8 Jan 2012

The Guardian


si pacar dan gue

Masyarakat mengajari kita, terutama lewat doktrin orangtua, bahwa seorang laki-laki haruslah kuat dan mampu melindungi perempuan yang menjadi pasangannya. Seorang laki-laki akan dinilai negatif bila menunjukkan keberadaan emosi yang ‘lemah’ seperti kemanjaan atau tangisan. Ia juga akan dinilai negatif apabila meminta pertolongan dan tidak melakukan semuanya sendiri.

Well, bisa gue bilang, itu commonsense yang menyesatkan.

Memangnya kenapa kalau seorang laki-laki memang memiliki hati yang mudah tersentuh dan peka walaupun dia memiliki otot layaknya Rambo? Kenapa juga laki-laki tidak boleh meminta tolong jika memerlukan atau tidak diperkenankan bersikap manja pada pasangannya?


Tuhan menciptakan perempuan dan laki-laki agar setara. Quotes bekennya sih “perempuan bukan diciptakan dari tulang kepala karena bukan untuk mengepalai laki-laki. Perempuan juga bukan diciptakan dari tulang kaki karena bukan untuk diinjak-injak oleh laki-laki. Namun perempuan diciptakan dari tulang rusuk karena selain letaknya ditengah-tengah agar ia setara, tulang itu paling dekat dengan hati—agar mudah dicintai dan disayangi.”

Lalu kenapa masyarakat membeda-bedakan perempuan dan laki-laki? Kitalah, dengan mindset yang kita punya, merumuskan apa yang harus seseorang lakukan—agar diberi pengakuan serta status yang sesuai dengan yang kita inginkan. Padahal, jika kita ingin berfikir di luar kotak, mudah saja kan?

Perempuan boleh menangis, begitupula laki-laki. Kalau tidak, kenapa Tuhan menciptakan kelenjar air sama dengan intensitas dan ukuran yang sama? Perempuan ingin dimanja, begitu pula laki-laki. Kalau tidak, kenapa Tuhan menciptakan perasaan ingin disayangi pada keduanya? Laki-laki boleh meminta tolong jika ia memang tidak sanggup. Dan dengan sangat jujur, bukankah setiap laki-laki juga manusia yang kepada setiap individunya diberi keterbatasan?

Dengan pemikiran seperti inilah gue menjalani hubungan dengan si pacar.

Bukan berarti gue menjadi perempuan yang tidak sopan dan selalu ingin menjadi alfa, nggak. Dalam hubungan ini, gue tahu bahwa merupakan kewajiban gue untuk tetap bicara sopan dan hormat—seperti halnya gue ingin si pacar melakukan hal yang sama.

Gue berusaha mendengarkan dan menghargai setiap pembicaraannya—seperti halnya gue ingin dihargai dan didengarkan. Dan gue juga ingin menyuarakan pendapat gue, seperti halnya si pacar yang mampu mengatakan suara hatinya dengan lantang. Gue ingin keputusan final kami mencakup apa yang gue inginkan dan juga dia inginkan—agar kami mengikutinya dengan kesadaran diri, bukan kesadaran palsu.

Bukan dalam hal seperti ini saja, kami juga mencoba setara dalam berbagai hal lainnya.

Contohnya, seperti saling melindungi.

Menurut gue dan si pacar, melindungi itu bukan hanya tugas seorang laki-laki. Melindungi adalah tugas setiap individu yang memiliki seseorang yang begitu ia sayangi. Si pacar akan berusaha melindungi gue dari segala hal yang bisa merugikan gue, dan begitupula dengan gue, yang akan melindungi si pacar terutama disaat ia tak bisa melindungi dirinya sendiri.

Kebetulan beberapa hari yang lalu, di angkot yang tengah kami naiki, ada 3 orang anak jalanan berpakaian ‘seram’ seperti jaket kulit penuh duri, rambut Mohawk, dan sebatang pisau yang sempat gue lihat ia selipkan di belakang celananya. Anak-anak ini—sesuai yang gue dengar dari supir angkotnya—biasanya akan menodong jika tidak diberi uang.

Saat itu gue mencemaskan si pacar. Walau harusnya dalam konteks ini gue mengikuti ‘aturan masyarakat’ dengan jadi cewe manis, penuh ketakutan, bersandar penuh perlindungan pada pacarnya, dan tidak melakukan apa-apa, kan? Masyarakat bisa mengatakan “cewe mah seharusnya begitu!”

Tapi saat itu gue tahu si pacar tengah lemas karena tidak enak badan. Wajahnya pucat dan untuk berjalan jauh saja ia agak kepayahan. Maka insting gue mengatakan: kalau si anak jalanan ini berbuat sesuatu yang membahayakan kami, gue harus melakukan sesuatu—apapun, bahkan jika harus mengeluarkan bola mata dia dari tempatnya—untuk menjauhkannya dari si pacar.

Timbul perasaan ingin melindungi walau sebenarnya jika dikaji dengan logika itu konyol.

Lihat aja tampilan si pacar. Walau kurus, tangannya dipenuhi bisep dan trisep yang besar. Begitu juga otot yang membuat perutnya kotak-kotak. Dalam beberapa sesi ‘latihan bela diri’ kami, gue selalu dengan mudah dipiting atau dicekik hingga kehabisan nafas. Ilmu bela diri si pacar bisa saja mematahkan leher setiap orang yang jadi ancaman kami.

Sedangkan gue? Gue hanya cewek yang jika ikut permainan tinju di Timezone hanya dapat 2/3 total nilainya si pacar yang selalu highscore (yeah, dia selalu aja mencetak angka baru setiap kali ikut permainan tinju-tinju itu). Gue nggak punya pengalaman berkelahi yang sesungguhnya walau ingin -____- dan gue selalu saja terlalu mudah untuk dipiting dan dicekik

Tapi, seperti yang gue katakan di awal, saat lo menyayangi seseorang, akan timbul perasaan ingin melindunginya dari apapun yang lo kira bisa menyakitinya. Kadang perasaan ini agak konyol karena mungkin orang yang lo lindungi bisa melindungi dirinya sendiri, lebih dari yang bisa lo lakukan.

Tapi gue rasa nggak ada masalah kan?

‘Melindungi’ bukan berarti lo harus selalu pasang badan. Dia mau jatoh, lo tangkep. Dia mau ketiban, lo yang dorong. Nggak. Nggak selalu gitu. Walau mungkin dalam konteks kejadian di atas gue harus melakukan aksi fisik apapun demi menyelamatkan si pacar, tapi sebenarnya Melindungi itu konteksnya luas banget.

Lo  juga bisa melindungi dia dari kebiasaan jeleknya, misalnya gue yang jarang sarapan, harus dimarahi si pacar berkali-kali hingga benar-benar berubah. Lo bisa melindunginya dari ancaman yang belum kejadian seperti mengingatkannya agar tidak pulang malam atau selalu menyediakan sms kosong untuk pertolongan jika krusial. Lo bisa melindungi masa depannya dengan terus menyemangatinya belajar dan berprestasi serta menjauhkannya dari tindakan ceroboh khas remaja.

Dan yang paling penting, lo bisa melindunginya dengan meyakinkan dia bahwa walaupun seluruh dunia ini berbalik memusuhinya, lo akan tetap tinggal untuk berada di sisinya. Yakinkan dia bahwa dia selalu punya tempat berpulang—yaitu lo!

Setiap orang membutuhkan tempat dan perlindungan. Dan untuk sebuah hubungan, gue rasa penting untuk menyediakan keduanya. Dan bukan hanya laki-laki yang berhak dan wajib melindungi, namun juga perempuan.

Kita semua seorang ‘Guardian’ dari seseorang yang kita cintai—tidak perduli gender apa yang kita miliki! J

5 komentar:

  1. dante barcenandi9 Jan 2012, 12.02.00

    huaaaa..bgus bgeeet biiii..hahahaha..ak pling suka kata2 'walaupun seluruh dunia ini berbalik memusuhinya, lo akan tetap tinggal untuk berada di sisinya' beeuuuh,..itu bner2 kena banget,..hahahaha
    i love you,darl...

    BalasHapus
  2. hehehe yeey, kamu komentaar #syeenang #kayangbentar ^^

    iya bii,walaupun slruh dunia berbalik memusuhi km, aku bkal tetap tinggal di sisi kmu kok :) hehhe..i love you too much too, bubuu :-*

    BalasHapus
  3. @kiky: ^^ makasiii kikiiii :-*

    BalasHapus
  4. Entrinya keren kak. Good job :)

    BalasHapus

Daisypath Anniversary tickers