si pacar dan gue |
Masyarakat
mengajari kita, terutama lewat doktrin orangtua, bahwa seorang laki-laki
haruslah kuat dan mampu melindungi perempuan yang menjadi pasangannya. Seorang
laki-laki akan dinilai negatif bila menunjukkan keberadaan emosi yang ‘lemah’
seperti kemanjaan atau tangisan. Ia juga akan dinilai negatif apabila meminta
pertolongan dan tidak melakukan semuanya sendiri.
Well,
bisa gue bilang, itu commonsense yang
menyesatkan.
Memangnya
kenapa kalau seorang laki-laki memang memiliki hati yang mudah tersentuh dan
peka walaupun dia memiliki otot layaknya Rambo? Kenapa juga laki-laki tidak
boleh meminta tolong jika memerlukan atau tidak diperkenankan bersikap manja
pada pasangannya?
Tuhan
menciptakan perempuan dan laki-laki agar setara. Quotes bekennya sih “perempuan
bukan diciptakan dari tulang kepala karena bukan untuk mengepalai laki-laki.
Perempuan juga bukan diciptakan dari tulang kaki karena bukan untuk
diinjak-injak oleh laki-laki. Namun perempuan diciptakan dari tulang rusuk
karena selain letaknya ditengah-tengah agar ia setara, tulang itu paling dekat
dengan hati—agar mudah dicintai dan disayangi.”
Lalu
kenapa masyarakat membeda-bedakan perempuan dan laki-laki? Kitalah, dengan mindset yang kita punya, merumuskan apa
yang harus seseorang lakukan—agar diberi pengakuan serta status yang sesuai
dengan yang kita inginkan. Padahal, jika kita ingin berfikir di luar kotak,
mudah saja kan?
Perempuan
boleh menangis, begitupula laki-laki. Kalau tidak, kenapa Tuhan menciptakan
kelenjar air sama dengan intensitas dan ukuran yang sama? Perempuan ingin
dimanja, begitu pula laki-laki. Kalau tidak, kenapa Tuhan menciptakan perasaan
ingin disayangi pada keduanya? Laki-laki boleh meminta tolong jika ia memang
tidak sanggup. Dan dengan sangat jujur, bukankah setiap laki-laki juga manusia
yang kepada setiap individunya diberi keterbatasan?
Dengan
pemikiran seperti inilah gue menjalani hubungan dengan si pacar.
Bukan
berarti gue menjadi perempuan yang tidak sopan dan selalu ingin menjadi alfa,
nggak. Dalam hubungan ini, gue tahu bahwa merupakan kewajiban gue untuk tetap
bicara sopan dan hormat—seperti halnya gue ingin si pacar melakukan hal yang
sama.
Gue
berusaha mendengarkan dan menghargai setiap pembicaraannya—seperti halnya gue
ingin dihargai dan didengarkan. Dan gue juga ingin menyuarakan pendapat gue,
seperti halnya si pacar yang mampu mengatakan suara hatinya dengan lantang. Gue
ingin keputusan final kami mencakup apa yang gue inginkan dan juga dia
inginkan—agar kami mengikutinya dengan kesadaran diri, bukan kesadaran palsu.
Bukan
dalam hal seperti ini saja, kami juga mencoba setara dalam berbagai hal
lainnya.
Contohnya,
seperti saling melindungi.
Menurut
gue dan si pacar, melindungi itu bukan hanya tugas seorang laki-laki.
Melindungi adalah tugas setiap individu yang memiliki seseorang yang begitu ia
sayangi. Si pacar akan berusaha melindungi gue dari segala hal yang bisa
merugikan gue, dan begitupula dengan gue, yang akan melindungi si pacar
terutama disaat ia tak bisa melindungi dirinya sendiri.
Kebetulan
beberapa hari yang lalu, di angkot yang tengah kami naiki, ada 3 orang anak
jalanan berpakaian ‘seram’ seperti jaket kulit penuh duri, rambut Mohawk, dan
sebatang pisau yang sempat gue lihat ia selipkan di belakang celananya.
Anak-anak ini—sesuai yang gue dengar dari supir angkotnya—biasanya akan
menodong jika tidak diberi uang.
Saat
itu gue mencemaskan si pacar. Walau harusnya dalam konteks ini gue mengikuti
‘aturan masyarakat’ dengan jadi cewe manis, penuh ketakutan, bersandar penuh
perlindungan pada pacarnya, dan tidak melakukan apa-apa, kan? Masyarakat bisa
mengatakan “cewe mah seharusnya begitu!”
Tapi
saat itu gue tahu si pacar tengah lemas karena tidak enak badan. Wajahnya pucat
dan untuk berjalan jauh saja ia agak kepayahan. Maka insting gue mengatakan:
kalau si anak jalanan ini berbuat sesuatu yang membahayakan kami, gue harus
melakukan sesuatu—apapun, bahkan jika harus mengeluarkan bola mata dia dari
tempatnya—untuk menjauhkannya dari si pacar.
Timbul
perasaan ingin melindungi walau sebenarnya jika dikaji dengan logika itu
konyol.
Lihat
aja tampilan si pacar. Walau kurus, tangannya dipenuhi bisep dan trisep yang
besar. Begitu juga otot yang membuat perutnya kotak-kotak. Dalam beberapa sesi
‘latihan bela diri’ kami, gue selalu dengan mudah dipiting atau dicekik hingga
kehabisan nafas. Ilmu bela diri si pacar bisa saja mematahkan leher setiap
orang yang jadi ancaman kami.
Sedangkan
gue? Gue hanya cewek yang jika ikut permainan tinju di Timezone hanya dapat 2/3
total nilainya si pacar yang selalu highscore (yeah, dia selalu aja mencetak
angka baru setiap kali ikut permainan tinju-tinju itu). Gue nggak punya
pengalaman berkelahi yang sesungguhnya walau ingin -____- dan gue selalu saja
terlalu mudah untuk dipiting dan dicekik
Tapi,
seperti yang gue katakan di awal, saat lo menyayangi seseorang, akan timbul
perasaan ingin melindunginya dari apapun yang lo kira bisa menyakitinya. Kadang
perasaan ini agak konyol karena mungkin orang yang lo lindungi bisa melindungi
dirinya sendiri, lebih dari yang bisa lo lakukan.
Tapi
gue rasa nggak ada masalah kan?
‘Melindungi’
bukan berarti lo harus selalu pasang badan. Dia mau jatoh, lo tangkep. Dia mau
ketiban, lo yang dorong. Nggak. Nggak selalu gitu. Walau mungkin dalam konteks
kejadian di atas gue harus melakukan aksi fisik apapun demi menyelamatkan si
pacar, tapi sebenarnya Melindungi itu konteksnya luas banget.
Lo juga bisa melindungi dia dari kebiasaan
jeleknya, misalnya gue yang jarang sarapan, harus dimarahi si pacar
berkali-kali hingga benar-benar berubah. Lo bisa melindunginya dari ancaman
yang belum kejadian seperti mengingatkannya agar tidak pulang malam atau selalu
menyediakan sms kosong untuk pertolongan jika krusial. Lo bisa melindungi masa
depannya dengan terus menyemangatinya belajar dan berprestasi serta
menjauhkannya dari tindakan ceroboh khas remaja.
Dan
yang paling penting, lo bisa melindunginya dengan meyakinkan dia bahwa walaupun
seluruh dunia ini berbalik memusuhinya, lo akan tetap tinggal untuk berada di
sisinya. Yakinkan dia bahwa dia selalu punya tempat berpulang—yaitu lo!
Setiap
orang membutuhkan tempat dan perlindungan. Dan untuk sebuah hubungan, gue rasa
penting untuk menyediakan keduanya. Dan bukan hanya laki-laki yang berhak dan
wajib melindungi, namun juga perempuan.
Kita
semua seorang ‘Guardian’ dari seseorang yang kita cintai—tidak perduli gender
apa yang kita miliki! J
huaaaa..bgus bgeeet biiii..hahahaha..ak pling suka kata2 'walaupun seluruh dunia ini berbalik memusuhinya, lo akan tetap tinggal untuk berada di sisinya' beeuuuh,..itu bner2 kena banget,..hahahaha
BalasHapusi love you,darl...
hehehe yeey, kamu komentaar #syeenang #kayangbentar ^^
BalasHapusiya bii,walaupun slruh dunia berbalik memusuhi km, aku bkal tetap tinggal di sisi kmu kok :) hehhe..i love you too much too, bubuu :-*
Keren!!!!
BalasHapus@kiky: ^^ makasiii kikiiii :-*
BalasHapusEntrinya keren kak. Good job :)
BalasHapus