga
mau lo menderita lagi… Please, Yan… Jangan…” rintih Ari.
Yano terkekeh seperti orang
gila.
“Nggak… Tenang aja, gue nggak
akan membunuh lo, Ri…” kekehnya sembari tersenyum seperti orang sinting. “Gue
akan ngebuat lo ngerasain semua yang gue rasain…” desisnya licik. “Lo nggak
tahu kan, rasanya kehilangan orang yang paling lo cintai? Lo nggak tahu gimana
rasanya mengisi malam-malam lo dengan menjeritkan nama dan kehadirannya? Lo
nggak tahu gimana beratnya berusaha bangkit dari kehancuran itu, kan Ri? Ya,
ya, lo ga tau…” Yano mengangguk-angguk seakan menyetujui ucapannya sendiri.
“Tapi…” ucap Yano perlahan. “Sekarang
lo bakal tahu rasanya, Ri… Ya, sekarang lo akan tahu…”
Yano tersenyum. Sekilas, dalam
beberapa detik yang membeku, ia terlihat begitu lega dan bahagia, seakan-akan
tahu dirinya akan terlepas dari segala kesakitan dan kepedihan. Sementara,
dengan kengerian yang sarat Ari tiba-tiba saja sadar apa yang akan dilakukan
Yano.
“JANGAAAAAAAN!”
Dan sebelum Ari sempat
melakukan apapun, Yano mengarahkan pisau itu ke lehernya, dan menusukkannya
tepat di titik dimana pembuluh darah yang membawa suplai darah ke otaknya berada.
"YANOOOO!!"
Rasanya bagai tak nyata, saat
Ari merangkak diantara muncratan darah menuju tubuh Yano yang mengejang
kehabisan darah.
Rasanya begitu tak adil, saat
Ari memeluk tubuh Yano yang mulai membiru dan mendingin, meneriakkan namanya
dengan seluruh tenaganya—seakan dengan begitu ia bisa bangun kembali.
Rasanya bagai seabad, dan Ari
masih menangisi kehilangan itu hingga kesadarannya sendiri mulai terenggut.
Ari kemudian jatuh ke kegalapan
yang sepi tanpa dasar—saat ia kemudian tak sadarkan diri akibat luka-luka hebat
di fisik dan terutama hatinya.
* * *
“Ga percaya ya, rasanya.”
“Polisi sudah tahu belum sih,
apa yang sebenarnya terjadi di sana?”
“Entahlah. Katanya sih, di
pisau yang digunakan dokter Yano untuk bunuh diri hanya ada sidik jari dokter
Yano dan bibi penjaga Villa gitu. Makanya polisi masih bingung apa yang
sebenarnya terjadi di sana.”
Kedua perawat yang tengah
berdiri di depan ruangan tempat Ari dirawat itu menghela nafas, lalu kembali
mengintip ke dalam kamar melalui jendela kecil di pintunya.
“Kok bisa jadi begini ya…”
rintih salah satunya sembari menahan tangis. “Nggak nyangka banget, awalnya
kita kehilangan dokter Yano, eh, sekarang dokter Ari jadi gila…”
“Ya, mengerikan banget… Mana
kemarin waktu gue jaga, gue denger sendiri dokter Ari semalaman seperti tengah
ngobrol dengan dokter Yano dan istrinya!”
“Maksud lo? Ada hantunya??”
lengking salah satunya tertahan.
“Ya gak tahu! Entah dia beneran
ngeliat hantu, atau itu cuma halusinasi-nya karena gangguan jiwa!”
“Eh, eh! Lihat, tuh! Dokter Ari
ngomong lagi!”
“Buka sedikit pintunya, gue mau
dengar!”
Pintu itu mengayun terbuka, dan
dari sedikit celah itulah, suara tawa Ari kembali terdengar. Bola mata Ari
seakan berpindah dari satu sudut ke sudut satunya, seakan ia tengah menatap dua
orang yang tak terlihat. Berkali-kali ia tertawa dengan santai, lalu menghela
nafas lega.
“Ya, kan? Setidaknya semua
tersampaikan.” Kekeh Ari pelan. “Tersampaikan…”
--SELESAI--
Gak nyangka kalo ending-nya homoseksual...sahabatan yg begitu kental sesama jenis juga mesti dicurigai ya...#mikir lingkungan skitar. Keren banget ci!! coba ada produser FTV keren tu bwt di filmin...
BalasHapusngeri bacanya tapi asik banget keren ceritanya. tapi ini yg terakhir ya mba? -_- kalo bisa lempar cendol ane lempar deh hehehe. yano nia mati ari jadi gila :D
BalasHapusIni cerita apa suciiii panjang banget trus tulisannya kecik2..
BalasHapusGw pengen baca tpi keburu sakit mata dluan!!!
Hiiikkkkssss :(
gedein sizenya la!!!
@kiky: gyaaaaa ga pedeee :(( maachi yaa :-* iya, agak gimana gitu ya.. -__- tapi bagi gue sih tetep aja ari kasian. ari kasiaaaan huwaaaa :(
BalasHapus@herlus: jangan lempar cendol dong,duit aja mari, mari. iya, tiap kali bikin cerita, gue ga bisa bikin happy-ending. maap ya.
@hana: huahahahahahaha maap yaaaa ^^ ntar lain kali digedein sizenya
Wahh cerita coo crushh? yaa
BalasHapus@ilham: coo crushh apa sih gan? <--ndeso
BalasHapusakhirnya meembaca sesi terakhir
BalasHapusLha yang mati kok bukan Ari?kok malah Yanonya mbak?
hmmmmm
@rizki: akhirnya tamat juga ya, fyuh. iyaaaa soalnya gue sukanya sama ari, jadi biar yanonya aja yang mati. huahahaha <--egoisme penulis
BalasHapuskeren banget endingnya. kaget, kirain yang bakal mati Ari-nya .
BalasHapuslogikanya Yano keren juga ya, buat bales dendam dgn kematian dia xD
maachiiI *kecup @izza iyaa, soalnya gue mikirnya kalo Yano bunuh Ari lah kasian dianya nanggung dua kematian. tapi intinya gue emang ga mau bunuh Ariii huahaha.
BalasHapusnice ending... tampil beda dan diluar dugaan... keren!
BalasHapuskyaaa~aa makasi mbak @alaika *kisskiss
BalasHapusgial deh tragis banget penuh emosi yang menguras! bagus! :D
BalasHapus@asep: makasi gan ^^ syukur deh klo emosinya bisa tersampaikan hahaha
BalasHapusthumbs up b^^d
BalasHapusemosi para pemainnya tersampaikan !!
@diah: kyaaa~aaa makasiii *kisskiss
BalasHapus*bergidig*
BalasHapuskeren bangeeeet cerpennya...
lagi ..
lagi ..
:)
*merinding*
BalasHapusdahsyat nih emang cerpen nya, cinta emang ga ada batasan nya ya :O